Rusia-AS Gagal Capai Kesepakatan Soal Krisis Suriah

Hangzhou, Cina, 3 Dzulhijjah 1437/5 September 2016 (MINA) – telah porak-poranda dihantam perang saudara, yang juga berujung pada konflik sektarian mematikan. Sekitar 300 ribu orang telah tewas sejak konflik pecah pada 2011 silam.

Selain itu, peperangan telah menyebabkan 11 juta warga Suriah menjadi pengungsi, termasuk mereka yang melarikan diri ke Timur Tengah dan membanjiri tanah Eropa.

Harapan untuk melihat perdamaian terwujud, atau setidaknya baku tembak berhenti untuk beberapa waktu, di Suriah semakin tidak menentu setelah Amerika Serikat () dan , Senin (5/9), gagal mencapai kesepakatan senjata.

Seperti dilansir Voice of America (VOA) yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Menteri Luar Negeri AS dan Menteri Luar Negeri Rusia yang menggelar pertemuan di sela-sela KTT G-20 di Republik Rakyat Tiogkok (RRT) gagal menyepakati kesepakatan menyangkut krisis Suriah.

“Putaran baru pembicaraan krisis Suriah antara Menteri Luar Negeri John Kerry dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di sela-sela KTT G-20 di Tiogkok telah berakhir tanpa kesepakatan,” kata seorang pejabat senior pada Departemen Luar Negeri AS.

‘Negeri Paman Sam’ dan ‘Negeri Beruang Merah’ merupakan penyokong utama para pihak yang berkonflik dalam perang Suriah. AS bersama mitra koalisi mendukung kelompok pemberontak moderat yang berjuang menumbangkan pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Sebaliknya, Rusia menyokong Presiden Al-Assad, sekutu utama Moskow di kawasan Timur Tengah. Kremlin juga berkepentingan untuk menjaga pangkalan militernya, Hmeymim, yang terletak di Latakia, sebuah provinsi di Suriah bagian barat yang berbatasan dengan Turki.

Pejabat AS mengatakan kegagalan itu terjadi karena Rusia menarik diri dari sejumlah poin yang sebetulnya telah disepakati kedua belah pihak sebelumnya. Musabab lainnya karena pasukan pemerintah mengepung bagian atau daerah yang dikuasai pasukan pemberontak yang didukung AS.

Langkah militer pemerintah Suriah yang kembali mengepung Aleppo pada Ahad (4/9), yang oleh media pemerintah dilaporkan telah menduduki daerah selatan kota dan memutus rute oposisi ke bagian timur, menjadi musabab lain perundingan menjadi buntu.

“Wajar untuk mengatakan setelah melakukan tinjauan, menurut saya ada beberapa masalah sulit yang kita bicarakan hari ini,” ungkap Kerry tanpa memberi rincian.

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, mengatakan kedua pihak hampir mencapai kesepakatan dan mereka berbicara tentang masalah yang paling serius dalam menerapkan gencatan senjata.

“Tugas paling berat terus berlanjut,” kata Ryabkov. “Sampai kita bisa meletakkan bata terakhir, kita tidak bisa mengatakan bahwa hasil telah dicapai,” tandasnya.

Harapan?

Ada harapan Presiden dan pemimpin Rusia akan menengahi kegagalan yang diupayakan Kerry dan Lavrov.

Namun selama pertemuan 90 menit di sela-sela KTT G-20, Obama dan Putin juga gagal membuat terobosan dalam negosiasi perjanjian gencatan senjata untuk Suriah.

“Kami belum menutup kesenjangan dengan cara kita berpikir itu benar-benar akan bekerja,” kata Obama dalam konferensi pers di Hangzhou, Tiongkok, seperti dilaporkan USA Today, Senin (5/9).

Sehari sebelumnya, Obama menegaskan, “Kami memiliki perbedaan besar dengan Rusia dalam hal pihak-pihak yang masing-masing kita dukung, tetapi juga dalam hal proses yang diperlukan untuk mewujudkan perdamaian di Suriah.”

Sementara Putin, seperti dikutip media, mengatakan konflik Suriah hanya dapat diselesaikan melalui cara-cara politik.

“Tapi jika kita tidak mencapai sejumlah kesepakatan dari Rusia untuk mengurangi kekerasan dan meringankan krisis kemanusiaan, maka sulit untuk melihat bagaimana kita sampai ke tahap berikutnya,” tegas Obama.

Presiden Obama mengakui pembicaraan terbaru yang ia helat dengan Putin mengenai Suriah berlangsung ‘produktif’, namun belum mencapai kesepakatan gencatan senjata untuk memungkinkan lebih banyak bantuan kemanusiaan mengalir ke Suriah. (T/P022/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)