Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Taat, Tertib dan Disiplin Sebagai Identitas Kehidupan Berjama’ah

Rana Setiawan - Rabu, 24 Mei 2017 - 19:17 WIB

Rabu, 24 Mei 2017 - 19:17 WIB

773 Views

Oleh : Ustaz Wahyudi KS.,  Amir Majelis Ta’lim dan Tadrib Pusat (Ketua Pendidikan dan Pengajaran) Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

Kehidupan berjama’ah adalah fithrah manusia yang hidup normal. Pada hakikatnya, manusia tidak dapat hidup sendiri, akan tetapi tergantung pada orang lain. Siapapun orangnya, selama hidupnya normal, ia membutuhkan pihak lain dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.

Pola hidup berjama’ah adalah pola hidup bersama Islam, berjuang bersama Islam, meraih kejayaan dan kebahagiaan dunia akhirat bersama Islam, hidup terpimpin dan satu sama lain saling menguatkan di atas landasan Islam.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-17] Berbuat Baik pada Segala Sesuatu

Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan Islam sebagai agama yang sesuai dengan fithrah manusia. Islam merupakan satu-satunya agama yang diridloi Allah, yang sempurna (kamil) dan universal (syamil). Seluruh aspek kehidupan manusia sudah diatur dalam Islam, sehingga tidaklah diperlukan penambahan dan pengurangan. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang berpegang teguh dengan Islam, yakni dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Hidup terpimpin adalah satu syarat utama dalam mewujudkan hidup berjama’ah. Tidaklah dikatakan berjama’ah, jika kita mendapatkan di masjid A, orang-orang shalat berjejer rapi dengan merapatkan dan meluruskan shafnya, dari shaf pertama hingga paling terakhir, akan tetapi tidak ada Imaam shalatnya. Maka nilai pahala mereka tetap “pahala munfarid”, yakni sama dengan shalat sendiri.

Berbeda dengan di masjid B, mereka hanya beberapa orang saja, merapatkan dan meluruskan shaf shalatnya, namun dipimpin oleh seorang Imaam shalat. Semua kaifiyat shalatnya mengikuti komando Imaam, dari mulai takbiratul ihram (takbir pertama), hingga salam mengakhiri shalat. Nilai pahala mereka adalah 27 x shalat munfarid.

Shalat Sebagai Tolak Ukur

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-16] Jangan Marah

Bagi seorang muslim, shalat berjama’ah adalah miniatur kehidupan berjama’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi Imaam, tidak hanya di saat shalat, akan tetapi juga di luar shalat, dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai Imaam shalat, beliau adalah komando dalam kaifiyat shalat, menertibkan shaf shalat agar tetap lurus dan rapat, taat mengikuti seluruh rangkaian shalat dengan tuma’niinah, menghayati bacaan shalat, dan tetap mengikuti gerakan Imaam, serta tidak mendahului ataupun ketinggalan Imaam. Maka, dari sholat inilah, pondasi dan semua konstruksi bangunan ditegakkan.

Sikap taat, tertib, dan disiplin menjadi identitas kaum muslimin dalam mewujudkan kehidupan berjama’ah. Potret kehidupan berjama’ah yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum, adalah pola terbaik sepanjang perjalanan sejarah manusia. Di saat itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Imaamul Muslimin dan para sahabat radliyallahu ‘anhum sebagai makmum, dapat mengamalkan Islam secara Kaaffah. Oleh karena itulah, beliau Sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

 فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ

 Artinya : “Maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin al  Mahdiyyin” (Musnad Ahmad juz 4 hal 126 –127)

Baca Juga: Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya

Sehubungan dengan hadits tersebut, maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat  bersegera membai’at seorang khalifah, yakni Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu. Hal ini karena para sahabat sangat tahu substansi hidup berjama’ah, hidup terpimpin oleh seorang Imaam. Mereka tidak mau menjalani hidup tanpa terpimpin oleh seorang Imaam atau Khalifah. Karena hidup tanpa Imaam, akan banyak meninggalkan syari’at. Di antaranya adalah syari’at Taat , Tertib, dan Disiplin. Sikap ini hanya bisa diwujudkan sepenuhnya, jika hidup berjama’ah dan terpimpin oleh seorang Imaam atau Khalifah. Maka, dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu,  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;

يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ

“Tangan Allah beserta Al-Jama’ah.“ (HR. Tirmidzi, Juz 8 hal 329, no. 2319, hadits ini hasan gharib, Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini)

Imaam Malik rahimahullah, menyatakan ;

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-15] Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu, dan Tetangga

لاَ يُصْلِحُ أَخِرِ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا بِـمَا صَلَّحَ بِهِ أَوَّلِهَا

Tidak akan dapat memperbaiki akhir umat ini kecuali dengan apa-apa (cara memperbaiki) yang telah dilakukan oleh generasi awalnya.”  (Ushulul Iimaan fii dlau’il kitaab was Sunnah, Juz 1, hal. 396)

Potret Generasi Awal Islam

  1. Ketaatan Para Sahabat dan Shahabiyah

Contoh ketaatan para sahabat dapat dilihat ketika turunnya ayat pengharaman khamr/arak. Secara bertahap, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan hukum khamr kepada kaum muslimin pada saat itu.

