Rakyat Ethiopia, Tanah Dirampas Kemarau Mengancam

Anak suku tradisional Ethiopia terancam kelaparan di musim kemarau terburuk dalam 30 tahun. (Foto: dok. mytb.org)
Anak suku tradisional terancam kelaparan di musim terburuk dalam 30 tahun. (Foto: dok. mytb.org)

Oleh: Rudi Hendrik, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Hanya beberapa dekade lalu, Ethiopia adalah negara yang didefinisikan sebagai negeri kelaparan, terutama antara 1983-1985, ketika lebih setengah juta orang mati kelaparan akibat kemarau parah, gagal panen dan perang saudara yang brutal.

Setelah itu, pada tahu lalu, terkesan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang tinggi. Statistik headline terlihat luar biasa. Negara telah menciptakan jutawan lebih cepat dari negara lain di Afrika. Output dari pertanian dan industri yang dominan di Ethiopia, telah naik tiga kali lipat dalam satu dekade.

Ibukota Addis Ababa mengalami booming pembangunan besar-besaran. Dalam enam tahun terakhir memiliki PDB nasional yang tumbuh mengejutkan sebesar 108 persen.

Tapi itu bukan berita positif semuanya, karena dari semua angka yang baik masih banyak angka yang buruk.

Sekitar 90 persen dari jumlah penduduk 87 juta, masih menderita banyak perampasan, mulai dari kurangnya akses pendidikan, perawatan kesehatan yang tidak memadai, pendapatan rata-rata masih di bawah $ 1.500 per tahun, dan lebih 30 juta orang masih menghadapi kekurangan pangan yang kronis.

Sejumlah alasan positif yang memicu percepatan pertumbuhan adalah bisnis dan reformasi legislatif, pemerintahan lebih profesional dan prestasi dari sektor jasa berkembang.

Banyak kritikus mengatakan, pertumbuhan yang terlihat di bidang pertanian yang menyumbang hampir setengah dari kegiatan ekonomi Ethiopia dan banyak keberhasilan yang dicapai baru-baru ini, sebenarnya didorong oleh “perampasan lahan”, ketika perusahaan multinasional dan spekulan swasta bersaing untuk menyewakan jutaan hektare wilayah paling subur di negara itu dari pemerintah dengan harga sangat murah.

Di Kementerian Pertanian di Addis Ababa, program sewa lahan ini sering digambarkan sebagai solusi “win-win“, karena mendatangkan teknologi baru, menciptakan lapangan kerja dan konon memudahkan peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya di daerah pedesaan.

“Ethiopia perlu pengembangan untuk memerangi kemiskinan, meningkatkan persediaan makanan, meningkatkan mata pencaharian dan melakukannya dengan cara yang berkelanjutan,” kata seorang pejabat.

Namun menurut sejumlah LSM dan pendukung kebijakan, termasuk Oxfam, Human Rights Watch dan Oakland Institute, konsekuensi sebenarnya dari perampasan lahan hampir semua negatif.

Mereka mengatakan, untuk mengadakan area luas bagi investor asing akan bertentangan langsung dengan kewajiban Pemerintah Ethiopia di bawah hukum internasional. Pihak berwenang menggusur ratusan ribu masyarakat adat, menyalahgunakan hak asasi manusia mereka, menghancurkan tradisi mereka, mencemari lingkungan, dan membuat mereka lebih tergantung pada bantuan pangan dari masa sebelumnya.

“Manfaat bagi penduduk lokal sangat sedikit,” kata sosiolog terkenal Ethiopia, Dessalegn Rahmato.

“Mereka sudah diambil tanahnya. Mereka telah diambil sumber daya alamnya, karena investor melakukan pembukaan lahan, menghancurkan hutan, menebang pohon-pohon. Pemerintah mengklaim bahwa salah satu tujuan investasi ini adalah mengaktifkan daerah lokal untuk mendapatkan keuntungan dengan berinvestasi di bidang infrastruktur, pelayanan sosial, tapi manfaat ini tidak termasuk dalam kontrak. Ini hanya diserahkan kepada kebesaran hati para investor,” ujar Rahmato.

Menurut Rahmato, para investor tidak tertarik pada apa pun selain demi keuntungan mereka sendiri.

“Mereka bisa menumbuhkan setiap tanaman yang mereka inginkan ketika mereka menginginkannya. Mereka dapat menjual di setiap pasar yang mereka inginkan, apakah itu di pasar global atau pasar lokal. Bahkan sebagian dari mereka tidak tertarik pada pasar lokal,” katanya.

Dia mencontohkan, perkebunan milik Arab Saudi besar-besaran ada di wilayah Gambella yang subur di barat daya Ethiopia, area target utama bagi investor.

“Mereka memiliki 10.000 hektar dan mereka memproduksi beras yang akan diekspor ke Timur Tengah, ke Arab Saudi dan tempat-tempat lain. Orang-orang lokal di daerah justeru tidak makan nasi,” kata Rahmato.

Namun, unsur yang paling kontroversial dari program pemerintah yang dinamai “villagisation” itu, yaitu perpindahan orang-orang dari tanah mereka yang telah ditinggali selama beberapa generasi ke pemukiman baru di komunitas buatan.

Di Gambella, wilayah yang dihuni oleh dua kelompok etnis yang mendominasi, Anuak dan Nuer, puluhan ribu orang terpaksa meninggalkan cara hidup tradisional. Salah satunya adalah Moot, seorang petani etnis Anuak yang sekarang tinggal di sebuah desa buatan pemerintah yang jauh dari rumahnya.

“Ketika investor muncul, kami diberitahu agar mengemas milik kami untuk pergi ke desa. Jika kami memutuskan untuk tidak pergi, mereka akan menghancurkan tanaman kami, rumah kami dan barang-barang kami. Kami bahkan tidak bisa menuntut kompensasi karena pemerintah memutuskan bahwa lahan tersebut milik investor. Kami takut. Jika Anda marah dan mengatakan bahwa seseorang merampas tanah Anda, Anda akan dimasukkan ke dalam penjara. Jika Anda mengadu tentang penangkapan Anda, mereka akan membunuh Anda. Ini bukan tanah kami lagi, hak-hak kami telah dirampas,” ujar Moot.

Meskipun muncul penentangan internal dan kecaman internasional, pemerintah Ethiopia tidak menunjukkan skala prioritas untuk meninjau kembali programnya.

Menurut Oakland Institute, sejak 2008, daerah seukuran negara Perancis itu telah diserahkan kepada perusahaan-perusahaan asing. Selama beberapa tahun ke depan, daerah seluas dua kali ukuran ini akan dianggap dialokasikan untuk disewakan kepada investor.

Jadi apa artinya semua ini bagi rakyat Ethiopia. Inilah kisah setahun yang lalu.

Kemarau terburuk

Kini, bukan hanya rakyat Ethiopia di daerah-daerah yang terusir dari tanahnya, tapi juga terancam kelaparan dengan berlangsungnya musim kemarau yang sangat buruk.

Kekeringan terburuk dalam 30 tahun di Ethiopia ini, oleh PBB dianggap yang terburuk bagi anak-anak setelah keburukan perang Suriah.

PBB menghitung, kemarau akan membuat 400.000 anak menderita gizi buruk akut parah dan lebih 10 juta orang membutuhkan bantuan pangan.

Kondisi ini memerlukan bantuan suntikan dana sebesar US$ 50 juta.

Save the Children, organisasi non-pemerintah internasional, mengatakan, kekeringan di Ethiopia merupakan potensi ancaman besar terhadap kehidupan anak-anak setelah perang di Suriah.

“Kami hanya memiliki dua keadaan darurat di dunia yang telah kita dikategorikan sebagai kategori nomor satu. Suriah adalah salah satunya dan Ethiopia adalah yang kedua. Kamu sudah mengatakan, kita perlu meningkatkan $ 100 juta untuk merespon ini,” kata Carolyn Miles, Kepala Eksekutif Save the Children, Amerika Serikat.

Wartawan Al Jazeera Charles Stratford melaporkan dari wilayah Afar di Ethiopia timur. Dia mengatakan, pemerintah dan lembaga donor internasional telah memasukkan ratusan juta dolar untuk membantu, tetapi badan-badan bantuan mengatakan itu saja tidak cukup.

Mohammed Dubahala, seorang ayah Ethiopia dari sepuluh anak, dulu ia memiliki 53 sapi, tapi sekarang tinggal lima ekor.

Dia menerima dua pemberian paket makanan dari pemerintah selama beberapa bulan terakhir, tetapi ia mengatakan itu tidak cukup karena kekeringan.

“Saya mengkhawatirkan orang-orang sekarang dan saya takut terhadap anak-anak karena tidak ada hujan. Jika tidak ada hujan, orang mati. Tidak ada makanan, tidak ada susu,” kata Dubahala. (P001/P4).

Ref: Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)