Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

TUDUHAN IKHWANUL MUSLIMIN SEBAGAI KELOMPOK TERORIS

Admin - Kamis, 9 Januari 2014 - 22:01 WIB

Kamis, 9 Januari 2014 - 22:01 WIB

1010 Views ㅤ

Oleh Ali Farkhan Tsani

Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Alumnus Al-Quds Institute Shana’a Yaman

Wakil Perdana Menteri Pemerintahan Sementara Mesir, Hossam Eissa, pada 25 Desember 2013 mengumumkan bahwa pemerintahnya menyatakan Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai organisasi teroris.

Keputusan tersebut memberi peluang lebih besar bagi pemerintah sementara Mesir untuk menindak dan menghukum IM.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Pengumuman menyusul pengeboman di sebuah markas polisi di kota Delta Nil, Mansoura. Korban 14 orang meninggal, sebagian besar adalah petugas, dan lebih dari 150 orang terluka.

Kelompok militan Sinai, Ansar Beit Al-Maqdis, mengaku bertanggung jawab atas ledakan tersebut. Namun pemerintah sementara Mesir menyalahkan IM atas serangan tersebut, meskipun tidak ada bukti yang menghubungkan IM dengan peristiwa serangan itu.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Mesir Mohamed Ibrahim pada Kamis (2/1/2013) menghubungkan Ikhwanul Muslimin dengan gerakan Hamas di Gaza.

Ibrahim menuduh Hamas memberikan pelatihan kepada anggota IM dalam penggunaan senjata dan rudal dibantu Ansar Beit Al-Maqdis.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Pemerintah Mesir bahkan meminta negara-negara anggota Liga Arab untuk menegakkan perjanjian anti-terorisme yang akan memblokir dana dan dukungan untuk Ikhwanul Muslimin. Bukan hanya itu, Kairo juga ingin para anggota Liga Arab menyerahkan para buronan Islamis yang terkait dengan Ikhwanul Muslimin.

Penjelasan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty mengatakan, anggota Liga Arab yang menandatangani perjanjian anti-terorisme 1998, harus melaksanakan isi perjanjian itu. Termasuk menghentikan aliran dana ke kelompok yang disebut teroris.

Perjanjian Anti-Terorisme 1998

Pada 22 April 1998, 22 negara anggota Liga Arab berkumpul di Mesir, menyetujui pakta anti-terorisme regional. Perjanjian tersebut menyerukan negara-negara Arab untuk menolak perlindungan, pelatihan serta dukungan keuangan dan militer kepada kelompok-kelompok yang melancarkan serangan terhadap negara-negara Arab lainnya. Para penandatangan juga berjanji untuk bertukar informasi mengenai kelompok teroris.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

Negara-negara Arab dan Liga Arab mendefinisikan bahwa terorisme adalah bentuk teror, ancaman dari kelompok-kelompok yang akan menyerang kepentingan suatu negara. Namun, upaya untuk mengamankan negara tidak dianggap terorisme oleh Liga.

Ironisnya, seperti diungkapkan Ed Blanche, editor Daily Star Lebanon mencatat, beberapa negara Arab yang menandatangani perjanjian tersebut justru terlibat dalam serangan satu sama lain dalam permusuhan.

Blanche juga mengamati bahwa perjanjian tersebut awalnya ditujukan terutama pada fundamentalis Islam yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah di Mesir, Aljazair dan Teluk Persia.

Perjanjian itu juga mengatakan bahwa serangan terhadap rezim Arab berkuasa atau keluarga penguasa dikategorikan juga sebagai terorisme, karena sesuai  ajaran Islam yang menolak segala bentuk kekerasan dan teror.

Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina

Blanche menyimpulkan bahwa beberapa negara Arab memang memiliki catatan buruk di bidang hak asasi manusia. Sehingga perjanjian tersebut dinilai menandai langkah maju yang signifikan bagi dunia Arab.

Hebatnya, pada hari itu juga langsung keluar statemen dari organisasi perlawanan terhadap kebencian dan kefanatikan ADL (The Anti-Defamation League) berpusat di New York, AS.

Direktur Nasional ADL, Howard P. Berkowtiz, mempertanyakan tentang komitmen negara-negara Arab untuk hidup berdampingan secara damai dengan Israel.

Menurutnya,  kesepakatan ini bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya dalam melawan terorisme. Pada Maret 1996, 14 negara Liga Arab menandatangani Komunike Anti-Terorisme di Sharm El-Sheikh, Semenanjung Sinai, Mesir.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

KTT waktu itu mengutuk semua aksi teror dalam segala bentuk kekejian, apapun motivasinya, dan siapapun pelakunya, termasuk serangan-serangan ke Israel.

Bantahan IM

Atas pernyataan tuduhan itu, dan permintaan ke negara-negara Arab, Ikhwanul Muslimin segera mengeluarkan pernyataan bahwa mereka sangat mengutuk pengeboman tersebut, dan menolak keputusan yang menganggap IM kelompok teroris. (al-ikhwaanul muslimiin laysa irhaabiyyah).

Siaran Pers resmi IM membantah, bahwa pengumuman tuduhan dinyatakan pemerintah beberapa saat setelah terjadi pengeboman. Padahal penyelidikan kasus tersebut belum dimulai. Seharusnya kasus itu dibawa dulu ke pengadilan. Kemudian lembaga hukum mencari bukti dan saksi.

Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel

Alasan bahwa ada pemuda di tempat kejadian, yang ayahnya adalah salah satu Pimpinan IM, juga tidak berdasar. Pria itu bahkan tidak pernah menjadi anggota IM.
Pemerintah menyebutkan bahwa pemuda itu tergabung dalam kelompok militan pendukung Yerusalem Ansar Beit Al-Maqdis, salah satu kelompok militan bersenjata di Semenanjung Sinai.

Padahal, seperti ditegaskan pengamat Palestina Azmi Bishara, bahwa kelompok ini merupakan lawan ideologis dari Ikhwanul Muslimin.

“Jadi, bagaimana mungkin Ikhwanul Muslimin bertanggung jawab atas tindakan lawan mereka,” ujar Bishara.

Menurut kelompok IM, pengumuman pemerintah sementara tidak sah, hanyalah pernyataan, dan itu bukan keputusan pengadilan. Di luar wewenang pemerintahan transisi untuk menempatkan Ikhwanul Muslimin, dalam daftar kelompok terorisme.

Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya

Menurut IM yang terjadi malah sebaliknya, selama aksi demo yang digelar kelompoknya, selalu menggunakan aksi damai tanpa kekerasan. Justru pihak militer pemerintah yang kemudian membubarkan aksi massa yang diperbolehkn dalam demokrasi, dengan tembakan ke para pengunjuk rasa. Terbukti, semua saksi melihat pengunjuk rasa tidak bersenjata.

Kantor Berita IslamMINA (Mi’raj Islamic News Agency) edisi 3 Januari 2014 memberitakan bantahan Hamas di Gaza atas tuduhan Pemerintah Mesir bahwa mereka telah menawarkan pelatihan dan bantuan logistik kepada para pelaku serangan bom di Mansoura.

Tuduhan tersebut merupakan upaya menyesatkan orang-orang Mesir dan melempar kesalahan terjadinya krisis di Mesir pada pihak lain.

Dalam statamen terbarunya, Perdana Menteri Palestina di Jalur Gaza Ismail Haniyyah mengutuk aksi pengeboman dan menolak penyebutan Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Mesir.

Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap

Ia selaku pimpinan Hamas menegaskan kembali solidaritasnya terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin yang dikudeta militer Mesir. Meskipun  Hamas mengaku tidak pernah mencampuri urusan internal Mesir.

Atas stempel teroris itu, Pimpinan IM di Mesir sendiri menyatakan akan terus melakukan aksi damai menentang kudeta yang terjadi di negaranya, dan akan terus melakukan hal itu sesuai dengan tuntutan perdamaian dalam Al-Quran.

“Protes damai tidak dengan menumpahkan darah setetes pun, atau menghancurkan satu bangunan pun, karena kami mengedepankan kemajuan dan perdamaian sesuai dengan nilai-nilai Islam dalam Al-Quran,”  kata pernyataan itu, menambahkan surat  An-Nisa ayat 93, yang menyebutkan neraka dan murka Allah atas orang-orang yang membunuh mukmin dengan sengaja.

IM juga mengatakan pihaknya selama ini tidak bersalah dalam tragedi kekerasan apapun di Mesir. Termasuk ledakan-ledakan yang dituduhkan kepada mereka selama ini.

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 3)

“Karena kami adalah organisasi damai sejak dulu dan akan berkomitmen hingga kapan pun,” tambah pernyataan itu.

Meskipun mengalami penganiayaan, penindasan, tuduhan  serta ketidakadilan luar biasa dan kebohongan yang tak terhitung jumlahnya. Aktivis IM akan tetap berkomitmen untuk kedamaian, kebenaran dan kebebasan bagi semua warga.

Dampak Penyebutan Terorisme

Jamal Fathi Mohammed Nassar, Sekretaris Jenderal Forum Media Mesir mengatakan, penyebutan Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok teroris akan memiliki dampak hukum, politik dan sosial bukan hanya di Mesir. Tetapi juga  secara luas ke dunia internasional.

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 2)

Menurutnya, memang penetapan status hukuman untuk kejahatan terorisme, ditetapkan atas keterlibatan aktivis, kelompok atau organisasi tertentu, baik secara lisan, tertulis, pendanaan, kegiatan atau cara lainnya.

Menurut ketentuan Hukum Anti-Terorisme yang ditambahkan ke Hukum Pidana Mesir tahun 1992, hukuman bagi teroris bisa sampai dengan tindakan hukuman mati, untuk kasus pasokan senjata dan uang. Juga hukuman kerja paksa bagi pimpinan organisasi yang dituduh teroris.

Namun, menurut anggota Federasi Jurnalis Arab itu, pernyataan tersebut harus dikonfrontir dengan dua hal.

Pertama, tuduhan itu tidak menyelesaikan aktor utama (al-faa’il), dan belum melalui penyelidikan yang kompeten. Sedangkan kelompok “Ansar al-Bayt al-Maqdis”, yang aktif di Sinai Utara, mengaku bertanggung jawab atas pengeboman itu.

“Keputusan tersebut lebih cenderung persaingan politik, untuk menjatuhkan lawan politik yang sulit dikalahkan, menghadapi pemilu mendatang,” ujar doktor filsafat Islam Universitas Kairo tersebut.

Kedua, referensi sejarah Ikhwanul Muslimin menyebutkan bahwa dalam semua literatur IM, IM dalah organisasi dakwah dengan jutaan anggota di seluruh dunia, tidak pernah mengajarkan terorisme kekerasan dalam segala bentuknya.

Semua  fakta sejarah yang dituduhkan kepada IM atas tindakan pembunuhan, terorisme atau kekerasan, juga tidak pernah terbukti menurut hukum. Itu hanya tuduhan lawan politik sepanjang sejarah.

Adapun dampak dari keputusan ini secara hukum administratif, kelompok IM dapat mengajukan banding  melalui Pengadilan Administrasi atau Pengadilan (al-qanun) lain.

Menurut aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Mesir, Negad El-Borai, pernyaatan pemerintah bersifat politis untuk mengahadapi IM sebagai lawan politiknya.

“Ini adalah pernyataan politik dan tidak memperbaiki hukum Mesir, dan hanya campur tangan pemerintah dalam rangka pembekuan dana IM, serta untuk mendapatkan uang dari luar negeri jika negara-negara asing yang bersangkutan setuju dengan cap teroris tersebut,” ujar El-Borai.

Pandangan lain Mahmoud Kabisy, Dekan Fakultas Hukum Universitas Kairo, mengatakan, penyebutan hukum kelompok teroris terhadap kelompok IM, harus melalui pembuktian hukum pidana atas aksi kekerasan yang dilakukannya.

