ahok-gusur-warga-lbh-sebut-todung-langgar-ham.html/todung-mulya-lubis" rel="attachment wp-att-150454">Jakarta, 11 Rajab 1438/8 April 2017 (MINA) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia mengeluarkan pernyataan yang menyebut ahli hukum Todung Mulya Lubis melanggar HAM karena membahas para penduduk di pinggir kali sebagai penduduk gelap yang bisa digusur paksa tanpa diberi kompensasi.
Dalam video singkat yang diunggah sebuah akun Youtube Jakarta Progresif, Todung menggambarkan penduduk yang “kebanyakan” hidup di bantaran sungai sebagai “penduduk gelap, tanpa izin” dan penggusuran oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), agar warga dianggap sebagai “manusia.”
“Mereka akan dikejar-kejar Satpol PP karena menjadi penduduk gelap tanpa izin. Kalau secara hukum, bisa dipindahkan begitu saja tanpa ganti rugi,” katanya sambil menambahkan, tapi pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya.
“Yang dilakukan oleh Ahok, karena mereka semua dianggap sebagai manusia, maka mereka dipindahkan ke satu tempat,” ujarnya.
Baca Juga: Jelang Libur Nataru, Terminal Bekasi Berlakukan Ram Check Bus
Dalam siaran pers yang diterima MINA, LBH memberikan landasan hukum terkait pernyataan Todung melanggar HAM.
Komisi HAM PBB melalui Resolusi Komisi HAM mengategorikan penggusuran paksa sebagai “gross violation of human rights” (red. pelanggaran HAM berat) karena perampasan hak atas perumahan yang layak dapat berujung pada pelanggaran terhadap serangkaian hak dasar lainnya, rasa aman, pekerjaan yang layak, dan pendidikan bagi anak-anak korban penggusuran paksa, tulis LBH.
Untuk Indonesia, katanya, setiap warga negara juga dilindungi dari penggusuran paksa berdasarkan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (“Kovenan EKOSOB”) yang telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Komentar Umum CESCR Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa.
“Kami menilai pernyataan Todung Mulya Lubis telah gagal melihat akar permasalahan struktural yang merupakan prinsip dasar gerakan bantuan hukum struktural,” tulis pernyataan itu.
Baca Juga: Menag RI dan Dubes Sudan Bahas Kerja Sama Pendidikan
Berdasarkan ketentuan HAM tersebut, penggusuran harus dijadikan pilihan terakhir oleh pemerintah setelah menempuh proses partisipasi dan musyawarah yang seimbang dengan warga terdampak.
“Sesuai dengan uraian kami di atas, kami mendesak Todung Mulya Lubis sebagai Dewan Pembina Yayasan LBH Indonesia untuk segera meralat pernyataannya terkait dengan situasi penggusuran paksa di DKI Jakarta selama masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama,” tulis LBH.
Kebijakan Ahok
Menurut data yang dikumpulkan LBH, pada 2015 dan 2016, telah terjadi 306 kasus penggusuran paksa terhadap 13.871 keluarga dan 11.662 unit usaha. Jumlah ini masih akan terus bertambah mengingat Ahok, dalam berbagai pernyataan selama rangkaian kampanye Pilkada DKI Jakarta, menegaskan ia tidak akan mengubah pendekatannya terkait dengan kebijakan penggusuran paksa.
Baca Juga: Mendikti Sampaikan Tiga Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Indonesia
“Intimidasi dan kekerasan adalah identitas utama penggusuran paksa selama masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Dalam berbagai kasus penggusuran paksa, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kerap melibatkan intimidasi dan kekerasan dengan mengerahkan kekuatan aparat TNI dan POLRI untuk mengusir warga dari hunian atau unit usaha miliknya,” tulis LBH.
LBH mencatat, warga di berbagai lokasi penggusuran paksa telah menduduki lahan mereka selama puluhan tahun lamanya—bahkan dalam beberapa kasus sejak masa pemerintahan kolonial Belanda—namun tidak kunjung memperoleh hak atas tanah berupa sertifikat dari pemerintah.
Padahal Pasal 1963 jo. 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjamin hak warga untuk memperoleh sertifikat setelah menduduki suatu lahan dengan itikad baik selama lebih dari 20 tahun.
Hal tersebut juga merupakan cermin kegagalan pemerintah untuk melaksanakan amanat reforma agraria yang telah diakui oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional sendiri yang menyatakan bahwa baru 45 persen tanah di Indonesia yang telah disertifikatkan, padahal telah berlalu 57 tahun sejak pertama kali Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diterbitkan.
Baca Juga: Kedutaan Besar Sudan Sediakan Pengajar Bahasa Arab untuk Pondok Pesantren
“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kerap melakukan penggusuran paksa dengan mengabaikan hak warga untuk yang sedang memperjuangkan hak atas tanahnya melalui forum pengadilan,” tambah pernyataan.(T/RE1/RS1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Konferensi Internasional Muslimah Angkat Peran Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan