Suara Hati Dokter Migran di Amerika pada Masa Pandemi

(Foto: Spencer Platt/AFP)

Di suatu tempat di Amerika, seorang dokter dari sisi lain dunia menyelamatkan nyawa seorang pasien.

Dari rumah sakit paling padat di New York hingga rumah sakit di pedesaan, tidak ada profesional medis yang tidak terpengaruh oleh pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung ini.

Bagi para imigran, ini juga berarti rasa dedikasi untuk berkontribusi pada negara adopsi mereka sambil mengenang rekan-rekan mereka yang meninggal.

Pada musim panas 1980, selama bulan suci Ramadhan, Mahmoud Nouh tiba di Los Angeles dari Alexandria, Mesir, untuk mempraktikkan bidang kedokteran darurat yang berkembang di Universitas California di Los Angeles.

Dia melakukan pekerjaan pertolongan bencana pertamanya setelah gempa bumi Northridge 1994. Dengan krisis kesehatan COVID-19, rumah sakit sekali lagi memprakarsai penanganan bencana dengan sebuah tenda di luar, menghentikan operasi elektif dan merekrut staf tambahan.

“Saya sudah melihat segalanya. Tapi saya belum pernah melihat yang seperti ini,” kata Nouh pada The New Arab. “Saya mendengar tentang dokter dan perawat yang sekarat di Cina dan Italia. Semua staf di bawah tekanan. Rasanya seperti menjadi seorang prajurit dalam perang. Kamu tidak dapat meninggalkan timmu.”

Hampir satu dari tiga dokter di AS lahir di luar negeri, lebih dari dua kali total populasi kelahiran asing di negara itu.

Nouh adalah satu dari ratusan ribu dokter kelahiran asing di AS. Menurut sebuah laporan tahun 2018 oleh Journal of American Medical Association, hampir satu dari tiga dokter di AS lahir di luar negeri, lebih dari dua kali lipat keseluruhan populasi kelahiran asing di negara itu.

“Kami baby boomer akan segera pensiun. Negara akan membutuhkan lebih banyak dokter untuk datang,” katanya.

 

Petugas medis memeriksa staf rumah sakit dengan gejala seperti virus corona (COVID-19) di tenda-tenda yang didirikan sebagai rumah sakit darurat, di Bronx, New York, Amerika Serikat, Selasa (24/3/2020). ( Foto: Istimewa )

Memang, pada awal pandemi, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan pemberitahuan publik yang meminta dokter asing untuk turut membantu. Namun, awal bulan ini, perintah eksekutif dikeluarkan untuk melarang imigrasi.

Tidak jelas bagaimana langkah kedua akan memiliki banyak efek, mengingat penutupan bandara yang luas di seluruh dunia sejak Maret.

Bagaimanapun, tampaknya ada pesan beragam dari para dokter, terutama imigran, banyak dari mereka datang ke negara itu demi menyelamat diri dari bahaya di negara asal mereka. Larangan bagi imigran membuat mereka merasakan tekanan yang luar biasa sebagai seorang imigran.

“Menjadi seorang imigran memang membawa kerumitan pada semuanya,” kata Taha Bail, yang meninggalkan Suriah pada 2008 untuk melakukan residensi di Universitas Washington di St. Louis. Sekarang ia bekerja sebagai ahli saraf di Tufts Medical Center di wilayah Boston, tempat ia sekarang termasuk petugas medis yang merawat pasien virus corona.

“Selama beberapa tahun terakhir, sistem perawatan kesehatan Suriah telah diserang. Kami telah menyaksikannya runtuh. Ini sangat menggugah pikiran. Secara pribadi, saya memberi penghargaan terhadap apa yang dilakukan para dokter Suriah, di bawah tekanan karena dibom,” katanya.

“Selama bertahun-tahun, saya menyaksikan dari jauh dengan rasa bersalah kepada orang yang selamat. Nasib kami membedakan kami dari teman sekelas kami yang melakukan praktik kedokteran di sana. Sekarang, kami merasakan saat-saat kami mengalami krisis obat,” tambahnya.

“Begitu banyak teman sekelasku berada di zona waktu yang berbeda. Kami semua sangat tertekan. Kami selalu memiliki dua kecemasan tentang apa yang terjadi di sini dan di Suriah,” tambahnya.

Satu kekhawatiran yang Nouh miliki adalah kekurangan dokter di pedesaan Amerika, khususnya di daerah yang mungkin dibuka kembali pengunciannya secara prematur demi bisnis.

“Ada kekurangan dokter, ironisnya terutama di daerah pedesaan, di mana dokter asing lebih dibutuhkan. Mungkin masyarakat yang rentan terhadap propaganda lebih membutuhkan imigran semacam itu,” kata Bail.

Bahkan, seorang imigran yang telah menghabiskan hampir seluruh karir medisnya melayani daerah pedesaan merasakan tujuan bekerja di daerah pedesaan kurang terlayani.

Soubhi Azzouz yang telah melakukan praktik kedokteran di Omaha, Birmingham, Texas, dan sekarang di Grand Junction, Colorado, mengenang satu kejadian dengan humor.

“Satu pasien berkata kepada saya, ‘Sebelum saya bertemu dengan Anda, saya pikir semua warga Suriah jahat. Saya masih berpikir begitu, kecuali sekarang saya pikir Anda baik-baik saja.’ Itu adalah hal rasis terbaik yang pernah saya dengar,” kenangnya.

“Perubahan dimulai dengan satu orang,” tambahnya. “Saya yakin pada misi yang lebih besar. Membuat perbedaan satu orang pada satu waktu tidak masalah.”

Pada umumnya, pasien Azzouz tidak ragu-ragu mengungkapkan rasa terima kasih, mengatakan “terima kasih,” mengiriminya kartu “terima kasih” hingga baru-baru ini, kadang-kadang memberinya pelukan. Banyak pasiennya berkata kepadanya, “Terima kasih telah datang ke negara ini.”

Azzouz lebih banyak berpraktik di bidang kedokteran di daerah pedesaan Amerika. Ia terinspirasi untuk menjadi seorang ahli jantung setelah seorang dokter Suriah yang berlatih di Kansas menyelamatkan nyawa ayahnya setelah serangan jantung.

“Saya berutang dunia kepada dokter yang menyelamatkan hidup ayahku,” katanya.

Dia membuka praktik di Grand Junction, sebuah daerah terpencil di dekat perbatasan Utah.  Sebelumnya pasien harus pergi ke Denver (hampir 250 mil jauhnya).

“Saya suka saya melakukan sesuatu untuk masyarakat. Orang-orang sangat membutuhkan apa yang saya lakukan di sini,” katanya.

Meskipun saat ini ia dia tidak merawat pasien Covid-19, pembatasan yang diberlakukan karena penyakit ini membuat keluarga pasien rawat inap tidak dapat mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka cintai, yang merupakan kasus untuk rumah sakit dan panti jompo di seluruh dunia.

“Hati saya hancur karena keluarga tidak diizinkan untuk mengunjungi sekarang. Mereka memberi tahu saya melalui telepon untuk memberi tahu keluarganya bahwa mereka (pasien) mencintai mereka,” katanya.

Ini adalah harga yang sulit tetapi penting untuk dibayar guna mengatasi pandemi.

“Ini pertanyaan etis yang sangat besar. Apa yang lebih penting: kehidupan atau ekonomi? Sebagai seorang dokter, saya tidak bisa memikirkannya seperti itu. Saya hanya harus melakukan semua yang saya bisa untuk membawa seseorang kembali dan menyelamatkan mereka. Bagi kami, satu nyawa adalah hidup,” kata Azzouz kepada TNA.

Dengan datangnya Ramadhan, Nouh, dokter Mesir dari UCLA, diingatkan akan perkataan dari Al-Quran: “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah ayat 32). (AT/RI-1/RS3)

 

Sumber: tulisan Brooke Anderson di The New Arab (TNA)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.