Rapat Shaf Shalat Satukan Energi Fisika (Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur)

Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur

“Rapatkan mata kaki dengan mata kaki, pundak dengan pundak,” begitu antara lain aturan dalam menata berjamaah.

Dari segi ilmu fisika, ternyata merapatkan shaf dalam shalat berjamaah dapat menyatukan energi secara fisika. energi yang menyatu. Begitulah semestinya energi kaum Muslimin dalam kehidupan sehari-hari.

Kalau dalam beberapa menit saja tidak bisa menyatukan shaf shalat berjamaah, bagaimana menyatukan shaf perjuangan kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari yang lebih lama.

Dalam kajian iptek, seperti diungkapkan Agus Mustafa, alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM), ia merupakan pakar ilmu fisika. Ia menulis penelitiannya dalam bukunya bagaimana hubungan shaf dalam shalat dengan energi manusia.

Ia menyimpulkan bahwa, berdasarkan ilmu fisika, shaf yang rapat dalam shalat akan menyatukan energi-energi positif manusia. Sebaliknya, shaf yang tidak rapat dalam shalat akan memecah energi jama’ah itu.

Adapun cara rapatnya shaf dalam shalat adalah mata kaki menempel dengan mata kaki orang di sebelahnya, pundaknya menempel dengan pundak saudara di sebelahnya. Sudah barang tentu hal ini bagi yang tingginya sejajar. Yang jelas adalah rapatnya shaf, tidak ada celah.

Begitulah, secara lebih luas shaf shalat merupakan miniatur kehidupan sehari-hari. Syariat memerintahkan untuk lurus dan rapat dalam shalat berjamaah. Artinya dalam kehidupan bermasyarakat, umat Islam pun harus berada dalam satu barisan yang rapi, tidak terpecah belah, tidak bergolong-golong, dan bercerai-berai.

Jika dalam shalat saja shafnya diperintahkan untuk lurus, rapat dan rapi, maka dalam kehidupan sehari-hari juga hendaknya seperti itu, bersatu padu, berjamaah, saling menguatkan, seperti halnya dalam shaf shalat. Oleh karenanya, jika ingin melihat miniatur kehidupan suatu daerah, maka bisa dilihat dari shafnya.

Bahkan sebegitu pentingnya shaf ini, dalam Al-Quran terdapat sebuah surah yang bernama Ash-Shaf. Ini menunjukkan betapa pentingnya shaf dalam shalat, sudah barang tentu jika shaf diperhatikan, waktu shalat juga lebih diperhatikan. Usahakan datang awal agar bisa mendapatkan shaf yang pertama, khususnya bagi yang sudah dewasa dan berilmu.

Begitu utamanya shaf pertama dalam shalat berjamaaah ini, hingga Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyebutkan, bahwa seandainya seseorang mengetahui keutamaan dan pahala shaf yang pertama dalam shalat berjamaah, niscaya mereka akan rela dan meminta untuk diundi demi mendapatkannya.

Ada sebuah kejadian menarik di sebuah masjid Malaysia. Dalam sebuah sesi shalat berjamaah di masjid, ada seorang imam yang mempersilakan anak yang masih kecil untuk berpindah shaf (barisan) ke belakang dan posisinya digantikan oleh yang lebih tua.

Ternyata, si anak tadi merasa tidak terima diminta ke barisan belakang oleh imam masjid. Lantas ia menulis surat terbuka di media sosial dan menjadi viral dengan berbagai tanggapan pro dan kontra. Si anak beralasan bahwa dirinya datang lebih dulu daripada yang dewasa. Ia juga sudah khitan sehingga layak untuk diperlakukan seperti Muslim yang sudah dewasa dalam hal barisan shalat.

Namun ada pula yang memberi komentar bijak, memang aturan dalam shaf, yang muda shafnya di belakang yang dewasa dan berilmu. Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah, jangan sampai yang dewasa dan berilmu datangnya belakangan sehingga harus menggeser posisi yang datang duluan.

Seharusnya tidak perlu terjadi insiden itu apabila yang berilmu dan dewasa datang lebih awal karena tanggung jawab menjaga shalat berjamaah di masjid agar tetap tertib dan sesuai sunnah.

Ciri  

Abu Hurairah dalam sebuah hadits menjelaskan tentang ciri orang munafik. Tanda-tanda itu terlihat pada beberapa hal, di antaranya; penghormatan mereka merupakan kutukan, mereka makan dengan hasil rampasan, harta mereka dari hasil korupsi, mereka tidak suka mendekati masjid, dan tidak melaksanakan shalat kecuali selalu berada di barisan belakang.

Mengenai ciri keempat itu, yang selalu berada di belakang, bisa jadi rumahnya dekat dengan masjid, atau mungkin ia datang lebih dulu. Akan tetapi dia memilih untuk berada di barisan belakang dan enggan untuk meraih keutamaan berada di shaf awal.

Ciri lainnya adalah, jika ia mendapat nasihat, ia menyangka bahwa nasihat itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain. Jika diingatkan, ditegur, ia membantah dan menolak hal itu seakan-akan nasihat itu tidak cocok dan tidak berlaku bagi dirinya karena merasa sudah pandai, ilmunya sudah tinggi, paling suci, amalnya sudah banyak dan sebagainya sehingga nasihat yang datang kepadanya diacuhkan dan diabaikan.

Ciri munafik selanjutnya, setelah sifat di atas adalah ia mudah tersinggung, mudah patah arang, mudah marah, sensitif, dan tidak mau didamaikan jika ada masalah dengan saudaranya. Orang munafik itu seperti kayu di malam hari (banyak tidur) , tetapi membuat gaduh, membuat onar, membuat masalah di siang hari.

Tentu saja, kesemua ciri-ciri di atas harus ditujukan kepada diri sendiri sebagai introspeksi, bukan menunjuk kepada orang lain. Jangan-jangan kita ini tergolong orang munafik. Na’udzubillaahi min dzalik.

Bisa jadi selama ini beberapa ciri orang munafik di atas ada dalam diri kita. Maka secepatnya kita harus introspeksi dan mawas diri jangan sampai terlena menunjuk orang lain, tapi sebenarnya kita sendiri ada di dalamnya. (L/P2/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Comments are closed.