Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semangat Santri: Dari Pesantren Nusantara Menuju Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina

Widi Kusnadi Editor : Rudi Hendrik - Rabu, 22 Oktober 2025 - 23:00 WIB

Rabu, 22 Oktober 2025 - 23:00 WIB

55 Views

Santri Pondok Pesantren Al Fatah Lampung. (Foto: MINA)

SANTRI selalu identik dengan kesederhanaan, tetapi di balik kesahajaan itu tersimpan bara semangat yang tak pernah padam: semangat menuntut ilmu, memperkuat iman dan keberanian membela tanah air dengan semangat anti penjajahan.

Ketika bangsa ini masih di bawah belenggu penjajahan, para santri tak hanya berdiam di bilik-bilik pesantren. Mereka bangkit, menggenggam kitab di satu tangan dan bambu runcing di tangan lainnya.

Dari pesantren, lahirlah semangat resolusi jihad yang kemudian menjadi bahan bakar bagi lahirnya kemerdekaan Indonesia dan tetap bangkit mempertahankannya. Namun semangat santri tidak berhenti di batas republik; ia menembus batas geografis, menolak segala bentuk penjajahan di mana pun, termasuk di tanah suci para nabi, yaitu Palestina.

Hari Santri dan Semangat Anti Penjajahan

Baca Juga: Abraham Accords Membidik Arab Saudi dan Indonesia, Mungkinkah?

Peringatan Hari Santri bukanlah seremoni yang hanya layak dirayakan dengan upacara dan jargon. Ia adalah momentum untuk menegaskan kembali makna resolusi jihad yang dikumandangkan para ulama pada 22 Oktober 1945.

Resolusi itu bukan sekadar fatwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tetapi sebuah pernyataan abadi: bahwa santri dan ulama menolak segala bentuk penindasan dan penjajahan atas manusia dan bangsa, di mana pun berada.

Semangat itu bersumber dari nilai-nilai dalam syariat Islam yang menegaskan kebebasan sebagai fitrah manusia. Dalam pandangan Islam, tidak ada satu umat pun yang boleh menjadi budak dan terjajah oleh yang lain.

Karena itu, Hari Santri seharusnya dibaca sebagai peringatan universal. Perjuangan melawan penjajahan tidak boleh berhenti di Nusantara, tetapi juga harus meluas ke seluruh dunia, termasuk Palestina, tanah penuh berkah yang hingga kini masih dirampas oleh Zionisme.

Baca Juga: Ketika Hidup Tak Sesuai Rencana, Ingatlah Allah Selalu Punya Cara

Ketika penjajahan berganti bentuk, dari kolonialisme bersenjata menjadi hegemoni ekonomi, politik, dan budaya. Penjajahan model baru ini berusaha menundukkan umat bukan dengan peluru, tetapi dengan gaya hidup, opini publik, dan kebijakan global yang dikendalikan segelintir kekuatan besar.

Di tengah arus itu, santri harus hadir sebagai benteng moral dan intelektual, yang tidak hanya mampu memahami kitab, tetapi juga mampu membaca zaman. Dari pesantren, lahirlah generasi yang berani berpikir merdeka, mengkritisi ketidakadilan, dan menegakkan nilai-nilai Islam sebagai jalan pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan dan penindasan.

Dari pesantren-pesantren di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga pelosok Indonesia, haruslah lahir santri-santri modern yang tidak hanya pandai membaca kitab kuning, tetapi juga peka terhadap ketidakadilan global.

Santri masa kini adalah mereka yang memahami bahwa membela Palestina bukan semata isu agama, tetapi amanah kemanusiaan dan perintah keimanan.

Baca Juga: Ketika Rumah Tangga Retak Karena Ego yang Tak Terjaga

Santri: Iman, Ilmu, dan Keberanian

Santri identik dengan tiga kekuatan utama: iman, ilmu, dan keberanian. Iman menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab kepada Allah dan sesama manusia. Ilmu memberi arah agar perjuangan tidak buta arah, sementara keberanian adalah bahan bakar yang membuat langkah tetap tegap meski berhadapan dengan risiko besar.

Tiga pilar ini pula yang menjadi dasar perjuangan umat Islam dalam membebaskan Masjid Al-Aqsa. Sejarah mencatat, para mujahid dan ulama yang terlibat dalam perjuangan pembebasan Al-Quds selalu berangkat dari ketiganya.

Salahuddin Al-Ayyubi mampu membangun kekuatan bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan membina keimanan dan ilmu di tengah-tengah masyarakat. Ia tahu, umat yang lemah imannya dan dangkal ilmunya tidak akan sanggup memikul tanggung jawab perjuangan dan pembebasan.

