Tunis, 14 Syawal 1434/20 Agustus 2013 (MINA) – Tunisia mendorong pembicaraan dalam rangka untuk mengatasi krisis politik yang dipicu oleh pembunuhan seorang politikus oposisi.
Pemimpin partai islamis yang berkuasa Tunisia En-nahda, Rached Ghannouchi dan Kepala UGTT (Union Générale Tunisienne du Travail), serikat buruh terkuat di Tunisia, Houcine Abassi mengadakan pembicaraan pada Senin kemarin (19/8) untuk mencari jalan keluar dari krisis yang masih terjadi di negara pelopor kebangkitan Arab itu, lapor Modern Ghana yang dikutip Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj News Agency).
Namun, pertemuan tersebut masil belum mendapatkan kemajuan, sementara koalisi partai oposisi telah memperbaharui seruan mereka tentang pengunduran diri pemerintah transisi.
“Kami tidak terlalu optimis. Tidak ada konsesi yang jelas dari En-Nahda,” kata Abassi di radio swasta Mosaique FM.
Baca Juga: Erdogan Umumkan ‘Rekonsiliasi Bersejarah’ antara Somalia dan Ethiopia
Pemimpin serikat buruh memainkan peran mediasi untuk menyajikan proposal dari kelompok yang berkuasa bagi oposisi yang digelar pada Selasa (20/8).
Sementara itu, Ghannouchi menegaskan sudah ada kemajuan dalam dan dirinya telah membuat usulan-usulan tertentu. Mereka akan bertemu lagi pada Rabu besok (21/8).
Tidak adanya pihak yang menunjukkan tanda-tanda pelunakan sikap, membuat kebuntuan politik tetap terjadi selama hampir satu bulan setelah pembunuhan politisi oposisi Mohamed Brahmi.
Pengambilan keputusan En-Nahda pada Ahad (18/8) mengatakan bahwa pihaknya mendukung posisi Ghannouchi yang telah mengusulkan pemerintah berbasis persatuan nasional yang luas dan menolak seruan oposisi untuk pembentukan pemerintahan teknokrat.
Baca Juga: Afsel Jadi Negara Afrika Pertama Pimpin G20
Presiden Partai Dewan Syura, Fethi Ayadi mengatakan bahwa partainya mendukung gagasan “dialog nasional” di bawah naungan presiden.
Secara terpisah, Front Keselamatan Nasional (National Salvation Front/NSF), sebuah koalisi partai oposisi yang telah memobilisasi protes anti-pemerintah sejak pembunuhan Brahmi 25 Juli 2013.
“NSF menyatakan komitmennya untuk menuntut pembubaran pemerintah dan Majelis Konstituante Nasional, dan pembentukan sebuah pemerintahan independen,” kata Mobimo Ellouze setelah kelompok bertemu pada Senin kemarin.
NSF juga meminta semua aktor sosial dan politik untuk mengambil bagian dalam protes nasional yang akan diselenggarakan 24-31 Agustus 2013 mendatang untuk menuntut kejatuhan pemerintah transisi, menurut Anggota Parlemen dari pihak oposisi Samir Taieb.
Baca Juga: Rwanda Kirim 19 Ton Bantuan Kemanusiaan ke Gaza
Partai Ettakatol, salah satu sekutu sekuler En-Nahda menyatakan mendukung “pemerintah non-partisan”, namun belum keluar dari koalisi yang berkuasa.
Pemimpin Partai kiri itu, Mustapha Ben Jaafar, yang juga Ketua Parlemen di pemerintahan transisi saat ini, mengumumkan penghentian sementara kegiatan politik partainya pada 6 Agustus 2013 hingga dialog politik dimulai.
Tunisia merupakan pelopor kebangkitan Arab dengan menumbangkan pemerintahan diktator Zine El Alidine Ben Ali dengan protes massa rakyatnya pada Januari 2011.
Setelah puluhan tahun penindasan, pemerintah sementara yang dimotori Partai Islam di negara itu, Ennahda, menggantikan pemerintahan Ben Ali setelah memenangkan pemilu legislatif yang berlangsung pada Oktober 2011.
Baca Juga: Korban Tewas Ledakan Truk Tangki di Nigeria Tambah Jadi 181 Jiwa
Situasi di Tunisia masih belum stabil menyusul serentetan protes dilakukan pihak oposisi sejak pembunuhan seorang politikus oposisi Chokri Belaid pada Februari 2013. Dalam krisis lebih lanjut juga dipicu oleh pembunuhan terhadap anggota parlemen oposisi Mohamed Brahmi yang ditembak mati di halaman rumahnya pada akhir bulan Juli lalu. (T/P09/P02).
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Presiden Afsel Minta Dunia Tekan Israel Hentikan Serangan di Gaza