MUDIK merupakan tradisi yang telah mengakar dalam budaya masyarakat, khususnya di Indonesia, di mana seseorang kembali ke kampung halaman untuk bertemu keluarga. Namun, bagi seorang Muslim, mudik memiliki makna yang lebih dalam, tidak sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mencerminkan nilai-nilai Islam.
Pertama, mudik mengajarkan arti silaturahmi. Dalam Islam, menjaga hubungan keluarga adalah kewajiban yang memiliki ganjaran besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Mudik menjadi sarana untuk menyambung kembali hubungan yang mungkin renggang akibat kesibukan dunia.
Kedua, mudik merupakan bentuk birrul walidain, yaitu berbakti kepada orang tua. Banyak perantau yang kembali ke kampung halaman dengan niat menjenguk orang tua dan membahagiakan mereka. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memerintahkan seorang Muslim untuk berbuat baik kepada orang tua, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya…” (QS. Al-Ahqaf: 15).
Ketiga, hakikat mudik sejatinya adalah refleksi kehidupan manusia di dunia. Dalam perspektif Islam, kehidupan dunia hanyalah tempat persinggahan, sedangkan kampung halaman yang hakiki adalah akhirat. Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut: 64). Mudik dapat menjadi pengingat bahwa kita pun akan “mudik” ke kampung akhirat, sehingga perlu mempersiapkan bekal amal saleh.
Baca Juga: Tradisi Mudik, Sejak Kapan Dilakukan?
Keempat, mudik mengajarkan makna syukur. Ketika seseorang kembali ke kampung halaman dan melihat kembali tempat asalnya, ia dapat merenungkan perjalanan hidupnya serta bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah. Islam sangat menekankan pentingnya bersyukur, sebagaimana firman-Nya: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu…” (QS. Ibrahim: 7).
Kelima, mudik mengajarkan kesabaran dan keikhlasan. Dalam perjalanan, banyak ujian yang mungkin dihadapi, seperti macet, kelelahan, atau keterbatasan fasilitas. Seorang Muslim dituntut untuk bersabar dan tidak mudah marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukanlah kekuatan itu dengan bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keenam, mudik juga menjadi momen untuk berbagi kebahagiaan dengan keluarga dan tetangga. Seorang Muslim dianjurkan untuk memperbanyak sedekah, memberikan hadiah, dan membantu mereka yang membutuhkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari). Dengan demikian, mudik tidak hanya membawa kebahagiaan bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain.
Ketujuh, perjalanan mudik adalah kesempatan untuk bertafakur dan merenungkan kebesaran Allah. Melalui perjalanan jauh, seseorang bisa melihat tanda-tanda kebesaran Allah dalam alam semesta. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190).
Baca Juga: Urgensi Rukyatul Hilal sebagai Bagian Dari Syariat Islam
Kedelapan, mudik juga merupakan momentum untuk memperbaiki diri. Dalam perjalanan pulang, seseorang bisa mengevaluasi diri, apakah selama ini telah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Momentum ini dapat menjadi awal untuk hijrah menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih dekat kepada Allah.
Kesembilan, mudik mengingatkan akan pentingnya menjaga adab dalam perjalanan. Islam mengajarkan agar seorang Muslim tetap berakhlak baik, tidak menyakiti sesama pengguna jalan, dan tetap menjaga ibadahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kesepuluh, hakikat mudik juga mencerminkan konsep ukhuwah Islamiyah. Dalam perjalanan, seseorang akan bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Islam mengajarkan untuk saling membantu, menghormati, dan menjaga persaudaraan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” (QS. Al-Hujurat: 10).
Kesebelas, pada akhirnya, mudik bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang membawa seorang Muslim lebih dekat kepada Allah. Mudik mengajarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, mempererat silaturahmi, meningkatkan rasa syukur, dan mengingatkan bahwa suatu hari nanti kita semua akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya mudik dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
Baca Juga: Palestina: Tanah Suci yang Terlupakan
Semoga perjalanan mudik menjadi sarana keberkahan dan memperkuat hubungan dengan keluarga serta Allah SWT.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Munculnya Kabut Tebal di Akhir Zaman