Teka-teki Masa Depan Orang-orang Bengali Assam

Sekitar tengah malam 29 November 2016, Morjina Bibi terbangun oleh pukulan berulang di pintu rumahnya.

“Ketika saya membuka pintu, saya melihat dua petugas polisi wanita. Dalam satu menit, beberapa polisi memasuki rumah saya dan meminta saya ikut dengannya,” kata wanita berusia 27 tahun itu kepada Al Jazeera.

Bibi dibuang ke pusat penahanan karena menjadi pemilih “Diragukan” atau “D”, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Komisi Pemilihan India pada tahun 1997. Mereka yang ditandai sebagai “D” dalam daftar pemilih akan dicabut hak kewarganegaraannya.

Ia dibebaskan pada 17 Juli 2017 setelah diketahui ternyata dia adalah kasus salah tangkap.

Bibi yang berasal dari desa Fofanga Part I di distrik timur laut Goalpara, dibebaskan setelah  hampir sembilan bulan di tahanan.

“Saya bertanya pada mereka, ‘Apa salahku, mengapa Anda melakukan ini kepadaku?’ Saya tidak melakukan kesalahan apa pun. Mereka memerintahkan saya untuk diam,” katanya.

Dia dikirim ke pusat penahanan Kokrajhar pada hari berikutnya.

“Saya tidak bisa makan, saya tidak bisa tidur. Satu-satunya pikiran yang muncul di benak saya adalah, ‘Apa yang saya lakukan? Mengapa mereka menempatkan saya di neraka ini?’,” Katanya seraya duduk di halaman gubuknya.

Kehidupan di dalam pusat penahanan sulit dengan makanan berkualitas buruk dan sel yang penuh sesak.

“Di satu ruangan, ada antara 50 hingga 60 orang. Orang-orang saling bertabrakan saat tidur di lantai,” katanya.

Ternyata identitas yang dimaksud polisi adalah Merjina Begum, seorang wanita dari desa lain.

Kasus Bibi kemudian ditangani oleh All India United Democratic Front (AIUDF), sebuah partai yang membela orang-orang asal Bengali yang sering mengeluhkan pelecehan di tangan pihak berwenang.

“Ketika kami menemukan bahwa wanita lain dengan nama yang sama memiliki kasus, kami mengajukan jaminan,” kata Aminul Islam, Sekretaris Jenderal AIUDF.

Bibi mengatakan, polisi belum meminta maaf atau menawarkan kompensasi.

Aktivis mengatakan, pelecehan polisi atas nama “salah mendeteksi” telah mengoyak keluarga dan menanamkan ketakutan di masyarakat.

Pembuktian yang rumit

Ruhul Amin (17), pemuda Bengali di Assam yang harus menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya setelah kedua orangtuanya ditangkap. (Foto: Al Jazeera)

Ruhul Amin, seorang pemuda berusia 18 tahun dari sebuah desa dekat ibu kota Assam, Guwahati, tidak dapat dihibur ketika ia menceritakan kisah orang tuanya, yang saat ini berada di pusat penahanan terpisah.

Pada tahun 1997, ayah dan ibunya Ayub Ali dan Rahima Khatun dikirim pemberitahuan agar membuktikan kebangsaan mereka, yang berarti mereka diminta membuktikan legitimasi mereka di salah satu dari 100 Pengadilan Orang Asing (FTs), pengadilan khusus untuk memutuskan kewarganegaraan orang yang dicurigai sebagai orang asing.

Setelah kalah dalam kasusnya di Pengadilan Tinggi Guwahati pada tahun 2015, mereka dibawa ke tahanan.

“Kami menjual toko untuk melawan kasus di Mahkamah Agung. Ayah telah menjual tanah untuk melawan kasus ini di pengadilan tinggi,” kata Amin sambil menangis.

Amin terpaksa putus sekolah untuk membantu saudara-saudaranya, termasuk saudara laki-lakinya yang berusia 14 tahun. Kakak perempuannya menikah dengan bantuan keuangan dari tetangga dan kerabat.

“Anak laki-laki seusia saya sedang belajar. Saya juga bermimpi untuk belajar dan melakukan sesuatu yang baik dalam hidup, tetapi mimpi itu tidak akan terpenuhi lagi,” katanya.

Amin, seperti banyak anggota masyarakat, takut pada polisi. Dia takut karena dia juga bisa dinyatakan sebagai orang asing.

“Jika mereka menangkap saya dan meletakkan di pusat penahanan, apa yang akan terjadi pada adik laki-laki saya? Siapa yang akan menghidupinya?” katanya.

Harapannya sekarang disematkan di Mahkamah Agung. Jika mereka kalah kasus di pengadilan tinggi, orang tua akan merana di balik jeruji besi seumur hidup.

Mereka berada di antara 899 orang yang berada di enam pusat penahanan di Assam, yang semuanya saat ini berada di dalam penjara distrik.

Pemerintah India berencana untuk membangun pusat penahanan besar di distrik Goalpara.

Operasi NRC bahayakan masa depan

Sementara itu, Pemerintah Negara Bagian Assam melakukan operasi besar-besaran dan menghitung warganya untuk memperbarui Daftar Warga Nasional (NRC), bertujuan mengetahui jumlah pasti para imigran gelap.

Ini adalah operasi pertama yang dilakukan pemerintah sejak 1951.

Hasilnya, lebih dari 250.000 kasus pemilih “D” dan tersangka warga asing yang tertunda di pengadilan FTs telah dikesampingkan dari proses NRC, yang berarti bahwa hidup mereka akan tetap menjadi teka-teki di tahun-tahun mendatang.

Anak-anak mereka yang lahir setelah tahun 2003 juga tidak akan memenuhi syarat untuk menjadi warga negara India, menempatkan masa depan mereka dalam bahaya.

Selain itu, orang-orang yang tidak menemukan namanya dalam daftar NRC yang dijadwalkan akan diterbitkan pada akhir Juni, harus melalui proses yang panjang dan sulit di pengadilan.

“Diperlukan beberapa generasi untuk menyelesaikan kasus-kasus. Apa yang akan terjadi pada anak-anak mereka? Mereka tidak bisa sekolah atau tidak bisa mendapatkan pekerjaan,” kata Islam, pemimpin AIUDF.

Dia menyerukan pengadilan jalur cepat untuk mempercepat kasus-kasus itu karena pengadilan India sudah dibebani dengan sekitar 30 juta kasus yang macet.

Pemerintah negara bagian dipimpin oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa pada tahun 2016 dengan platform anti-asing. Partai sayap kanan menuding orang-orang asal Bengali sebagai penyusup.

Sekitar 15.000 orang dinyatakan sebagai orang asing tahun lalu di bawah pemerintahan BJP. Menurut angka pemerintah, hampir 90.000 orang dinyatakan sebagai orang asing antara tahun 1985 hingga 2016.

Ketidakpastian itu telah menyebabkan banyak orang melakukan bunuh diri.

Pekan lalu, Gopal Das (65) mengakhiri hidupnya setelah ia menerima pemberitahuan dari FTs di distrik Udalguri. Padahal keluarganya, seperti yang dilaporkan oleh situs berita lokal, mengklaim namanya tercantum dalam daftar pemilih 1966. (AT/RI-1/P1)

Sumber: tulisan Saif Khalid di Al Jazeera

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.