Oleh: Illa Kartila – Redaktur Miraj Islamic News Agency (MINA)
Harapan Wakil Presiden Jusuf Kalla khususnya dan seluruh umat Islam umumnya agar penetapan tanggal 1 Syawal 1436 Hijriyah dapat bersamaan antara organisasi-organisasi Islam di Tanah Air, akhirnya terwujud ketika hasil Sidang Isbat yang digelar Kementerian Agama, Kamis (16/7) petang menetapkan Idul Fitri jatuh pada 17 Juli 2015.
Sidang Isbat diawali dengan pemaparan posisi hilal Kamis sore di beberapa titik pemantauan di seluruh wilayah Indonesia. “Posisi hilal di Pelabuhan Ratu berada pada 3,11 derajat, angka ini di atas kriteria yang dipegang oleh Indonesia” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam konferensi pers usai penetapan 1 Syawal 1436 H.
Menurut Menteri Agama Lukam Hakim Saifuddin usai Sidang Isbat, di empat titik pemantauan hilal yakni di Bukit Condrodipo, Gresik, di Tanjung Kodok, Lamongan, di Bojonegoro dan di Kepulauan Seribu, petugas yang sudah disumpah oleh hakim pengadilan agama, sudah bisa menyaksikan hilal.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Dengan demikian, kata Menag, Sidang Isbat yang dihadiri 150 perwakilan ormas Islam seluruh Indonesia, tokoh agama, cendikiawan dan sejumlah duta besar negara sahabat.sepakat bahwa Kamis malam ini sudah memasuki 1 Syawal 1436 H.
“Alhamdulilah tahun ini seluruh umat Islam bersama-sama memasuki 1 Syawal 1436 H dan melakukan shalat Idul Fitri hari Jumat pagi, 17 Juli 2015,” kata Menag.
Awal pekan ini Pimpinan PP Muhamadiyah Prof. Dr. Yunanhar Ilyas yang didampingi Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Dr. Syamsul Anwar sudah mengumumkan bahwa 1 Syawal jatuh pada 17 Juli 2015.
Menurut Syamsul, penentuan tersebut didasarkan pada tiga kriteria yang dianggap telah terpenuhi. Pertama, sudah terjadi ijtima atau konjungsi antara bulan dan matahari, sementara alasan kedua yakni ijtima terjadi sebelum terbenam matahari, ketiga ketika matahari terbenam bulan belum terbenam atau bulan masih berada di atas ufuk.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
“Tiga kriteria tersebut telah terpenuhi pada Kamis Legi 16 Juli 2015 pukul 08.26 WIB berarti kriteria pertama telah terpenuhi, matahari terbenam di Yogyakarta pada Kamis 16 Juli 2015 pukul 17.37 WIB. Bulan sendiri ketika matahari terbenam masih berada di atas ufuk dengan ketinggian 3 derajat yang juga memastikan bahwa hilal sudah terwujud,” katanya.
JK optimis semua sepakat
Dua hari sebelum Sidang Isbat Wapres berharap, “ mudah-mudahan penetapan 1 Syawal tidak berbeda, karena menurut perhitungan hisab, hilal berada di atas dua derajat sehingga rukyatnya diyakini dapat dilihat.”
Dia juga menyebutkan metode penglihatan hilal bisa dilakukan dengan kemampuan indera dan keyakinan berdasarkan ilmu pengetahuan. “Allah kan mengharuskan kita menuntut ilmu agar kita tidak hanya bisa melihat dengan mata tetapi juga dengan ilmu. Saya yakin pemerintah dapat menetapkan Hari Raya tidak berbeda.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Menurut JK, berdasarkan hisab (perhitungan) bulan atau ufuk, hilal (bulan sabit muda) sudah berada di atas dua derajat. Sehingga, diyakini dapat dilihat dan berarti 1 Syawal 1436 H, jatuh pada 17 Juli 2015.
Atas dasar itulah, JK merasa optimis bahwa tidak ada perbedaan penetapan 1 Syawal pada tahun 2015, antara pemerintah dengan organisasi berbasis Islam, sehingga, umat Islam bisa merayakan Lebaran bersamaan. “Saya yakin pemerintah dapat menyatakan 1 Syawal tidak berbeda dalam Sidang Isbat, karena jelas (hilal) di atas dua derajat.”
Wapres Kalla juga mengaku sudah bertemu dan berkomunikasi dengan sejumlah pimpinan organisasi kemasyarakat Islam seperti Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan lainnya.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah yang memiliki pandangan yang sesuai dengan ajaran agama, dalam hal ini khususnya Agama Islam, yakin seluruh organisasi Islam di Indonesia akan sepakat bahwa Hari Raya Idul Fitri atau 1 Syawal 1436 Hijriah jatuh pada Jumat, 17 Juli 2015.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Kontras cahaya hambat pengamatan
Mengamati hilal, ternyata tak hanya melulu masalah cuaca, karena cahaya yang sangat tipis juga menjadi ganjalan dalam pengamatan hilal untuk menentukan 1 Syawal 1436 H, kata Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin.
Menurut dia, hilal yang terlalu rendah atau terlalu dekat dengan matahari sulit untuk diamati karena kalah terang. “Masalah utama rukyat selain cuaca adalah masalah kontras cahaya hilal yang sangat tipis dan redup dengan cahaya senja. Hilal yang terlalu rendah atau terlalu dekat dengan matahari sulit teramati.”
Thomas menyebutkan, selama ini para pengamat hilal menggunakan teleskop yang berpandu pada komputer dan dilengkapi kamera digital untuk memperjelas hilal. “Namun, alat ini tidak bisa meningkatan kontras, sedangkan penggunaan filter untuk meningkatkan kontras cahaya terkendala, karena ada kemiripan pancaran cahaya hilal dan cahaya senja”.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Mengenai penetapan 1 Syawal 1436 H, Thomas mengungkapkan, posisi bulan di Indonesia pada Maghrib 16 Juli 2015 secara umum terlalu rendah sehingga hilal kalah terang dari cahaya senja. “Tingginya kurang dari 3 derajat dan terlalu dekat matahari dengan jarak bulan-matahari kurang dari 6 derajat dengan umur 9,5 jam.”
Posisi itu menurut dia menyebabkan hilal kalah terang dari cahaya syafak (cahaya senja). Namun penentuan 1 Syawal 1436 H kali ini baik oleh LAPAN, PBNU, Muhammadiyah bisa jadi seragam, karena masing-masing sudah menggunakan software astronomi yang sama.
Harus satu kriteria
Tentang kalender Islam khususnya saat penentuan tanggal 1 Syawal (Idul Fitri), Wapres JK berharap umat Islam bisa menyetujui adanya satu kriteria sehingga tidak ada lagi perbedaan waktu. “Yang penting kita harus mengkaji dan menyepakati satu kriteria, baru kita bisa bersatu. Selama masih ada tiga kriteria, maka sampai satu abad pun tidak akan bersatu.”
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Menurut Kalla, selama ini di Indonesia seringkali terjadi perbedaan dalam penentuan tanggal 1 Syawal (Idul Fitri). Perbedaan tersebut tampak menonjol setiap satu tahun sekali. Untuk hari-hari lainnya, meski ada perbedaan namun tidak kentara.
“Kadang-kadang kalau ada perbedaan soal 1 Muharam, itu tidak terlalu menonjol, tapi begitu 1 Syawal berbeda, langsung menonjol,” kata Wapres sambil menambahkan bahwa penentuan kalender Islam ini sebenarnya menjadi masalah internasional, karena itu tidak akan cukup jika hanya dibicarakan dalam satu atau dua pertemuan.
Dia menyebutkan, ada dua masalah untuk menyatukan kalender Islam ini. Pertama, kriteria apa yang harus dipakai untuk melihat hilal, apakah menggunakan hitungan (rukyat) atau penglihatan atau campuran keduanya. Kedua, apa batasan yang harus dipakai, wilayah negara atau umat.
Wapres mencontohkan selama ini di Indonesia dalam melihat bulan batasan yang digunakan adalah batas negara. Misalnya bulan sudah dilihat orang Merauke yang jaraknya sekitar delapan jam penerbangan, maka langsung diputuskan dan berlaku dari Sabang sampai Merauke. “Nah bagaiman kalau orang Pakistan yang melihat bulan?. Padahal jaraknya sekitar tujuh jam penerbangan.”
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsudin juga berpendapat, sudah waktunya umat Islam di Indonesia memiliki kalender Islam yang bersifat tahunan dan global. Jika tidak, maka kontroversi tentang penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhizah akan tetap menjadi kontroversi.
2015 ini adalah tahun yang berkah bagi umat Islam di seluruh Nusantara, setelah 1 Ramadhan 1436 H ditetapkan secara bersamaan, 1 Syawal kembali diputuskan seragam sehingga kaum muslim mengakhiri bulan puasa dan melakukan shalat Idul Fitri bersama-sama. Allahu Akbar, Allahu Akbar Walilad Ilham. (P010/R01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)