Reham Al-Badr Muslimah Pemberani di Medan Konflik Yaman

Reham Al-Badr (kiri) bersama tim kemanusiaan (FB)

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Selalu akan ada orang-orang yang berjuang dalam kebaikan, di medan perang sekalipun, hingga gugur menghadap Sang Pencipta dalam menjalankan aktivitas kemanusiaannya.

Satu di antaranya dalah Reham Al-Badr, seorang Muslimah kemanusiaan di medan konflik, Yaman.

Bahaya yang selalu mengintai, tak pernah dihiraukannya, sebab itu sudah menjadi jalur kehidupannya, yang ia pegang teguh, biar nyawa taruhannya. Asal bisa membantu orang lain, asalkan warga terselamatkan.

Aktivis hak asasi manusia Reham Al-Badr (26 tahun), hampir setiap hari semasa hidupnya menyalurkan aneka bantuan ke penduduk Yaman yang dilanda krisis berkepanjangan. Ia selalu bersama teman setianya, sesama aktivis hak asasi manusia lainnya, Elaf Samir Noman dan Naseem Al-Faqeeh.

Ia aktif dalam misi kemanusiaan terutama sejak 2016 saat krisis mulai memuncak. Ia dan rekan-rekannya tak kenal lelah membagikan sekeranjang makanan dan minuman di wilayah Taiz.

Hingga pada Kamis, 8 Februari 2018, serangan peluru telah merenggut nyawanya, saat ia memberikan bantuan kemanusiaan di Taiz, sebuah kota di Yaman barat daya yang telah mengalami beberapa pertempuran paling hebat. Ia gugur bersama rekannya Mu’men Saeed Hammoud Salem akibat serangan mortir pasukan bersenjata Houthi.

Konflik di taiz memang meningkat tajam sejak tahun 2015.

Para relawan memiliki inisiatif ‘nekad’ dengan membuka jalur bantuan kehidupan bagi orang-orang di kota yang dikepung pasukan bersenjata. Dan banyak dari upaya ini telah dipelopori oleh para wanita pemberani. Termasuk salah satu wanita pemberani itu adalah Reham.

“Reham seperti lebah, Anda bisa menemukannya di mana-mana di Taiz, saat memberi barang bantuan kepada orang-orang,” temannya Dalia mengatakan kepada Arab News.

“Mereka yang mengenal Reham, mereka akan merasa kehilangan dia, terutama penduduk Taiz.”

Perang internal yang melibatkan negara-negara eksternal di Yaman telah mendatangkan kerugian besar bagi kehidupan sipil warga setempat. Menurut angka Perserikatan Bangsa-Bangsa, 16.200 orang telah terbunuh termasuk 10.000 warga sipil, dan lebih dari 3,4 juta orang telah mengungsi.

Sistem infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan negara telah hancur. Satu juta orang terjangkit kolera dalam wabah terbesar di dunia akibat penyakit ini.

Blokade darat dan laut atas barang-barang komersial termasuk beberapa bantuan kemanusiaan telah menambah krisis, mendorong sebuah negara yang telah menderita akibat kemiskinan ke jurang kelaparan.

Yaman menghadapi apa yang banyak digambarkan sebagai ‘krisis kemanusiaan terburuk di dunia,’ dengan lebih dari 22 juta warga membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan jiwa mereka.

Yaman yang sebelumnya menduduki peringkat terakhir dalam Indeks Gap Ganda Global dan Indeks Ketidaksetaraan Gender sebelum eskalasi konflik, kini telah memperburuk ketidaksetaraan struktural. Tingkat perempuan yang menderita gizi buruk, serta kasus kekerasan terhadap perempuan, dan perkawinan anak, telah meningkat.

Wanita Yaman melakukan langkah signifikan menuju inklusi politik dalam Konferensi Dialog Nasional tahun 2013. Namun keikutsertaan mereka kemudian dikesampingkan dan hanya segelintir wanita Yaman yang terlibat dalam proses perdamaian yang sekarang macet.

Reham Al-Badr dan Naseem Al-Faqeeh sesaat sebelum ajalnya, selalu dikawal tentara pemerintah untuk menghindari serangan dan ranjau darat dalam misinya mendistribusikan air, makanan, dan bantuan lainnya di wilayah Taiz. Namun bahaya tak dapat dibendung, ia dan rekannya pada akhirnya terbunuh oleh serangan mematikan.

Reham bekerja di antara banyak wanita lain untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan dan untuk memberikan keputusan kepada berbagai manifestasi konflik.

