Oleh: Okech Francis, jurnalis Anadolu Agency (AA)
Sebanyak 80 persen atau sekitar 8 juta warga Sudan Selatan tidak memiliki akses ke makanan, setelah 18 bulan terjadi perang saudara yang dipicu oleh perselisihan internal dalam Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan yang berkuasa.
Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh delapan kelompok bantuan kemanusiaan pada awal pekan ini, memperingatkan, pada akhir Juli, terjadi defisit dana sebesar AS $ 1,1 miliar.
Jika kekurangan dana itu tidak segera diatasi, dapat menyebabkan kelaparan sebanyak 4,6 juta warga Sudan Selatan, sekitar 40 persen dari populasi.
Dalam usaha memenuhi kebutuhan mereka yang terkena dampak krisis politik di negara itu, PBB menganggarkan sebesar AS $ 1,63 miliar dana yang dibutuhkan, namun hanya 36 persen yang telah terwujud sampai saat ini.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Pernyataan bersama itu ditandatangani oleh lembaga bantuan CARE, Komite Penyelamatan Internasional, Oxfam, Mercy Corps, Badan Pengungsi Denmark, Badan Pengungsi Norwegia, Council, CAFOD Trocaire dan Bantuan Kristiani.
Menyelamatkan diri dari kekerasan
Seorang warga negara bagian Upper Nile, Catherine Achol, baru menyelamatkan diri dari kekerasan di Melut County, bersama dengan tiga anaknya yang masih kecil.
Bentrokan di Melut pada pertengahan Mei memaksa banyak warga mengungsi ke hutan dan ladang minyak Paloch di dekatnya.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
“Ketika Melut diserang, saya melarikan diri ke Paloch bersama anak-anak saya, di mana kami menunggu dua hari untuk naik pesawat ke Juba,” kata Achol kepada Anadolu Agency pada Selasa (16/6) di ibukota Sudan Selatan.
Di Juba, dia bergabung bersamaan ribuan pengungsi lainnya di kompleks masjid lokal di mana mereka tidur di wisma.
Dia tiba tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian di punggungnya dan mereka harus mendapatkan sumbangan dari badan amal.
“Tempat ini padat, tapi kami dilindungi atap di atas kepala kami,” kata Achol. “Di sini setidaknya kami bisa tidur dan kami tahu bahwa kami aman.”
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Dalam beberapa pekan terakhir, Achol dan pengungsi lainnya telah menerima bantuan dari lembaga bantuan dan komunitas bisnis lokal.
“Mereka telah memberikan kami makanan, selimut, tikar dan air, tapi makanan yang dikonsumsi sangat cepat habis,” katanya. “Suami saya memberi saya uang di Paloch, tapi sudah habis.”
Bagi kebanyakan warga seperti Achol, adanya sedikit akses mendapatkan kebutuhan dasar dan sedikit keamanan, sudah menjadi kondisi yang melegakan.
Ribuan warga Sudan Selatan lainnya kurang beruntung, mereka yang takut kekerasan akan meningkat, terus bersembunyi di hutan tanpa akses mendapatkan makanan atau perawatan kesehatan.
Musim paceklik
Kelompok-kelompok bantuan memperingatkan, jika kekurangan dana itu tidak ditangani hingga akhir Juli, situasi kemanusiaan bisa lebih memburuk di saat negara memasuki musim paceklik.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
“Musim lapar dimulai sekarang. Pemerintah dapat membuat perubahan dengan melakukan pendanaan yang mendesak,” kata Zlatko Gegic, Direktur Oxfam untuk Sudan Selatan.
“Keluarga butuh bantuan sekarang,” tambahnya.
“Sementara kebutuhan telah meningkat secara dramatis, dana belum mencukupi. Mereka yang paling membutuhkan bantuan – terutama di daerah terpencil – dapat terputus dari bantuan kemanusiaan,” kata Direktur lembaga CARE untuk Sudan Selatan, Aimee Ansari.
