Terorisme: Musuh Bersama Manusia (Oleh : Imam Shamsi Ali, New York)

Oleh: Imam *

Kita baru saja merayakan Idul Fitri tahun ini. Sebuah perayaan yang dibayang-bayangi oleh kegembiraan, kebahagiaan, kepuasan. Tapi juga dibayang-bayangi oleh kecemasan, kesedihan, dan bahkan kemarahan.

Betapa tidak, dalam beberapa hari terakhir ini, termasuk di bulan Ramadan yang baru lalu, berbagai peristiwa yang menyayat hati terjadi di berbagai belahan dunia. Serangan teror di berbagai kota dunia telah menelan banyak nyawa manusia. Dari Orlando, Turki, Baghdad, Bangladesh, hingga ke kota suci Rasulullah SAW Madinah Al-Munawwarah. Semua itu menyedihkan bahkan menyakitkan karena nyawa manusia nampak begitu murah.

Yang lebih menyakitkan adalah ketika tindakan brutal dan setanik ini dipaksakan untuk dikaitkan dengan , baik oleh pelaku maupun mereka yang berada di seberang lain. Mereka yang mengaku anti teror tapi melakukan teror kepada komunitas ke seluruh dunia. Bagaimana tidak. Ketika umat ini dibayang-bayangi oleh tuduhan dan kecurigaan seolah umat ini adalah umat yang anti kemanusiaan dan peradaban. Sehingga keberadaannya di mana saja perlu dicurigai dan diawasi.

Tidak beragama dan tidak bertuhan

Sunggu ironis memang. Sebagian orang masih berusaha, walaupun usaha itu nampak sangat tidak logis, untuk mengaitkan antara agama dan . Ini dilakukan bersamaan antara pelaku teroris atas nama agama dan mereka yang kemudian memiliki tendensi kebencian kepada agama yang diakui oleh pelaku teror.

Barangkali memang sudah masanya bagi semua manusia, khususnya umat ini, untuk berteriak lantang bahwa terorisme tidak saja bertentangan dengan agama. Terorisme bahkan tidak beragama dan bahkan musuh agama-agama semuanya.

Terorisme tidak memiliki kaitan dan ikatan dengan Tuhan. Justeru tidak bertuhan dan .

Hanya dengan kesadaran demikian akan menjadikan para teroris kehilangan harapan. Mereka akan terisolasi dan tidak mendapat tempat dalam kemanusiaan dan peradaban. Dengan demikian mereka akan terkucilkan dan tidak mendapat perhatian, yang justeru terkadang menjadi motivasi bagi mereka.

Anti Tuhan

Terorisme sesungguhnya anti Tuhan. Tuhan yang diyakini sebagai Tuhan yang kebaikan dan kebajikan. Tuhan yang pada diri-Nya melekat kesucian. Tuhan yang mengedepankan “rahmah” dan “cinta” kepada hamba-hambaNya. Tuhan yang mencintai bahkan pendosa yang taubat, lebih dari kecintaan seorang anak yang disusuinya.

Bahkan jika kita mengambil sifat Keadilan Tuhan, terorisme jelas anti keadilan Tuhan. Bagaimana mereka mewakili keadilan Tuhan di saat mereka menzalimi hamba-hamba-Nya yang tidak berdosa? Apa kesalahan para wanita, anak-anak, dan mereka yang tidak punya kepentingan kecuali mencari nafkah bagi keluarga?

Semua ini menjadi kesimpulan bahwa pengakuan teroris sebagai wakil Tuhan dalam melakukan aksinya adalah kebohongan besar. Mereka tidak saja tidak bertuhan. Tapi mereka adalah anti dalam segala hal yang terkait dengan Tuhan.

Anti agama

Terorisme juga tidak saja bertentangan dengan agama. Tapi tidak beragama dan anti / musuh agama. Kita yakini agama adalah dasar pijakan dalam membangun kebaikan dan kebajikan. Agama adalah petunjuk hidup untuk membangun kehidupan yang bermakna dan kebahagiaan. Agama adalah membangun peradaban.

Sementara terorisme adalah antithesis dari semua nilai yang dijunjung tinggi oleh agama. Kejahatan, keburukan, pengrusakan kepada kehidupan dan peradaban. Terorisme membawa kepada kehancuran hidup dan peradaban.

Masihkah logis jika agama dipaksakan untuk dikaitkan dengan terorisme? Orang yang berusaha mengaitkan terorisme dengan agama hanya orang yang sedang mengalami distorted thinking (pemikiran nyeleneh).

Anti Rasul

Terorisme juga tidak saja bertentangan dengan ajaran dan nilai moralitas ajaran rasul. Bahkan tidak punya dan musuhnya para rasul.

Rasul Allah itu tidak saja membawa risalah “kasih sayang”. Bahkan dianya yang menjadi representasi kasih sayang itu. “Dan tidaklah Kami utus kamu kecuali sebagai rahmat bagi sekalian manusia”, titah Allah sendiri.

Artinya pada semua sisi rasul itu, dari kepala ke kakinya, dalam dan luar, merupakan representasi “kasih sayang” itu.

Beliaulah yang marah kepada sahabat ketika melihat seorang wanita terbunuh di medan perang. Beliau pula yang marab kepada sahabatnya ketika membunuh seorang musuh yang telah berserah diri. Bahkan beliau yang mengancam seorang wanita dengan neraka di saat membiarkan seekor kucing mati kelaparan. Sebaliknya menjanjikan syurga kepada seorang wanita buruk karena memberikan minuman kepada seekor anjing yang kehausan.

Lalu di mana pengakuan mewakili rasul di saat membunuh wanita-wanita, anak-anak, dan mereka yang tidak berdosa? Di mana moralitas kerasulan yang diwakili dengan merusak kehidupan dan peradaban?

Anti jihad

Terorisme tidak saja tidak sejalan dengan konsep jihad. Terorisme justeru anti jihad.

Jihad adalah konsep kebaikan dan ke kebajikan. Jihad dihadirkan agar terbangun kebaikan dalam dada manusia, yang nantinya terefleksi dalam kehidupan lahirnya. Baik pada tataran kehidupan pribadinya maupun pada tataran kehidupan kolektifnya.

Jihadlah yang telah menghapuskan dendam kusumat antar suku di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Dan dengan jihadlah mereka mampu membangun peradaban yang maha dahsyat pada masanya, Al-Madinah Al-Munawarah.

Maka masihkah relevan jika terorisme dipaksakan untuk dikaitkan dengan konsep jihad dalam Islam?

Anti syurga

Seringkali kita dengarkan bahwa mereka yang melakukan teror akan mati “fii sabilillah” (di jalan Allah). Sekali lagi, pengakuan ini adalah pengakuan palsu dan menyesatkan.

Dalam pandangan Islam mati bukan perhatian pertama dan utama. Tapi sesungguhnya kehidupanlah yang harus menjadi perhatian pertama. Islam datang bukan menjadi petunjuk mati. Tapi justeru menjadi petunjuk hidup. Islam mengajar manusia untuk hidup di jalan Allah (sesuai ajaran-Nya). Dan bukan datang mengajarkan kematian. Karena sesunguhnya jika manusia hidup di jalan Allah (shirathul mustaqim) maka jnsya Allah akan mati dengan sendirinya di jalan Allah.

Maka pengakuan bahwa mati dalam melakukan teror, membunuh rakyat sipil, anak-anak, wanita, menghancurkan fasilitas umum, semua itu di jalan Allah, adalah sekali lagi kebohongan dan palsu. Mereka yang termakan dengan iming-iming ini hanya mereka yang berpikiran sempit dan dangkal.

Kesimpulan

Dari semua itu jelas sejelas-jelasnya bahwa terorisme dan agama adalah dua paradoks. Dan mereka yang mengaku mewakili agama dalam aksi teror adalah pembohong. Sebaliknya mereka yang masih memaksakan mengaitkan agama dengan terorisme sedang mengalami distorted mind atau pemikiran distorsi.

Dilemanya adalah terkadang orang mendefenisikan terorisme berdasarkan kepada keberfihakan, bukan kepada kebenaran dan kejujuran. Kadang pula berdasarkan kepentingan, sehingga defenisi yang dimajukan adalah defenisi yang dipaksakan untuk tujuan justifikasi kepentingan.

Penderitaan demi penderitaan yang dialami oleh warga Suriah saat ini sesunguhnya teror yang sangat dahsyat. Akan tetapi pelaku teror itu, baik yang mengatas namakan perjuangan keadilan, maupun mereka yang mengatas namakannya sebagai peperangan kepada teror (war on teror), keduanya memiliki defenisi masing-masing. Sudah pasti defenisi mereka dirajut sedemikian rupa sehingga nampak posisitf. Padahal, seperti yang saya sebutkan, semua itu adalah teror kepada warga Suriah.

Saya mungkin tidak akan memperpanjang polemik tentang siapa yang benar dan salah. Yang pasti, pembataian rakyat sipil, pembumi hangusan kampung dan kota-kota, walau dengan justifikasi yang elok adalah teror itu sendiri.

Bahkan sejujurnya teror juga seringkali terjadi dalam sebuah masyarakat yang nampak aman dan damai. Jika sebuah masyarakat nampak aman dan damai secara lahir, tapi terjadi penyiksaan batin siang malam, maka itu juga adalah teror. Apalah arti damai dan nampak aman, jika rakyat hidup dalam ketakutan tanpa ujung. Rakyat yang hidup dalam tekanan kekuasaan, tiada daya dalam mengekspresikan diri, sesungguhnya juga berada dalam suasana teror yang mencekam. Ini salah satu bentuk state teror yang terjadi dalam dunia kita.

Pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus dilakukan untuk menghadapi tendensi “teror” di dunia kita?

Ada empat poin yang ingin saya ajukan:

Pertama, mendesak mereka yang memegang kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun ekonomi, untuk kembali membangun sistim keadilan dunia (world justice system). Hilangnya keadilan dalam kehidupan sesunggunya menjadi salah satu akar penting dari terbangunnya “ketidak puasan”, bahkan kemarahan sebagian orang. Kemarahan yang tidak direspon secara positif inilah yang kemudian menjadi bangunan prilaku teror kepada sebagian manusia.

Dunia kita sekarang memang menangisi kematian keadilan (the death of justice). Bahkan keadilan terkadang menjadi sebuah boneka mainan kepentingan. Mereka yang memilki kekuasaan, baik di arena politik maupun di arena ekonomi mempermainkan keadilan berdasarkan kepentingan kekuasaan mereka. Di saat kekuasaan mereka terancam maka mereka akan memakai keadilan untuk menjaga kekuasaan mereka. Tapi di saat keadilan mengancam kekuasaan mereka, maka keadilan akan menjadi debu-debu yang diinjak-injak tanpa harga.

Sebagai ilustrasi tapi nyata. Kota New York dikenal sebagai pusat kapitalisme dunia, bahkan ibukotanya dunia. Di sinilah PBB berkantor. Di sinilah Wall Street terletak. Sebuah nama yang identik dengan perekonomian dunia. Kalau Wall Street ambruk maka perekonomian dunia akan ambruk sekaligus.

Tapi cobalah anda jalan-jalan di malam hari, menelusuri jalan-jalan kota Manhattan, di tengah-tengah rimba gedung pencakar langit itu. Anda akan terhenyak, terkejut melihat betapa banyak orang-orang yang papa, meminta-minta di pinggir jalan. Mereka adalah homeless yang tidak memiliki rumah dan jaminan makan dan minum.

Tragis memang. Tapi itulah kenyataan dunia kita. Amerika sebagai negara super power yang bangga dengan konstitusi: justice for all (keadilan untuk semua), ternyata di negara ini 80% kekayaan ada di tangan kurang dari 2% penduduknya.

Bagaimana dengan dunia lain? Akankah orang-orang yang telah dirampas hak dan rasa keadilannya untuk tenang dan damai? Tentu sangat sulit.

Kedua, pemimpin agama, khususnya mereka yang berada pada level keulamaan (scholars) agar membangun pemahaman agama yang kondusif. Maksud saya adalah betapa memang ada penafsiran teks-teks agama, diakui atau tidak, yang cenderung menumbuhsuburkan kebencian dan kemarahan.

Salah satu penyebabnya adalah kecenderungan menafsirkan teks-teks agama secara literal, tanpa memperhatikan semua sisi konteks yang terkait. Baik itu konteks history, sosial, budaya, bahkan konteks politik saat itu.

Seringkali juga penafsiran teks-teks agama disesuaikan dengan kepentingan sesaat, termasuk untuk kepentingan kekuasaan. Bahayanya ketika teks-teks agama itu kemudian ditafsirkan dengan pemahaman yang memang cenderung membakar kemarahan umat. Di sinilah rentang terjadi gesekan antar kelompok masyarakat, bahkan sesama umat Islam sekalipun.

Oleh karenanya masanya para ulama, khususnya mereka yang menjadi rujukan umat, untuk memberikan pemahaman agama yang membangun suasana kondusif. Penafsiran teks-teks agama jangan buta konteks, jangan pula hanyut sikon. Artinya, ada penafsiran yang imbang antara upaya membangun suasana yang kondusif tanpa menginjak-injak “hudud” (batas-batas) kebenaran itu sendiri.

Intinya, ekstrim kanan atau kiri bisa membawa umat ke arah yang salah. Oleh karenanya, wasathiyatul fahm (imbang dalam pemahaman) menjadi sangat penting dalam suasana seperti saat ini. —Bersambung-– (R04/P2)

* Presiden Nusantara Foundation yang berbasis di New York. Tulisan dikirimkan penulis ke redaksi Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.