Zakat, Dana Murah untuk Pembangunan dan Berantas Kemiskinan

Oleh Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency (MINA)

Potensi dana Indonesia yang mencapai Rp217 triliun diyakini bisa dijadikan sumber dana murah untuk membantu pembangunan ekonomi dan kalau dikembangkan lewat  keuangan syariah serta disalurkan, bisa mengurangi kemiskinan dan ketidak-adilan.

Secara sederhana, zakat dapat diartikan sebagai suatu bentuk subsidi dari masyarakat mampu kepada yang tidak mampu. Jika dapat dilakukan secara berkesinambungan dan dikelola dengan baik, dipastikan zakat dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan.

Sayangnya, potensi ini belum terhimpun secara maksimal, karena dari jumlah tersebut baru terkumpul Rp3,7 triliun saja. Jika dari potensi dana zakat yang Rp217 triliun itu, misal Rp50 triliun saja bisa digunakan dengan baik,  maka menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah, sudah dapat memberikan manfaat yang besar.

“Harapan kami pada 2015 dana zakat yang terhimpun menjadi Rp5 triliun,” kata Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Ma’ruf Amin, karena jika bisa dimaksimalkan dana zakat dapat digunakan sebagai senjata untuk membasmi kemiskinan.

“Kalau potensi ini bisa diambil atau dikelola dengan baik kita bisa bayangkan berapa banyak dana yang bisa dikembangkan. Dalam beberapa tahun saja kita bisa menghilangkan kemiskian, Insya Allah,” katanya.

Selain itu, dia juga menyebutkan banyak potensi syariah yang bisa dikembangkan dari dana tersebut. Kerjasama yang dilakukan pihaknya dengan Bank Indonesia diharapkan bisa menjadi pengukuhan tonggak sinergi antara lembaga pengelola potensi syariah.

BI juga menurut Halim, berkomitmen untuk mencari cara yang tepat guna mengoptimalkan dana zakat tersebut dengan menggandeng lembaga Baznas. “Kami  berkomitmen, untuk mengembangkan ekonomi syariah, aspek pengelolaan zakat, lalu kita sepakati bagaimana baiknya. Dana zakat juga bisa dijadikan sumber dana murah membantu pembangunan ekonomi.

Bahkan Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI) Maftuh Basyuni menyebutkan, zakat dan wakaf bisa menjadi instrumen besar untuk mengembangkan dan membangun ekonomi Indonesia. “Adanya kerjasama dengan BI terkait dengan zakat dan wakaf, bisa membuat perubahan secara signifikan.”

“Kami sepakat dalam waktu dekat akan all out untuk manfaatkan zakat dan wakaf demi kesejahteraan masyarakat. Dengan tekad ini mudah-mudahan ke depan, Pak Jokowi enggak usah pusing cari utangan ke sana kemari,” katanya.

Baru 15 Persen

Sementara itu Ketua Umum Baznas, Didin Hafidhuddin mengakui saat ini realisasi pengumpulan zakat baru sekitar 15 persen dari potensi tersebut. “Ini karena  faktor kesadaran masyarakat yang masih kurang, pemahaman, sosialisasi yang belum optimal,  kepercayaan, keterbukaan dan faktor program lainnya yang dinilai masih minim.

Menurut Ketua komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, ini artinya lembaga-lembaga amil zakat yang ada masih perlu bekerja lebih keras lagi. Selain meningkatkan akuntabilitas dan profesionalitas, juga perlu melakukan inovasi serta pembaharuan di dalam mengelola zakat sehingga masyarakat memiliki kepercayaan untuk menyalurkan zakatnya melalui lembaga itu.

Akibat rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat,  sebagian muzaki bahkan ada yang membagikan zakatnya secara langsung. Seperti mengundang fakir miskin untuk membagikan uang dan paket sembako. Penyaluran zakat seperti ini tentu tidak memiliki dampak yang besar karena sifatnya sangat konsumtif dengan tujuan sesaat.