“Penyebutan terorisme tidak menunjukkan perubahan demokrasi, hanya legitimasi kekusaan semata,” kata Kabisy.

Menurutnya, secara prosedural keputusan pemerintah dapat dibatalkan oleh pengadilan. Pemerintah harus memberikan bukti-bukti kuat tentang hal-hal yang mengaitkan IM dengan terorisme, dan menyerahkannya ke Pengadilan.

Dalam hal seperti ini, diperlukan independensi peradilan untuk memberikan keputusan yang valid, konstitusional, sesuai dengan hukum, konstitusi dan konvensi internasional.

Namun, jika pemerintah campur tangan terhadap peradilan hukum, maka sudah tidak ada lagi kemerdekaan peradilan, kekuasaan benar-benar telah mengambil alih posisi peradilan, yang dapat membuat keputusan sendiri.

Adapun konsekuensi politiknya, keputusan ini akan semakin mengurangi wilayah kebebasan publik secara dramatis, dan akan mendorong para anggota dan pendukung partai untuk masuk ke dalam konfrontasi dengan negara.

Dampak sosial berikutnya, hal tersebut dapat memicu revolusi masyarakat yang lebih besar lagi.

Hanan ‘Ied, Penanggung Jawab Bimbingan Masyarakat di Alexandria, mengatakan, keputusan pemerintah sementara sekarang hanyalah sebagai pembalasan terhadap gerakan Islam.

Implikasi selanjutnya, menurutnya, kalau sampai pada pembekuan dana terhadap lembaga IM dan para pimpinan IM, maka akan menyebabkan apa yang disebut dengan “Revolusi Lapar”.

Hal ini karena keputusan pembekuan itu mempengaruhi kehidupan dan mata pencaharian mereka dan seluruh anggota dan keluarganya. Sementara pemerintah tidak dapat membiayai keluarga-keluarga mereka sebagai kompensasi. Sehingga menyebabkan nasib ribuan keluarga terancam kelaparan dan pengangguran.

Bukan hnya itu, hal ini dapat menimbulkan gelombang dampak lebih besar lagi, terutama dari organisasi, kelompok dan individu yang terkit dengan IM. Termasuk dapat meluas ke ratusan pergerakan (harakah) lain yang memiliki kedekatan secara ideologis, politis, maupun sosial.

Di antaranya beberapa organisasi resmi di Mesir, seperti Al-Jam’iyyah Asy-Syar’iyyah (didirikan 1912), Jam’iyyah Anshar As-Sunnah Al-Muhammadiyyah (1926), Food Bank (2005), dan sebagainya.

Suara dari luar Mesir pun mulai bermunculan. Di antaranya dari Front Keselamatan Islam FIS (Front Islamique du Salut) di Aljazair. Syaikh Ali Benhadj, Wakil Presiden FIS mengkritik keras keputusan pemerintah sementara Mesir yang memberi label Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris.

Menurut Benhadj, keputusan itu hanyalah muatan politis, dengan tujuan membenarkan kudeta yang ditolak mayoritas rakyat Mesir.

Sebutan serupa pernah juga dinyatakan oleh pemimpin kudeta di Al-jazair terhadap lawan politik mereka, imbuhnya, seperti dikutip Middle East Monitor (MEMO).

Belum lagi kritikan tajam dari beberapa media dan penulis di Mesir yang masih memiliki idealism tinggi dan tak bisa dihentikan. Beberapa penulis sudah mulai mengkhwatirkan dan mengingatkan, jangan sampai kemudian Mesir menjadi seperti “Irak Baru”.

Solusi Al-Quran

Mencermati perseteruan tiada henti, bahkan cenderung membesar, atau dikhawatirkan menjadi Irak Kedua. Jika keduanya masih sama-sama memegang tali agama Islam, maka kembali kepada pimpinan Allah dan rasul-Nya, berhukum kepada Al-Quran adalah solusi terbaik.

