Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

10 MUHARRAM, PENGKHIANATAN RAFIDHAH DI KARBALA

Rendi Setiawan - Sabtu, 17 Oktober 2015 - 05:35 WIB

Sabtu, 17 Oktober 2015 - 05:35 WIB

548 Views

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

Oleh Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sebentar lagi, kita akan memasuki tanggal 10 Muharram, atau bertepatan dengan salah satu hari yang diyakini oleh sebagian besar umat Rafidhah sebagai hari sial mereka, karena pada tanggal itulah cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Husain bin Ali yang selama ini mereka agungkan dengan penuh dusta, beliau wafat di Karbala. Hari kesialan itu biasa dikenal dikalangan mereka dengan dengan sebutan hari Asy-Syura.

Dalam buku “Inilah Faktanya; Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Hingga Terbunuhnya Al-Husain”, karya Syaikh Utsman bin Muhammad Al-Khamis diceritakan bahwa setelah kekhilafahan dilimpahkan kaum Muslimin kepada Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu yang menggatikan khalifah sebelumnya, yakni Ali bin Abu Thalib, di saat itulah banyak terjadi perpecahan di kalangan internal umat Islam.

Kondisi ini yang kemudian Hasan memberikan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘Anhu untuk memelihara darah kaum Muslimin agar tidak tumpah, dengan syarat selanjutnya Mu’awiyah sendiri yang akan menyerahkan kembali kekhilafahan kepada Hasan Radhiyallahu ‘Anhu.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Akan tetapi Hasan (w. 49 H) meninggal dunia sebelum Mu’awiyah meninggal. Maka ketika itu Mu’awiyah memberikan kekhilafahan kepada anaknya, Yazid. Tatkala Mu’awiyah meninggal, maka Yazid memegang perintah, dan Husain enggan memba’iatnya, lalu ia keluar dari Madinah menuju ke Mekkah dan menetap di sana.

Kemudian golongan pendukung ayahnya dari Kufah mengirim surat kepada Husain agar ia keluar bergabung menemui mereka. Mereka menjanjikan akan menolongnya jika ia telah bergabung. Maka Husain tertipu dengan janji mereka, dan mengira bahwa mereka akan merealisasikannya untuk memperbaiki kebijakan yang buruk dan untuk meluruskan penyelisihan yang diawali pada kekhilafahan Yazid bin Mu’awiyah.

Perbuatan Husain Radhiyallahu ‘Anhu untuk bergabung dengan penduduk Kufah sendiri dinilai salah oleh para penasehatnya. Di antara mereka adalah Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘Anhum dan lainnya. Bahkan ‘Abdulloh bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu terus mendesak kepada Husain agar tetap tinggal di Makkah dan tidak keluar.

Namun dengan dilandasi baik sangka, Husain menyelisihi permusyawarahan mereka dan keluar, lalu Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata kepadanya, “Aku menitipkanmu kepada Allah dari pembunuhan!”

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Begitu Husain Radhiyallahu ‘Anhu keluar menuju Kufah, ia bertemu Farazdaq di jalan, dan berkata kepada Husain, “Berhati-hatilah engkau, mereka bersamamu namun pedang-pedang mereka bersama Bani Umayyah. Mereka adalah pengikut yang mengirim surat kepadamu, dan mereka menginginkanmu untuk keluar (ke tempat mereka), tetapi hati-hati mereka tidak bersamamu. Secara hakiki mereka mencintaimu, akan tetapi pedang-pedang mereka terhunus bersama Bani Umayyah!”

Akhirnya, sangat jelas sekali tampaklah pengkhianatan Syi’ah Rafidhah ahli Kufah, walau mereka sendiri yang mengharapkan kedatangan Husain Radhiyallahu ‘Anhu. Maka wakil penguasa Bani Umayyah di Kufah, ‘Ubaidullah bin Ziyad yang mengetahui sepak terjang Muslim bin ‘Aqil yang sebelumnya diutus oleh Husain pergi ke Kufah untuk mencari kebenaran ihwal surat-surat itu.

Segera Ubaidullah mendatangi Muslim dan langsung membunuhnya sekaligus tuan rumah yang menjamunya, Hani bin Urwah Al-Muradi.