Potensi zakat yang besar ini menurut dia, akan berasal dari banyaknya pegawai di perusahaan BUMN, swasta dan pegawai negeri sipil. Jumlah BUMN sebanyak 144 unit, PNS mencapai  4 juta jiwa dan jutaan karyawan swasta. “Saat ini, masih banyak masyarakat yang belum tahu manfaat zakat yang akan disalurkan kepada warga miskin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.”

“Zakat ini juga tidak hanya berdampak terhadap penerima zakat, tetapi juga terhadap pemberi zakat, misalnya harta mereka akan lebih berkembang dan berkah dari Allah SWT,” kata Didin.

Sependapat dengan banyak pihak, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro meyakini, jika dikelola dengan format yang baik, zakat dan wakaf dapat membantu memecahkan masalah sosial ekonomi terkait pembangunan di Indonesia.

Masalah sosial terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini menurut dia, adalah kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. “Isu terbesar masalah sosial di republik ini yang pertama kemiskinan, masih 11 persen. Yang kedua, pengangguran sekitar 6 persen. Ketiga, GINI ratio (alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk)  masih 0,4 persen,” ujarnya.

Sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, Menkeu menilai, Indonesia sangat berpeluang dapat memecahkan ketiga persoalan tersebut dengan memanfaatkan apa yang telah ada dalam sistem ekonomi syariah, khususnya zakat dan wakaf.

“Zakat itu kalau kita terjemahkan adalah bagaimana orang yang mampu secara finansial kemudian memberikan atau menzakatkan sebagian hartanya secara teratur. Yang paling penting, yang diberikan itu bisa dimanfaatkan untuk orang yang membutuhkan, ini semacam subsidi yang tepat sasaran,” katanya.

Menkeu juga menyebutkan, perkembangan sektor properti di Indonesia dewasa ini juga diikuti oleh perkembangan pembangunan wakaf. Pembangunan wakaf, di sisi lain juga memberikan manfaat tersendiri, khususnya tekait penyerapan tenaga kerja.

“Kalau melihat luar biasanya perkembangan sektor properti di Indonesia, harusnya pembangunan wakaf itu bisa seirama dengan pembangunan sektor properti. Kalau wakaf itu dikembangkan, hasilnya juga bisa dipakai untuk mendorong pemberdayaan umat, sekaligus membantu memecahkan masalah sosial ekonomi pembangunan,” katanya.

Negara Harus Lebih Terlibat

Baznas juga mengakui, zakat sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat diperlukan. Namun, penyetoran zakat pada prakteknya tidak lancar karena terkendala beberapa hal.

Staf Ahli Bidang Penelitian dan Kerjasama Internasional Basznas, Irfan Syauqi Beik mengatakan terkendalanya zakat karena adanya perbedaan persepsi. “Pemahaman publik atas zakat kurang. Masyarakat menilai zakat hanya ketika Ramadan. Padahal zakat itu dari pendapatan, setiap kegiatan produktif seperti jual beli atau sewa. Saya lihat persepsi itu mesti ditingkatkan.”

Zakat juga terkendala karena minimnya keterlibatan negara dalam mendorong penerimaannya. Selama ini zakat hanya diberdayakan melalui sukarela. “Problem secara institusi untuk kelola zakat kami akui di daerah belum optimal, keterlibatan negara baru secara formal Undang-undang (UU) yang diterbitkan tahun 1999,” katanya.

Padahal, penerimaan zakat dapat digunakan untuk pemberdayaan ekonomi melalui sektor-sektor produktif. Tidak hanya itu, penerimaan zakat juga bisa digunakan untuk pendidikan dan kesehatan.

“Pemberdayaanerdayaan ekonomi dari 40 persen dari total penghimpunan, 60 persen untuk kesehatan dan pendidikan. Bagaimana community development, yaitu melihat dari banyak sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial keagamaan,” ujarnya.

Meski banyak pihak memahami bahwa potensi dana zakat sangat besar dan dapat menjadi instrumen kesejahteraan sosial dalam mengentaskan kemiskinan, tetapi seperti diakui pejabat Ditjen Pajak, Dasto Klesdyanto,  zakat saat ini belum menjadi sumber penerimaan negara.  (R01/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.