Hanya perdamaian solusinya
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Lembaga-lembaga kemanusiaan sedang mengembangkan program paket kit yang di antaranya berisi kelambu, benih sayuran, perlengkapan memancing, tablet pemurnian air dan biskuit gizi untuk anak-anak.
Bagi kebanyakan masyarakat rawan pangan yang biasanya mencakup ribuan anak-anak, paket kit dapat mewakili satu-satunya bantuan kemanusiaan yang mereka terima selama berminggu-minggu, sangat penting saat memasuki musim paceklik.
“Kit ini akan memberi orang upaya bertahan hidup untuk kapasitas jangka pendek, tapi kami menyadari risiko dalam pengiriman bantuan ini,” kata Karim Bah, perwakilan dari FAO. “Kami mengambil semua langkah-langkah dan tindakan pencegahan untuk memastikan bahwa penerima manfaat dan mitra kami, tidak menciptakan risiko yang lebih besar.”
Menurut Jonathan Veitch, perwakilan UNICEF di Sudan Selatan, mayoritas orang-orang yang telah melarikan diri dari kekerasan baru-baru ini, adalah anak-anak yang tidak dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan dasar seperti makanan dan air bersih.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Respon jangka pendek sangat penting ketika kita bekerja untuk memulihkan layanan yang hancur karena konflik,” katanya.
Bagaimanapun, pada akhirnya kelompok bantuan mengatakan, hanya pemulihan perdamaian yang akan memudahkan mengatasi krisis kemanusiaan di negara itu.
“Pemerintah-pemerintah di kawasan ini dan dunia internasional harus meningkatkan tekanan pada pihak yang bertikai untuk memungkinkan warga meninggalkan daerah konflik dengan bantuan dan akses yang aman,” kata pernyataan bersama lembaga kemanusiaan.
“Kami terus mendesak pihak-pihak yang bertikai untuk meletakkan senjatanya, segera menghidupkan kembali proses perdamaian dan menjaminnya abadi, termasuk kesepakatan damai yang dirancang untuk mencegah penderitaan lebih lanjut bagi rakyat Sudan Selatan.”
Penyebab konflik
Sudan Selatan telah terguncang oleh kekerasan sejak Desember 2013, ketika Presiden Salva Kiir menuduh wakilnya Riek Machar yang dipecatnya, mencoba menggulingkan rezimnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Sejak itu, puluhan ribu orang dilaporkan tewas dalam kekerasan berikutnya, sementara dua juta lainnya telah mengungsi, internal dan eksternal.
Sementara itu, pasang surut pembicaraan damai di Addis Ababa yang dimediasi oleh Otoritas Antar Pemerintah untuk Pembangunan (IGAD), sebuah blok regional Afrika Timur, telah gagal menghasilkan terobosan nyata.
Setelah pembicaraan gagal pada awal tahun ini, sejumlah serangan militer dilancarkan di negra bagian Unity, Upper Nile dan Jonglei.
Menurut laporan PBB, banyak warga sipil yang diperkosa dan dibunuh selama serangan, sementara banyak anak direkrut paksa oleh pihak yang bertikai untuk menjadi tentara.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Kekerasan baru-baru ini telah mempengaruhi sekitar 750.000 orang di wilayah Upper Nile dan memaksa sekitar 150.000 orang mengungsi, menurut sebuah pernyataan Selasa (16/6) yang dikeluarkan bersama oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), UNICEF dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Pertempuran yang sedang berlangsung di negara bagian Unity dan Upper Nile, telah memaksa beberapa lembaga bantuan menangguhkan kegiatan mereka dan dalam beberapa kasus, justeru mengevakuasi stafnya meninggalkan ribuan warga Sudan Selatan yang rentan membutuhkan bantuan.
“Kekerasan Terbaru telah mendorong warga sipil semakin jauh dari bantuan, sementara pasokan bantuan juga telah dijarah,” kata Jane Andanje, Direktur CAFOD Trocaire untuk Sudan Selatan. (T/P001/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara