TGB Soal Edaran Pengeras Suara: Sebaiknya Berlaku Juga untuk Tempat Ibadah Lain

Mataram, MINA — Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Indonesia, HM Zainul Majdi ikut menanggapi surat edaran dari Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas tentang  masjid dan musala.

TGB yakin  memiliki niat baik untuk membuat regulasi tersebut. Apalagai, menurut dia, Menag merupakan seorang tokoh dari organisasi Islam yang terbesar di Indonesia.

“Kemudian juga putra dari seorang ulama besar Almaghfurlah Kiai Cholil Bisri Rembang. Jadi, niat beliau pasti baik,” ujar TGB dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/2).

Bukan hanya masjid dan musala

Meski demikian, menurut TGB, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari surat edaran itu. Sebagai bahan untuk mengkoreksi, kata dia, salah satu kaidah paling mendasar di dalam membuat suatu kebijakan publik adalah imparsialitas.

“Artinya rata, seimbang, adil, tidak memihak. Karena itu kalau ingin menciptakan pengaturan maka seharusnya yang diatur itu bukan hanya masjid dan musala,” ujar TGB.

Dia menjelaskan, pengeras suara tak hanya digunakan di masjid dan musala. Pengeras suara juga dipakai di tempat ibadah yang lain. Menurut dia, ada momen-momen di mana acara ritual keagamaan itu juga mengeluarkan suara yang cukup besar.

“Sehingga menurut saya kalau memang mau membuat satu surat edaran untuk mengatur penggunaan pengeras suara di rumah ibadah jauh lebih baik tidak hanya menyangkut masjid dan musala,” kata TGB.

Menurut TGB, hal ini penting agar tidak menciptakan kesan bahwa seakan-akan yang berpotensial mengganggu ketenangan atau ketentraman itu hanya suara yang keluar dari masjid dan musala saja. Sementara, kata dia, rumah ibadah non Islam itu juga mengeluarkan suara kidung-kidung, lagu-lagu pujian, dan lagu-lagu keagamaan.

Di banyak tempat di Indonesia ini, menurut TGB, sesungguhnya masjid itu tidak hanya tempat berkumpul untuk salat. Pengeras suara masjid itu juga tidak hanya digunakan untuk azan dan iqamat saja, tapi rata-rata masyarakat juga menggunakannya di masjid untuk kegiatan lainnya.

“Sehingga dari pengeras suara di masjid itu digunakan untuk mengumumkan ada kematian kemudian kalau ada kegiatan gotong royong, dan ada kegiatan kemasyarakatan lainnya,” jelas TGB.

Fungsi sosial budaya

TGB mengatakan, pengeras suara masjid atau musala juga memiliki fungsi sosial budaya. Menurut TGB, di daerah-daerah seperti di NTB  justru pengeras suara masjid itu bukan mengganggu, tapi justru menjadi rujukan dari masyarakat di desa.

“Karena di situ sekali lagi bisa juga digunakan untuk banyak pengumuman-pengumuman yang menjadi perhatian dari masyarakat,” ujar TGB.

Menurut dia, yang justru bermasalah adalah di perkotaan. Karena, di perkotaan tidak hanya satu agama. Seperti di Jakarta, penduduknya heterogen memungkinkan pengeras suara masjid untuk diatur.

Gandeng FKUB

TGB menambahkan, pengaturan ini lebih baik diserahkan kepada kearifan bersama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Misalnya, untuk daerah-daerah tertentu yang masyarakatnya sangat heterogen, pengeras suaranya perlu diatur.

“Diserahkan kepada FKUB untuk kemudian membuat kesepakatan bersama. Kesepakatan itu lahir dan dibicarakan di tingkat masyarakat dan disepakati itu akan jauh lebih mudah diterima,” ujar TGB.

Dia menambahkan, di NTB yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, suara dari masjid sangat dirindukan. Suara itu justru menjadi penyejuk dan tidak ada yang merasa terganggu.

“Bila hal ini berkenan dikoreksi menjadi hal bagus, sehingga tidak terkesan hanya menyasar kepada masjid dan mushalla,” jelas TGB. (R/R2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.