Kaum Syi’ah Rafidha di Kufah saat itu hanya diam seribu bahasa melihat pembantaian dan tidak memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari janji mereka terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhu. Hal itu mereka lakukan karena ‘Ubaidillah bin Ziyad telah memberikan segepok uang kepada mereka.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Maka ketika Husain Radhiyallahu ‘Anhu keluar bersama keluarga dan pengikutnya, berangkat pula Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di Karbala, maka terbunuhlah Husain Radhiyallahu ‘Anhu dan terbunuh pula semua sahabat yang mendampinginya secara terzhalimi dan dapat dianggap sebagai pembantaian sadis. Kepalanya dipenggal, lalu diambil oleh para wanita dan anak-anak yang berada di antara pasukan dan diberikan paksa kepada Yazid di Damaskus.

Ketika melihat kepala Husain dibawa ke hadapannya saat itu, Yazid pun sedih dan menangis. Kemudian para wanita dan anak-anak dikembalikan ke kota, sedangkan anak laki-laki ikut terbunuh, sehingga tidak tersisa dari anak-anak (Husain) kecuali ‘Ali Zainal Abidin yang ketika itu masih kecil.

Berduka yang Terlarang

Pada hari Asy-Syura nanti, kita akan melihat ritual berdarah Rafidhah. Mereka merasa bersalah dan sedih atas kematian Husain saat itu sehingga mereka memukul dada, menampar pipi, memukul bahu, mengiris-ngiris kepala mereka dengan pedang sampai menumpakan darah. Sampai anak kecil pun mengiris kepalanyaItulah salah satu kesesatan Rafidhah yang dapat ditemukan pada hari Asyura.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya, Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).

Namun demikian, lihatlah bagaimana yang dilakukan oleh kaum Rafidhah di hari ‘Asyura. Yang mereka lakukan jelas bukan ajaran Islam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam begitu pula para shahabat Radhiyallahu ‘Anhum tidak pernah melakukannya. Mereka tidak pernah melakukannya ketika ada yang meninggal dunia. Padahal wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lebih berhak dirasakan kesedihannya daripada wafatnya Husain Radhiyallahu ‘Anhu.

Sedih dalam Islam

Dalam kitab “Al-Bidayah Wa An-Nihayah” karya Al-Hafizh Ibnu Katsir disebutkan, “Setiap Muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya Husain  karena ia adalah sayyid-nya (penghulunya) kaum Muslimin, ulamanya para sahabat dan anak dari putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu Fathimah yang merupakan puteri terbaik Nabi.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Husain adalah seorang ahli ibadah, pemberani dan orang yang murah hati. Akan tetapi kesedihan yang ada janganlah dipertontokan seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah dengan tidak sabar dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat dan dengan tujuan riya’ (cari pujian, tidak ikhlas).

Padahal ‘Ali bin Abi Thalib lebih utama dari Husain. ‘Ali pun mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan ma’tam (hari duka) sebagaimana hari kematian Husain. ‘Ali terbenuh pada hari Jum’at ketika akan pergi shalat Shubuh pada hari ke-17 Ramadhan tahun 40 H.

Begitu pula ‘Utsman, ia lebih utama daripada ‘Ali bin Abi Thalib menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. ‘Utsman terbunuh ketika ia dikepung di rumahnya pada hari Tasyriq dari bulan Dzulhijjah pada tahun 36 H. Walaupun demikian, kematian ‘Utsman tidak dijadikan ma’tam.

Begitu pula ‘Umar bin Al Khathab, ia lebih utama daripada ‘Utsman dan ‘Ali. Ia mati terbunuh ketika ia sedang shalat Shubuh di mihrab saat sedang membaca Al-Qur’an. Namun, tidak ada yang mengenang hari kematiannya dengan ma’tam. Begitu pula Abu Bakar Ash Shiddiq, ia lebih utama daripada ‘Umar. Kematiannya tidaklah dijadikan ma’tam.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Lebih daripada itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Nabi adalah sayyid (penghulu) cucu Adam di dunia dan akhirat. Allah telah mencabut nyawanya sebagaimana para nabi sebelumnya juga mati. Namun tidak ada satu pun yang menjadikan hari kematiannya sebagai ma’tam.

Kematian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah dirayakan sebagaimana yang dirayakan pada kematin Husain seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah. Yang terbaik diucapkan ketika terjadi musibah semacam ini adalah sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali bin Al Husain, dari kakeknya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia bersabda, yang artinya, “Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah, lalu ia mengenangnya dan mengucapkan kalimat istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi roji’un) melainkan Allah akan memberinya pahala semisal hari ia tertimpa musibah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Demikian kesesatan Rafidhah pada hari Asy-Syura. Kematian seseorang tidaklah dengan perayaan sesat seperti yang dilakukan oleh orang Rafidhah. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan Rafidhah. (P011/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Khutbah Jumat
Khutbah Jumat
Kolom