Mereka mengkoordinasikan layanan bantuan, membuka sekolah dan unit kesehatan, memberikan makanan dan bantuan medis, mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia, memimpin demonstrasi untuk membebaskan orang-orang tercinta yang hilang, melintasi daerah pegunungan untuk membantu mereka yang terkena dampak perang.

Wanita Yaman seperti Reham, mulai muncul memimpin dan mempengaruhi upaya untuk mendukung dan mengaktifkan kembali proses resolusi konflik lokal. Di beberapa provinsi, prakarsa perempuan telah berhasil menyelesaikan perselisihan lokal yang rawan mengundang kekerasan, dan mengusir masyarakat dari konflik bersenjata.

Di beberapa titik, bahkan perempuan aktivis Yaman mampu memobilisasi dukungan masyarakat, melibatkan para pemimpin, menegosiasikan gencatan senjata, dan secara tegas menuntut perdamaian.

Reham memiliki pandangan bahwa kaum wanita melihat komunitas dan negara mereka dilanda perang, dan mereka mengerti bahwa tantangan ini tidak dapat diselesaikan tanpa kaum wanita.

Walaupun kepemimpinan perempuan dalam menopang stabilitas masyarakat Yaman yang terancam oleh konflik, masih dianggap jarang atau belum diakui.

Dalam sebuah wawancara dengan Utusan Wanita PBB akhir 2017 lalu, Reham mengatakan, “Perempuan melihat komunitas dan negara mereka dilanda perang, dan mereka mengerti bahwa tantangan ini tidak dapat diselesaikan tanpa mereka.”

Bukan hanya wanita, seluruh penduduk di Yaman akan selalu menantang kematian dan kehancuran di sekitar mereka. Mereka sering membayar harga yang mahal untuk melakukannya. Namun, suara, keterampilan dan aktivitas mereka masih terpinggirkan dan dikesampingkan.

Kekerasan konflik tersebut telah menuntut warga sipil dan mitra kemanusiaan di Yaman, termasuk membawa kehidupan Reham dan teman-temannya menjadi relawan kemanusiaan.

Rekan-rekannya sesama aktivis, kini menuntut debat dan dialog untuk menghentikan ketakutan.

“Kami menuntut agar kehidupan sipil dihormati. Dan bagi kita semua yang mencari solusi abadi untuk konflik di Yaman, kita harus mengenali dan memanfaatkan keahlian semua orang di masyarakat, memandang mereka melampaui norma gender, untuk membuat usaha kita benar-benar tercapai,” mereka menuntut.

Reham Al-Badr dalam aksi kemanusiaan (FB)

Simbol Keberanian

Dalia Mohammed, rekan Reham, tidak dapat menahan air matanya saat dia mendengar kabar kematian sahabat dekatnya. Sehari sebelumnya, ia banyak berbicara dengan Reham saat menghabiskan waktu bekerja melayani pekerjaan kemanusiaan.

Reham, baginya, adalah sosok Muslimah yang secara luas dikenal karena keberaniannya dalam membantu orang-orang yang paling parah terkena konflik.

Reham juga disebut aktivis yang setia kepada Presiden Abd Rabb Mansour Hadi di kota Taiz.

Berbicara kepada Middle East Eye pada bulan Juli 2017, Reham telah meminta “pembebasan” Taiz dari kontrol Houthi.

“Kita harus berpartisipasi dalam pembebasan kota kita,” katanya.

Sahabatnya itu, Dalia mengatakan bahwa mereka berdua bersama tim relawan telah mendistribusikan makanan dan minuman di timur kota pada hari Reham terbunuh.

“Kami berada di dalam mobil sipil dan tidak ada kendaraan militer yang dekat dengan kami, namun terjadi pertempuran sengit,” kata Dalia.

“Tentara pemerintah Yaman mengatakan kepada kami bahwa pasukan Houthi sangat menargetkan wilayah tersebut dan bahwa kita seharusnya tidak tinggal bersama karena mereka akan menembaki siapa saja,” ujar Dalia mengenang.

Dalia, Reham dan relawan lainnya bersama mereka akhirnya menemukan tempat yang dianggap aman untuk membagikan bantuan yang mereka miliki untuk warga.

Saat Dalia membagi-bagikan air, susu, kue dan buah-buahan ke dalam keranjang kecil, Reham dan dua lainnya membawa bingkisan untuk membagikannya di dekat garis depan.

“Pukul 12 siang kami mendengar tembakan sengit yang menarget jalanan yang ditempuh Reham dan teman-temannya,” kenangnya.