Baca Juga: Masih Adakah yang Membela Kejahatan Netanyahu?

Berawal dengan turunnya surat Al Baqarah : 219, kemudian surat An Nisaa:43, dan terakhir surat Al Maaidah : 90-91. Pada hari khamr diharamkan, disebutkan dalam sebuah hadits, “Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata: Aku sedang memberi minum para tamu di rumah AbuThalhah, pada hari khamr diharamkan. Minuman mereka hanyalah arak yang terbuat dari buah kurma. Tiba-tiba terdengar seorang penyeru menyerukan sesuatu. Abu Thalhah berkata: Keluar dan lihatlah! Aku pun keluar.Ternyata seorang penyeru sedang mengumumkan: Ketahuilah bahwa khamr telah diharamkan. Arak mengalir di jalan-jalan Madinah. Abu Thalhah berkata kepadaku: Keluarlah dan tumpahkan arak itu! Lalu aku menumpahkannya (membuangnya). Orang-orang berkata: Si fulan terbunuh. Si fulan terbunuh. Padahal arak ada dalam perutnya. (Perawi hadis berkata: Aku tidak tahu (apakah itu juga termasuk hadis Anas). Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh karena makanan yang telah mereka makan dahulu, asal mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.” (Shahih Muslim, no.3662).

Demikian pula contoh ketaatan shahabiyyah, saat diturunkannya Surat An Nuur : 31, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan jilbab kedadanya….”

Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah untuk menutup aurat bagi wanita muslimah. Tentang ayat tersebut, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang menggambarkan saat-saat setelah turunnya ayat perintah menutup aurat yang pertama, yaitu Surat An-Nuur ayat 31:

Bahwasannya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Ketika turun ayat ‘..dan hendaklah mereka menutupkan “khumur” – jilbab- nya ke dada mereka..’ maka para wanita segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab.” (Shahih Al-Bukhari, Juz 4, hal.1783, no. 4481 )

Baca Juga: Catatan 47 Tahun Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina

Potret berbagai bentuk ketaatan para sahabat terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah sebagai berikut :

  1. Ketaatan Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu menggantikan tidurnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, disaat beliau berangkat hijrah. Sahabat Ali radliyallahu ‘anhu berani bertaruh nyawa, siap menghadapi segala resiko, karena kecintaan dan ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
  2. Ketaatan Hudzaifah bin Yaman radliyallahu ‘anhu di Perang Ahzab (5H), mendapatkan amanah untuk masuk ke tengah-tengah musuh, menghitung jumlah kekuatan musuh yang tergabung dari berbagai suku dan keyakinan. Dengan keikhlashan dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya, sahabat Hudzaifah radliyallahu ‘anhu berangkat sendirian dan hanya bersama Allah. Maka, Allah segera memberikan pertolongan-Nya, dengan mendatangkan angin kencang yang memadamkan obor-obor penerang milik musuh Allah, sehingga Hudzaifah dapat masuk dengan leluasa, tanpa ada seorang pun yang mengetahui.

Ketaatan para sahabat dan shahabiyyah tersebut diawali dengan ketaatan mengikuti Imaam dalam shalat berjama’ah. Apapun yang dilakukan Imaam, selama benar sesuai tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka sebagai makmum taat mengikutinya.

  1. Ketertiban para sahabat dan shahabiyah

Sikap tertib adalah fithrah, dan merupakan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Allah menciptakan manusia  secara tertib, dengan tahapan-tahapan yang proporsional. Mulai dari setetes air mani, lalu menjadi segumpal darah, kemudian menjadi daging, selanjutnya dibalut dengan tulang, dan terus berproses hingga menjadi janin dan lahirlah seorang bayi.