Karena sesungguhnya sesama orang-orang beriman kepada Allah, adalah bersaudara. Sehingga mendamaikan kedua saudara itu, mencegah jatuhnya korban, merupakan solusi mendapatkan rahmat, kesejahteraan dan kasih sayang. (Al Hujurat /49 : 10).

Ayat ini merupakan penegasan perintah Allah untuk mendamaikan orang-orang mukmin yang berselisih.

Sebab, dasar persaudaran adalah kesamaan akidah Islam. Ayat ini sekaligus menghendaki ukhuwah kaum mukmin itu harus benar-benar kuat, lebih kuat daripada persaudaraan karena garis keturunan, hubungan pertemanan apalagi kelompok.

Namun, itu tentu memang tidak mudah. Seperti disebutkan Dr Abdullah Nashih Ulwan, ulama kelahiran Suriah 1928 (wafat 1987).

Menurut doktor lulusan Al-Azhar Kairo tersebut, diperlukan niat menjalin ukhuwah murni karena Allah semata. Tidak  mungkin  ukhuwah  terbentuk  kecuali  jika  orang-orang yang saling bersaudara itu membersihkan diri dan memurnikan diri dari segala bentuk kepentingan yang bersifat pribadi dan kelompok. Manakala itu terjadi, ukhuwah akan mengeluarkan buahnya  serta berdampak positif di masyarakat.

Imam Al-Ghazali menyebutkan, perdamaian dan persaudaraan yang dikehendaki Islam bukanlah hanya yang bersifat lahiriah. Tetapi juga batiniah, termasuk menghindarkan hati daripada segala aib dan kekurangan, dengki atau hasad, menghasut serta segala macam kehendak negatif terhadap pihak lain.

“Siapa yang selamat hatinya daripada hal-hal tersebut, maka akan selamat pula anggota badannya daripada segala kejahatan, dan selamat pula hatinya daripada kesesatan. Dengan demikian dia akan datang menghadap Allah dengan hati yang selamat”, nasihat Al-Ghazali.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wassalam menyebutkan dalam sabdanya, “Ada seorang lelaki mengunjungi saudaranya yang tinggal di desa lain. Maka Allah mengutus satu malaikat untuk menemuinya. Tatkala bertemu dengan lelaki tersebut malaikat bertanya, “Hendak ke manakah saudara?” Lelaki tersebut menjawab,“Saya ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat  kembali  bertanya, “Apakah  Anda  menziarahinya  karena ada sesuatu kenikmatan (kepentingan) yang ingin Anda dapatkan?” Lelaki tersebut menjawab,“Tidak, saya melakukan kunjungan ini semata-mata karena kecintaan saya terhadapnya karena  Allah”. Malaikat kemudian berkata,“Sesungguhnya saya diutus Allah untuk menemui Anda untuk menyampaikan bahwa  Allah mencintai Anda sebagaimana Anda mencintai saudara Anda karena-Nya”.

Penutup

Maka  orang-orang  yang  saling bersaudara  (ukhuwah) karena Allah adalah mereka yang mendapat ridha Allah. Maka, bila ukhuwah itu murni karena mencari ridha Allah, dan bila ukhuwah itu dikaitkan dengan iman dan takwa. Maka  tidak  akan  terpengaruh  oleh berbagai kejadian dan peristiwa apapun, termasuk oleh situasi dan gejolak politik di manapund an kapanpun. Bahkan  akan selalu eksis selamanya, kokoh seperti gunung, erat seperti mata rantai, bersinar seperti  mentari, dan selalu mengalami pembaharuan kebaikan setiap saat sebagaimana pergiliran malam dan siang.

Sedangkan perpecahan, pertikaian dan permusuhan, hanyalah merusak persatuan dan kesatuan umat Islam (Ali Imran/3:103), melemahkan kekuatan internal kaum muslimin (Al-Anfal/8:46), dan rawan menjadi mangsa Yahudi dan Nasrani (Al-Baqarah/2:120). Wallahu a’lam. (L/R1/E1/mirajnews.com).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda