DALAM film, ayah digambarkan sebagai sosok heroik yang selalu tahu jawaban, selalu hadir di momen penting, dan selalu berhasil mengatasi masalah pada detik-detik terakhir. Namun ketika layar kehidupan nyata terbuka, kita sadar: menjadi ayah tidak pernah sesederhana skrip film. Tidak ada efek dramatis, tidak ada musik latar yang menguatkan suasana, bahkan tidak ada jeda ketika hati terasa berat.
Ayah di dunia nyata bangun lebih awal dari semua orang, sering kali masih membawa sisa kecemasan dari malam sebelumnya. Ia memikirkan banyak hal yang tidak pernah ia ucapkan: tagihan yang menumpuk, masa depan anak yang harus aman, pekerjaan yang menuntut, dan ketakutan apakah ia cukup mampu memimpin keluarga. Itu semua tidak terlihat, tapi ada. Tidak terdengar, tapi menghantui.
Banyak ayah menyembunyikan lelahnya: pulang larut bukan karena menghindari rumah, tapi mengejar rezeki. Menahan diri saat anak minta sesuatu yang belum bisa dipenuhi. Diam ketika dimarahi, bukan karena kalah, tetapi karena tidak ingin meninggalkan luka pada hati anak. Bahkan ketika menghadapi kegagalan atau kehilangan pekerjaan, banyak ayah memilih memendamnya agar keluarga tetap merasa aman.
Film menampilkan ayah sebagai sumber solusi. Dunia nyata menunjukkan ayah sebagai manusia yang rapuh tapi tetap berusaha. Ia tidak sempurna, tetapi bangkit setiap hari demi keluarga yang dicintainya. Itu bentuk cinta paling sunyi—dan paling dalam.
Baca Juga: Abraham Accords Membidik Arab Saudi dan Indonesia, Mungkinkah?
Cinta Ayah: Tak Berisik, Tapi Sangat Nyata
Cinta seorang ayah jarang muncul dalam bentuk kata-kata puitis. Ia hidup dalam hal-hal kecil yang sering tak dianggap sebagai cinta: potongan ayam terakhir yang ia berikan untuk anaknya, sepatu lama yang tetap dipakai demi mengalihkan uang untuk pendidikan, atau senyum yang dibuat-buat untuk menutupi resahnya. Semua itu mungkin tidak dramatis, tetapi itulah cinta ayah yang sesungguhnya.
Ayah tidak meminta balasan. Tidak menagih ucapan terima kasih. Ia hanya ingin anaknya tumbuh lebih baik darinya. Namun, satu hal yang sering dilupakan dunia adalah bahwa ayah juga butuh dimengerti. Butuh didengarkan. Butuh dihargai. Butuh disayangi. Di balik ketegasan, ada hati yang penuh kekhawatiran. Di balik tanggung jawab yang besar, ada manusia biasa yang kadang merasa tidak cukup.
Menghargai ayah bukan harus dengan hadiah mahal atau pelukan setiap hari. Terkadang cukup dengan memahami bahwa ia juga punya hari buruk. Menghormati keheningannya. Mengerti keputusan-keputusan sulit yang ia ambil. Menyadari bahwa perjuangan terbesarnya sering justru tidak terlihat mata.
Jika film menutup kisah dengan ending bahagia, kehidupan justru mengajarkan bahwa kebahagiaan dibangun dari usaha kecil ayah setiap hari. Meski tidak sempurna, perjuangannya tulus. Meski tidak selalu benar, niatnya selalu ingin melindungi. Dan mungkin, bagian terindah dari menjadi ayah adalah justru karena ia terus berjuang tanpa menunggu tepuk tangan.
Baca Juga: Ketika Hidup Tak Sesuai Rencana, Ingatlah Allah Selalu Punya Cara
Karena menjadi ayah bukan peran sementara. Ini perjalanan panjang yang ditulis dengan pengorbanan, harapan, dan doa. Tidak seindah film—tapi jauh lebih nyata, lebih tulus, dan lebih bermakna.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ketika Rumah Tangga Retak Karena Ego yang Tak Terjaga
















Mina Indonesia
Mina Arabic