UU Anti-Teror Israel “Berbahaya” dan “Anti-Arab”

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Kantor Berita Islam Mi’raj (Mi’raj Islamic News Agency – MINA)

Dengan mengenakan T-shirt para aktivis kelompok hak-hak sipil menyanyikan lagu selama aksi demonstrasinya menentang undang-undang anti-terorisme yang baru disahkan.

Undang-undang yang diterapkan di dan Yerusalem Timur itu telah dikutuk sebagai hal “berbahaya” yang menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil.

Menurut para ahli hukum, UU itu memberikan izin kepada polisi Israel untuk menggunakan kekuatan baru dalam menangkap tersangka dan tidak memberikan akses kepada pengacara. Pengadilan akan diminta untuk memvonis hukuman penjara yang lama.

Pemimpin kuat bagi 1,7 juta minoritas warga di Israel, yang menyumbang seperlima dari populasi Israel, mengatakan, hukum itu “anti-Arab” daripada “anti-teror”.

Para pemimpin minoritas warga Palestina khawatir UU itu akan mudah dimanfaatkan untuk memenjarakan warga Palestina dan penduduk Al-Quds (Yerusalem Timur).

Warga Palestina di Tepi Barat akan terpengaruh karena mereka tunduk pada sistem yang terpisah dari pengadilan militer Israel.

Sebuah organisasi hukum Palestina di Israel mengatakan hukum itu tidak hanya berhubungan dengan tindakan di masa lalu, tapi juga apa yang mungkin dilakukan di masa depan. UU ini dirancang untuk meneror dan menganiaya warga Palestina.

Pengacara bernama Nadeem Shehadeh mengatakan, definisi UU ini jelas yang berarti melambaikan bendera, berbagi status Facebook atau tertangkap dalam bentrokan demonstrasi, dapat mengakibatkan tuntutan di bawah hukum dan penjara beberapa tahun.

“Melempar batu, berdesak-desakan dengan polisi atau meneriakkan slogan-slogan, semua bisa diperlakukan sebagai pelanggaran hukum,” kata Shehadeh.

Ia juga mengatakan, warga Palestina yang memberikan sumbangan kepada kelompok-kelompok kemanusiaan berupa pakaian atau makanan, akan berisiko ditutup karena membantu “teror”.

“Jika dipaksakan secara kasar, (hukum) ini dapat menyebabkan banyak penangkapan dan penuntutan, mereka yang terbukti bersalah menghadapi hukuman berat,” katanya.

Anggota Palestina dari parlemen Knesset Israel telah mengecam mengesahan UU itu.

Haneen Zoabi dari Joint List, koalisi anggota dewan etnis Palestina, mengatakan kepada Al Jazeeera, “Ini adalah hukum yang merupakan tindakan teror.”

Menurut Zoabi, hukum itu berlaku untuk tindakan di masa lalu dan apa yang mungkin warga Palestina lakukan di masa depan.

“Hal ini dirancang untuk meneror dan menganiaya warga (Palestina) lebih karena keyakinan politik dan rasa simpatinya,” kata Zoabi.

ketakutan seperti itu mulai meningkat pada Kamis (16/6) ketika Menteri Polisi Israel Gilad Erdan mengatakan, ia akan memastikan bahwa aktivis lokal yang mendukung boikot terhadap Israel akan “membayar harga yang berat”.

Dia mengatakan dalam konferensi pers di dekat Tel Aviv bahwa pemerintah telah membentuk tim hukum yang akan bekerja untuk menemukan koneksi antara aktivis yang tergabung dalam gerakan BDS dan organisasi teroris.

“Apakah ada bentuk perjuangan melawan penindasan Israel yang lebih damai, lebih sipil dari BDS? Jelas tujuan sebenarnya pemerintah untuk membungkam kritik, perbedaan pendapat apapun,” tandas Zoabi.

Pada Rabu malam, 15 Juni, Knesset meloloskan RUU anti-teror dengan dukungan semua pihak, kecuali List Joint dan sayap kiri dari faksi Meretz yang kecil jumlahnya.

Secara formal, hukum berlaku sama terhadap warga Israel, apakah dia orang Palestina atau Yahudi. Namun, para pemimpin Palestina mengatakan, hukum itu dibuat secara khusus untuk menargetkan warga Palestina di Israel dan Al-Quds (Yerusalem Timur).

Pada sidang komite parlemen bulan lalu, Issawi Freij, anggota parlemen dari partai Meretz, mencontohkan, jika seorang Arab melempar batu, maka ia akan menjadi teroris. Sementara jika yang melempar batu adalah seorang ultra-ortodoks Yahudi, ia tidak akan dicap sebagai teroris.

Di bawah UU ini, pemimpin “organisasi teror” akan menghadapi ancaman 25 tahun penjara. Masa hukuman bisa naik kepada hukuman seumur hidup jika ada serangan “teror” yang dilakukan.

Menteri Pertahanan bisa mengajukan penyitaan aset organisasi, bahkan sebelum organisasi didakwa sebagai kelompok teror.

UU itu mencatat bahwa hukum tidak membedakan antara serangan terhadap warga sipil dan tentara.

Kebanyakan gerakan politik Palestina di wilayah pendudukan diperlakukan oleh Israel sebagai organisasi teror. Para pejabat Israel, tidak memberi perbedaan hukum antara pimpinan militer Hamas dengan politisi yang berada di Jalur Gaza.

Pengacara Shehadeh mengatakan hukum itu akan membatasi kebebasan berekspresi. Pelaku aksi teror bagi Israel terancam tujuh tahun penjara, terduga penghasut teror terancam lima tahun penjara, sementara mereka yang memuji organisasi “teror” terancam tiga tahun penjara.

Shehade mengatakan, mereka yang membantu organisasi yang dianggap teror oleh Israel, atau menyediakan bantuan, menghadapi ancaman lima tahun penjara. Dalam banyak kasus, beban pembuktian akan beralih kepada terdakwa untuk menunjukkan bahwa mereka tidak membantu atau bersimpati kepada organisasi “teror”.

“Itu melanggar prinsip dasar dari proses dalam hukum pidana,” kata Shehadeh.

Hukum ini dirancang untuk menggantikan UU anti-teror sebelumnya dan menggabungkan puluhan peraturan darurat yang diperkenalkan oleh Inggris pada tahun 1940-an. Knesset mengadopsi kekuatan-kekuatan pada penciptaan Israel pada tahun 1948.

Amir Fuchs, seorang ahli hukum dengan Institut Demokrasi Israel, mengatakan UU menawarkan banyak alat-alat baru yang mengganggu sistem penuntutan Israel. Pengadilan akan diizinkan untuk memperhitungkan “kabar angin”.

Prinsip sidang harus menghadirkan terdakwa juga tidak akan berlaku dalam beberapa kasus, yang berarti sidang bisa dilakukan tanpa kehadiran terdakwa.

UU anti-terorisme rencananya disusun selama enam tahun, tapi proses dipercepat setelah muncul gelombang serangan yang disebut “serangan serigala tunggal” yang dimulai tahun lalu. Banyak dari serangan terpusat di Al-Quds (Yerusalem Timur).

Meskipun Al-Quds di bawah pendudukan, hukum Israel diterapkan di sana, karena Israel menganggap itu bagian dari “ibu kota abadi”-nya.

Fuchs mengatakan, ketentuan hukum yang baru ini akan tunduk pada judicial review Mahkamah Agung. Namun, ia mengatakan, pengadilan mungkin akan enggan untuk campur tangan.

Legislasi dijadwalkan akan disahkan dalam beberapa pekan ke depan untuk menindak kelompok-kelompok HAM dan memberikan mayoritas anggota Knesset kekuatan untuk mengusir anggota parlemen Palestina.

Aida Touma-Suleiman, anggota Knesset dari Joint List mengatakan, polisi sudah memperlakukan postingan media sosial warga Palestina dan penduduk Al-Quds yang menyerang pendudukan sebagai kategori hasutan.

Di Knesset debat minggu lalu pada hukum, Touma-Suleiman mengangkat kasus Dareen Tatour, seorang penyair Palestina dari Reine, dekat Nazareth, yang ditangkap pada Oktober lebih dari Facebook posting. Dia telah menghabiskan tiga bulan di penjara dan sekarang di bawah tahanan rumah.

“Israel ingin kita terlalu takut untuk memiliki pendapat,” kata Touma-Suleiman. (T/P001/P4)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.