Khawatir akan situasi mereka, beberapa relawan memutuskan untuk kembali, termasuk Dalia bersama satu rekannya menantikan temannya. Reham dan Naseem tetap bergerak melalui jalan yang dipandang aman.

Namun, di jalan wilayah konflik itu, serangan pasukan Houthi tiba-tiba menyerang mereka, dan membunuh kedua wanita berjilbab itu, hingga bersimbah darah dan tewas di tempat.

Reham terbunuh dengan luka parah di perutnya.

Tentara pemerintah menemukan mayatnya dan menyampaikan kabar tersebut kepada Dalia.

Dalia, keluarga dan rekan-rekan Reham tak kuasa mendengar kematian Reham. Kesedihan mendalam

Namun Dalia dan rekan-rekannya yakin Reham meninggal sebagai syuhada atas pekerjaan-pekerjaan luar biasanya untuk membantu meringankan penderitaan warga.

“Dia memang tidak peduli dengan tembakan, ancaman, atau siapapun yang berusaha menghentikannya. Ketika kami bekerja di lini depan, dia selalu yang pertama pergi dan mendorong orang lain untuk melakukannya,” kata Dalia mengenang sahabatnya itu.

Ratusan orang menghadiri pemakaman Reham di Taiz pada hari Jumat (9/2/2018).

Reham Al-Badr (belakang) menelusuri jalan untuk misi kemanusiaan (FB)

Ibunya Pingsan

Reham berasal dari desa Al-Turba, sekitar 70 km selatan kota Taiz. Dia lulus dari Universitas Taiz pada tahun 2007 dengan gelar sarjana bahasa Inggris dan memulai pekerjaan sukarela di Taiz. Pada tahun 2011 ia bergabung dalam demonstrasi menentang mantan Presiden Ali Abdullah Saleh.

Pada tahun 2013, Reham mendirikan organisasi Nofoodh, yang bertujuan untuk mendidik orang tentang hasil dari “Dialog Nasional”.

Reham dikenal sebagai aktkvis yang mengorganisir demonstrasi di Taiz menyerukan perdamaian.

Saudara laki-lakinya Ahmed Badr juga terbunuh di daerah yang sama dengan Reham, pada bulan Maret 2017, saat berperang melawan pasukan Houthi.

Pernah pada tahun 2015, pada puncak pengepungan pasukan Houthi di kota yang membuat rumah sakit kekurangan pasokan. Reham mencoba membawa obat-obatan ke daerah Al-Hawban. Dia ketahuan dan ditangkap oleh pasukan Houthi dan ditahan di dalam sebuah sekolah, yang telah diubah menjadi sebuah penjara, kata Dalia.

Reham berhasil melarikan diri dari tawanan itu.

“Tapi Houthi menagkap dan menahannya lagi, kali ini menempatkannya di kamp militer Pertahanan Udara,” kata Dalia.

Sekali lagi, Reham bisa melarikan diri setelah jet koalisi saudi membombardir kamp tersebut, dia selamat.

Sementara, keluarga Reham mengatakan bahwa mereka shock saat kematian putrinya.

Ibu Reham selama ini memang mengkhawatirkan Reham karena pekerjaannya yang penuh risiko.

Ibunya pingsan saat mengetahui kabar tersebut. Sementara ayahnya yang buta sangat terpengaruh mendengar kabar duka itu.

Mendengar kematiannya, nPerdana Menteri Yaman Ahmed Obeid bin Daghr menyampaikan belasungkawa atas kematian Reham, di akun Twitter.

“Ucapan belasungkawa saya kepada keluarganya dan kepada seluruh aktivis hak asasi manusia, yang merupakan anggota tim pemantau di Komite Nasional untuk Investigasi Pelanggaran HAM, Reham Badr. Semoga dia beristirahat dalam damai,” tulisnya.

Kematian Reham terjadi saat PBB memperingatkan bahwa melonjaknya kekerasan di Yaman telah mendorong sekitar 85.000 orang mengungsi dari rumah mereka dalam 10 pekan terakhir.

Badan pengungsi PBB mengatakan bahwa lebih dari 70 persen pengungsi yang pergi sejak 1 Desember telah melarikan diri dari peningkatan militer di provinsi Hodeida dan Taiz di pantai barat Yaman.

Kota Taiz telah menjadi tempat pertempuran terberat dalam konflik yang telah menewaskan lebih dari 5.000 warga sipil. Termasuk salah satunya dalah Reham Al-Badr, Muslimah aktivis kemanusiaan pemberani itu. (A/RS2/RS3)

Sumber: Opendemocracy, Arabnews, dan Middleeasteye.

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.