Wakil Ketua MUI Komentari Pernyataan Presiden Soal Politik dan Agama

 

Wakil Ketua Zainut Tauhid Sa’adi (dok:MUI)

 

Jakarta, 29 Jumadil Akhir 1438/28 Maret 2017 (MINA) – Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi  menduga Joko Widodo terkait pemisahan adalah politik dalam arti praktis bukan dalam arti etis atau nilai.

Menurutnya, memang harus dibedakan antara politik praktis dengan politik etis atau politik nilai.

“Kalau yang beliau maksudkan adalah politik praktis saya bisa memahami, karena politik praktis itu adalah kegiatan politik yang berorientasi hanya pada kekuasaan semata yang seringkali diwarnai dengan intrik, fitnah dan adu domba.  Yang terpenting tujuannya tercapai,” kata Zainut dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Selasa (28/3).

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu  mengatakan kegiatan politik seperti ini memang tidak tepat jika diatasnamakan agama, karena agama hanya sekedar dijadikan sebagai alat propaganda atau hanya untuk mempengaruhi massa.

“Sementara praktik kehidupan para politisinya sendiri jauh dari nilai-nilai agama. Hal ini yang barangkali oleh Presiden maksudkan agar agama jangan hanya dijadikan sebagai alat komoditas politik semata,” ujar Zainut.

Kalau politik etis, kata Zainut selanjutnya, memang seharusnya semua kegiatan politik itu harus didasarkan pada nilai agama. Jika politik tidak didasarkan pada nilai agama yang terjadi adalah liar dan membahayakan bagi kehidupan umat manusia dan bagi kelangsungan hidup.berbangsa dan bernegara.

“Politik tanpa didasarkan pada nilai agama akan membuat manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Untuk itulah perlunya ada nilai agama yang memandunya agar kehidupan politik bisa berjalan dengan aman dan damai untuk meningkatkan kesejahteraan bagi umat manusia,” jelasnya.

Menurut Wakil Ketua MUI itu, sebagai negara Pancasila, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya harus menjadi dasar bagi pembangunan kehidupan politik di Indonesia. Yaitu nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Semua nilai tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Menurut Zainut, politik dan agama itu harus berjalan berdampingan. Bahkan Imam al-Ghazali mengatakan antara agama dan kekuasaan (politik kenegaraan) itu ibaratnya seperti bayi kembar, agama adalah pondasi, sultan atau raja adalah penjaganya, sesuatu yang tanpa pondasi akan mudah runtuh dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang.

“Jadi tidak perlu dipertentangkan antara agama dan negara. Justru keduanya saling menguatkan dan saling mengisi. Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara kehidupan negara dengan agama,” tegas Zainut yang juga tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu.

Dia mengatakan, negara Indonesia adalah negara Pancasila yang menempatkan agama sebagai sumber nilai dan sumber inspirasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

MUI sebagai ormas keagamaan tidak akan memasuki wilayah kegiatan politik praktis, tetapi akan mendorong dikembangkannya politik nilai atau politik kemaslahatan, yaitu politik yang dilandasi oleh nilai etika, akhlak dan moral agama untuk membangun kemaslahatan umat manusia. (L/R03/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)