Baca Juga: Ekopedagogi Islam, Belajar dari Alam yang Tergenang

Begitu pula santri Indonesia, tradisi pesantren melatih kesabaran dan keikhlasan, dua nilai yang juga menjadi kunci perjuangan Palestina. Dalam keheningan malam, santri belajar tafsir dan fikih, tetapi juga diajarkan arti istiqamah dan pengorbanan.

Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa karakter santri sejati adalah karakter pejuang: mencintai ilmu, berani menegakkan kebenaran, dan siap berkorban untuk dakwah dan perjuangan, termasuk perjuangan pembebasan Al-Aqsa dan Palestina.

Dari Pesantren Nusantara untuk Palestina

Spirit keislaman dan keindonesiaan yang tumbuh di pesantren menemukan pantulan maknanya dalam perjuangan rakyat Palestina. Keduanya berakar pada nilai yang sama: perlawanan terhadap penjajahan.

Baca Juga: Trump dan Kejujuran yang Menelanjangi Dosa-dosa AS

Jika dulu para santri turun ke medan pertempuran melawan kolonial Belanda, maka kini mereka dapat berjuang di medan yang berbeda: pendidikan, media, diplomasi, dan kemanusiaan.

Santri masa kini tak bisa tinggal diam di tengah penderitaan bangsa Palestina. Solidaritas diimplementasikan dalam tindakan nyata, sesuai kemampuan dan bidangnya masing-masing.

Di pesantren, bisa dimulai dengan mengenalkan sejarah Al-Quds dan Palestina kepada santri muda, agar mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa Al-Aqsa bukan isu jauh di seberang lautan, tetapi bagian dari iman.

Media pesantren dan komunitas santri dapat menjadi corong kebenaran, melawan arus informasi bias yang sering kali menutup-nutupi kekejaman penjajahan Zionis. Santri juga dapat berperan dalam kampanye digital global untuk membela Palestina, menyebarkan fakta, dan mengajak masyarakat dunia membuka mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di Palestina.

Baca Juga: Bulan Solidaritas Palestina, Terus Bergerak untuk Al-Aqsa dan Palestina

Selain itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam bisa bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan untuk mengirim bantuan ke Gaza dan Tepi Barat. Gerakan ini bukan sekadar amal sosial, tetapi bentuk nyata dari ukhuwah Islamiyah.

Bahkan, dengan doa dan munajat yang tulus, santri telah ikut menjadi bagian dari perjuangan spiritual membebaskan Al-Aqsa, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “Doa adalah senjata orang beriman.”

Peran Generasi Muda dalam Perjuangan Al-Aqsa

Generasi muda hari ini memiliki potensi besar untuk ikut serta dalam perjuangan global umat Islam. Dengan teknologi dan jejaring sosial, dukungan terhadap Palestina dapat menjangkau dunia hanya dengan satu klik. Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain:

Baca Juga: Ketika Cinta Tak Lagi Bernilai: Perceraian Jadi Jalan Cepat

  1. Meningkatkan literasi Palestina. Pelajari sejarah, tokoh, dan isu terkini Palestina agar sikap dan dukungan kita berbasis pengetahuan, bukan sekadar emosi.
  2. Menggunakan media sosial untuk dakwah dan edukasi. Buat konten positif yang menumbuhkan empati dan kesadaran terhadap perjuangan rakyat Palestina.
  3. Berpartisipasi dalam aksi kemanusiaan. Menjadi relawan penggalangan dana, menyebarkan informasi bantuan, atau mendukung lembaga yang menyalurkan donasi ke Gaza.
  4. Menghidupkan semangat ukhuwah di lingkungan sekitar. Tanamkan nilai solidaritas, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama umat Islam.
  5. Menjaga spiritualitas. Karena perjuangan ini bukan hanya politik, tetapi jihad moral dan spiritual yang menuntut kesabaran dan keteguhan iman.

Jika setiap santri dan pemuda Muslim di Indonesia mengambil peran kecil sesuai kemampuan, maka akan lahir kekuatan besar yang mengguncang kesewenang-wenangan global.

Dari pesantren-pesantren di pelosok Nusantara, suara santri menggema menembus langit, membawa doa dan tekad untuk kemerdekaan Palestina. Mereka adalah pewaris semangat ulama pejuang yang dahulu membela tanah air dengan darah dan air mata.

Kini perjuangan itu berlanjut, bukan lagi melawan Belanda, tetapi melawan ketidakadilan, membuka mata dunia atas penderitaan saudara-saudara di Al-Quds.

Semangat santri bukan sekadar romantisme masa lalu. Ia adalah energi moral yang menyalakan api perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Ketika suatu hari nanti, udara kebebasan berhembus di Masjid Al-Aqsa, dunia akan tahu bahwa di antara gema takbir kemenangan itu ada doa dan perjuangan yang lahir dari tanah pesantren di Nusantara. []

Baca Juga: Reffleksi 108 Tahun Deklarasi Balfour, Pendudukan Semakin Brutal

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda