Warga Palestina Kutuk Kekebalan Hukum Ekstrimis Yahudi

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Pada malam tanggal 22 Juli 2016, seorang pemuda Palestina bernama Qais Manasra dari desa Wadi Fukin, Betlehem, harus berlari ke ladangnya yang dibakar oleh pemukim ekstremis Yahudi Israel.

Manasra mengatakan bahwa seluas tiga dunam (0,7 are) gandum di tanah milik Fukin dibakar malam itu.

Sebelumnya sekitar 200 pohon zaitun hancur di pinggiran desa selama serangan pembakaran  oleh sejak Juni.

Insiden ini hanya satu dari banyak serangan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi pada akhir bulan Juli lalu di Palestina. Para ekstremis itu menyerang properti warga Palestina di Tepi Barat yang dijajah.

PBB melaporkan itu sebagai serangan dengan jumlah tertinggi yang dilakukan oleh pemukim ilegal dalam waktu seminggu sejak awal tahun ini.

Samer Jaber, seorang warga desa Al-Khadr, Bethlehem, juga mengaku telah dipukul berulang kali oleh pemukim ilegal Yahudi dari pos ilegal Derech Havaot. Jaber kemudian terlihat dalam sebuah video yang menunjukkan tentara Israel hanya berdiri saat pemukim ektrimis menembak dia dan keluarganya.

Menurut dokumentasi PBB, di daerah lain di Tepi Barat yang diduduki, termasuk di Al-Quds, pemukim ilegal menyerang secara fisik terhadap warga Palestina, menumbangkan tanaman lokal, mencuri karung gandum dan biji-bijian, dan merusak kendaraan dengan batu.

Jaber dan Manasra, keduanya mengatakan bahwa serangan terhadap mereka itu dilaporkan ke polisi kolonial Israel. Namun, ketika Al Jazeera mencoba mengkonfirmasi kepada kepolisian Israel, juru bicara polisi mengatakan tidak memiliki informasi dan hanya mengatakan insiden itu akan diselidiki.

Serangan pemukim ekstremis tetap terjadi meski pemerintah kolonial Israel telah berjanji untuk menghentikannya.

Lembaga keamanan Israel Shin Bet menyebut para ekstremis pemukim ilegal itu dengan nama “jaringan teror Yahudi”. Istilah itu muncul setelah pemukim ekstremis melakukan serangan pembakaran terhadap sebuah rumah warga Palestina di desa Duma tahun lalu, yang menewaskan semua anggota keluarga Dawabsheh, kecuali satu orang dengan meninggalkan bekas luka bakar yang parah.

Menurut data PBB, gelombang dakwaan kepada pelaku serangan terhadap warga Palestina dan properti mereka terus berlanjut hingga tahun ini, namun terdapat penurunan. Rata-rata serangan mingguan yang dilakukan di tahun 2016, sejauh ini sekitar 40 persen lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2015.

Namun Gilad Grossman, juru bicara kelompok hak asasi manusia Israel Yesh Din mengatakan, fluktuasi baru-baru ini tidak mungkin menjadi indikasi adanya perubahan yang signifikan, karena adanya impunitas (kekebalan hukum, kasus yang tidak dapat dipidanakan, tidak dapat ditindak secara hukum), yang sistematis bagi warga Yahudi yang melakukan kekerasan terhadap warga Palestina.

“Tidak ada yang (ada di pemerintah Israel) pernah mencoba untuk meningkatkan kasus seperti ini ke masalah inti,” kata Grossman.

Menurutnya, masih ada pula faktor kurang profesionalnya kepolisian Israel di Tepi Barat. Mereka tidak menanggapi dengan serius pengaduan tentang pelanggaran terhadap warga Palestina.

Kelompok hak asasi manusia Israel Akevot mengatakan, selain perusakan fisik warga Palestina dan properti mereka, tidak dihukumnya pelaku kekerasan dari fihak pemukim ilegal Yahudi, adalah di antara beberapa faktor yang menyebabkan maraknya pengambilalihan tanah warga Palestina secara ilegal.

Pemukim ekstremis Yahudi telah lama membuat pos-pos baru untuk melakukan kekerasan atau ancaman terhadap warga Palestina lokal. Pos-pos ilegal itu kemudian dilindungi oleh militer dan diizinkan oleh pemerintah kolonial Israel.

Manasra mengatakan, tren itu telah berulang kali terjadi di desa Wadi Fukin.

“Kekerasan oleh pemukim telah membantu menghancurkan tanah tempat pemukiman ini tumbuh,” katanya, sambil menunjuk ke Beitar Illit yang dibangun hampir seluruhnya di atas tanah pribadi warga Palestina.

Koordinator khusus PBB untuk proses perdamaian Timur Tengah, Nickolay Mladenov, menegaskan bahwa Israel secara langsung melanggar hukum internasional karena gagal memberikan perlindungan kepada warga Palestina di Tepi Barat dan Al-Quds yang dijajah.

Otoritas Palestina tidak memiliki yurisdiksi hukum atas pemukim Yahudi Israel yang tinggal secara ilegal di wilayah dijajah itu. Sebagai akibat dari Kesepakatan Oslo, dua daerah itu di bawah kontrol militer Israel.

Dekade perluasan pemukiman dan kekerasan pemukim ekstremis yang mendapat dukungan otoritas Israel telah menyebabkan kepemimpinan Palestina berulang kali menuntut PBB memberikan perlindungan internasional untuk warganya.

“Alih-alih kedaulatan, kita harus terlebih dahulu meminta perlindungan. PA (Otoritas Palestina) tidak bisa melakukannya, dan Israel tidak akan melakukannya,” kata Jaber.

Lebih dari setahun yang lalu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengirim surat kepada Sekjen PBB yang meminta perlindungan internasional. Ia mendorong departemen hukum Dewan Keamanan PBB untuk mengirimkan sebuah penilitian pada Oktober 2015 terhadap tren kekerasan oleh pemukim ilegal Yahudi.

Riyad Mansour, wakil tetap negara Palestina untuk PBB mengatakan bahwa diskusi dengan Dewan Keamanan sedang berlangsung.

Namun, Valentina Azarova, penasihat kelompok Jaringan Kebijakan Palestina Al-Shabaka mengatakan bahwa untuk melaksanakan perlindungan internasional akan memerlukan persetujuan dari kolonial Israel, atau intervensi militer kolonial.

Sementara itu di desa Wadi Fukin, Manasra berdiri di punggung bukit yang menghadap ke desa, yang sebagian besar lahannya telah hilang dirampas untuk membangun tiga pemukiman ilegal yang terus berkembang pesat di puncak bukit yang mengelilingi lembah, tempat penduduk Palestina tinggal. Secara perlahan lahan pertanian warga Palestina disita oleh penjajah Yahudi itu.

Tampak crane terus bekerja di atas proyek pemukiman.

“Mereka (kepemimpinan Palestina) telah berbicara selama bertahun-tahun di PBB. Mereka tidak melakukan apa-apa,” kata Manasra kecewa.

Tidak adanya perlindungan bagi warga Palestina dari kekerasan pemukim ekstremis Yahudi semakin menjadi jelas melalui pembentukan sistem penjaga malam otonom di seluruh Tepi Barat yang dijajah.

Ghassan Daghlas, seorang pejabat PA yang memonitor aktivitas permukiman di Tepi Barat utara, memperkirakan bahwa 87 desa Palestina saat ini bergantung pada warganya sendiri dalam melaksanakan patroli malam untuk melindungi masyarakat dari serangan pemukim ekstremis Yahudi.

Daghlas mengatakan, sementara ini masyarakat Palestina terus patroli malam. Semakin beringasnya serangan para ekstremis Yahudi telah menyebab petugas patroli lokal makin tak berdaya.

“Mereka (petugas patroli) tidak melihat banyak manfaat dari tujuan patroli, karena mereka tidak memiliki senjata sedangkan pemukim ilegal bersenjata. Jika sesuatu terjadi, tidak ada yang bisa mereka lakukan selain memperingatkan warga bahwa pemukim datang,” kata Daghlas.

Dulu, pemukim Yahudi datang hanya untuk menuliskan grafiti kebencian di tembok-tembok.

“Tetapi sekarang ketika mereka datang, tujuannya adalah untuk membunuh,” kata Daghlas. (P001/P2)

Sumber: Tulisan Emily Murder di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.