Sikap tertib juga diajarkan Islam dalam shalat berjama’ah, Imaam sholat memerintahkan makmum untuk meluruskan dan merapatkan shaf sebelum Imaam bertakbir. Setelah rapat dan lurus, setiap kaki/tumit bertemu kaki/tumit disampingnya, bahu bertemu bahu di sampingnya, maka Imaam mulai takbiratul ihram. Selanjutnya disaat Imaam membaca dengan jahar (nyaring), makmum mendengarkan dan memperhatikan ayat demi ayat, sehingga bacaan Imaam cukup untuk makmum. Demikian pula gerakan Imaam, diikuti oleh makmumnya secara tertib. Semua makmum tidak mendahului Imaam, dan tidak pula ketinggalan Imaam.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-14] Tidak Halal Darah Seorang Muslim

Aplikasi shalat berjama’ah, diwujudkan oleh para sahabat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kemenangan perang Badar Kubro (2H.), selain modal aqidah yang teguh dan tawakkal yang tinggi, juga didukung dengan ketaatan dan ketertiban. Pasukan mujahidin Badar dibuat berlapis oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dimulai perang tanding, antara jagoan muslimin melawan jagoan musyrikin. Dilanjutkan perang massal, pasukan pemanah di posisi paling depan, kemudian pasukan berkuda, pasukan tumbak, dan seterusnya, diatur dengan tertib. Para mujahidin pun tidak ada yang nyelonong jalan sendiri di luar komando.

Perang Muktah (8H.), dengan tertib Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengatur komandan perangnya. Diawali dengan “nafirul ‘aam”, (mobilisasi umum), 3.000 pasukan disiapkan. Kemudian diamanahkan tiga orang komandan, yakni; Zaid bin Haritsah, jika Zaid syahid, maka sebagai komandan adalah Ja’far bin Abi Thalib,  dan jika Ja’far syahid, sebagai komandan adalah Abdullah bin Rawahah radliyallahu ‘anhum. Apabila ketiga komandan itu semuanya syahid, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyerahkan kepada para mujahidin untuk mengangkat komandan berikutnya. Qadarullah, ketiga komandan syahid semuanya, maka di tengah berkecamuknya perang, para mujahidin sepakat mengangkat Khalid bin Walid radliyallahu ‘anhu.

Komandan Khalid mengkondisikan para mujahidin, dan membuat strategi baru dengan model medan magnet. Dengan tertib, para sahabat dikondisikan, barisan depan tukar dengan belakang, sayap kiri tukar tempat dengan sayap kanan. Kondisi tersebut menimbulkan kesan bagi musuh Allah, pasukan Romawi mengira datang bantuan pasukan baru, sehingga membuat gentar dan akhirnya mundur. Maka, Khalid pun menarik mundur pasukannya dan kembali ke Madinah. Dari sinilah Khalid diberi gelar Saefullah (si Pedang Allah).

Sikap tertib seorang mukmin, dapat dilihat dari kesehariannya. Dalam QS. An Nisaa : 59, 83, dan QS. An-Nuur : 62, serta Al-Hujurat : 6 dijelaskan dengan karakter mukmin sebagai berikut :

Baca Juga: Tahun 1930 Tiga Pelajar Indonesia Syahid di Palestina

  1. Mentaati Allah dan Rasul-Nya secara mutlak.
  2. Mentaati Imaam /Ulil Amri di antara kaum muslimin, selama Imaam tersebut mentaati Allah dan Rasul-Nya.
  3. Mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan dasar iman kepada Allah dan hari akhir
  4. Tertib sentral klarifikasi kepada Ulil Amri, disaat menerima informasi/berita, baik berita menyangkut keamanan, maupun ketakutan.
  5. Tertib dan disiplin dalam dinamika jama’ah dengan meminta izin, ketika akan meninggalkan majelis/forum/masjid, dan saat akan safar meninggalkan kampung halaman.

   3. Disiplin Para Sahabat dan Shahabiyah

Sikap disiplin adalah perpaduan dari sikap taat dan tertib. Tidaklah seseorang dapat dikatakan disiplin, jika tanpa taat dan tertib. Perang Badar, Ahzaab, Hudaibiyyah, Muktah, Fathu Makkah, dan peristiwa lainnya menjadi unggul dan diberkahi Allah, karena kedisiplinan para sahabat atau shahabiyyah. Hal tersebut, dapat dilihat pada contoh-contoh berikut :

  1. Disiplin waktu, telah diajarkan Islam dengan sumpahnya Allah ‘Azza wa Jalla terhadap waktu ; Wal ‘Ashri, Wal Fajri, Wadl Dluhaa, Wal Laili, Wan Nahaari.
  2. Disiplin pada janji / komitmen untuk taat komando, pasukan mujahidin tidak bergerak kecuali dengan komando,
  3. Disiplin shalat berjama’ah lima waktu.
  4. Disiplin dalam pembagian tugas/amanah.
  5. Disiplin menjaga dan menghidupkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam kehidupan sehari-hari. Dari perkara yang kecil hingga yang besar. Misalnya; Cara memotong kuku, cara makan, makan sesudah lapar, berhenti sebelum kenyang, bersiwak dan berwudlu sebelum tidur, menyusun strategi perang, mengangkat Imaam, menata kehidupan berjama’ah, dan lain-lain.
  6. Disiplin dalam menjaga komitmen perjanjian dengan musuh, dan lain-lain.

Itulah Islam, diinullah yang sempurna dan universal, disiplin dalam hidup dan kehidupan. Aturan tentang taat, tertib dan disiplin yang sempurna hanya pada ajaran Islam, tidak akan pernah ada di agama lain.

Tertib dalam Berjama’ah

Baca Juga: Catatan Pilkada 2024, Masih Marak Politik Uang

Sikap tertib diajarkan dalam Islam dari mulai seseorang mencari pasangan atau jodoh yang shalih dan shalihah. Dengan memilih jodoh yang baik, berarti kita peduli dengan keselamatan diri dan keluarga, dan peduli terhadap generasi mendatang. Maka Islam mengatur secara tertib dengan proses ta’arruf, khithbah hingga aqdun nikah dan walimah, serta tindaklanjut sesudahnya. Ini menunjukkan ketertiban dalam Islam. Demikian pula dalam shalat berjama’ah dan kehidupan diluar shalat, semuanya ditata dengan tertib dalam Islam.

Jama’ah Muslimin atau Hizbullah, adalah wadah kesatuan muslimin yang secara syari’ah ditata dan ditertibkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Disiplin dalam Berjama’ah

Disiplin dalam kehidupan berjamaah, tidak hanya tepat waktu.  untuk shalat, akan tetapi sebagai tuntunan dan tuntutan dalam acara-acara lainnya, dalam majelis ta’lim, musyawarah, jam belajar, ribath dan lain-lain. Disiplin tidak hanya dalam waktu, tetapi dalam hal lainnya, sebagaimana dalam hal sebagai berikut  :

Baca Juga: Masih Kencing Sambil Berdiri? Siksa Kubur Mengintai Anda

  • Membaca do’a, saat masuk dan keluar masjid, saat menuntut ilmu, musyawarah dan penutup majelis
  • Merapikan Al-Quran dan fasilitas masjid lainnya.
  • Merapikan sandal / sepatu sehingga tidak tercecer / berantakan.
  • Menjaga air wudhu sehingga tidak berlebihan dan mubadzir.
  • Menjaga harta, sehingga dapat mengolah dengan baik dan tidak mubadzir, Pandai mengambil skala prioritas dalam penggunaannya.
  • Menjauhi segala yang dilarang, baik yang syubhat apalagi yang haram.
  • Merawat ketaatan dan ketertiban dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
  • Disiplin shalat wajib (bagi laki-laki) berjama’ah di masjid.
  • Disiplin shalat malam, baca Al-Qur’an, shadaqah, dan lain-lain.
  • Disiplin dalam menyantuni umat, menyelesaikan permasalahannya.

Tertib, taat dan disiplin sebagaimana penjelasan di atas, hendaknya menjadi tolak ukur dan identitas hidup berjama’ah, tidak hanya di markaz 1, akan tetapi menjadi acuan untuk dilaksanakan di Wilayah-wilayah, Niyabah-niyabah serta Riyasah disesuaikan dengan kondisi masing-masing.

Para Wali wajib koordinasi dan izin kepada Imaam jika akan safar keluar wilayahnya dan memberikan amanat kepada bithonahnya untuk mewakili selama safar tersebut.

Demikianlah gambaran global tentang perwujudan Taat, Tertib dan Disiplin dalam kehidupan berjamaah, sehingga menjadi identitas dan ciri khas. Dari sikap taat, tertib dan disiplin itulah, muslimin/">Jamaah Muslimin atau Hizbullah akan menjadi uswah (teladan), dan qudwah (pemimpin dan panutan) untuk peradaban umat Islam.

Dengan taat, tertib dan disiplin pula, akan terwujudnya Kal Jasadil Wahid (laksana tubuh yang satu), dan Kal bunyaanil wahid (laksana satu bangunan), saling menguatkan satu sama lain, saling mengingatkan satu sama lain, saling peduli satu sama lain, sehingga terwujudlah Islam yang menjadi rahmat untuk seluruh alam, menjadi  Al-Jama’ah rahmatun (sebagai rahmat). Dan insyaa Allah akan terwujudlah harapan kita semua ‘izzul Islam wal muslimun. Wallahu a’lam bishshawwaab.

(R01/RS3)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
Kolom
Khadijah
MINA Health
Kolom