SEPULUH tahun lalu, lebih dari 8.000 pengungsi Rohingya ditelantarkan oleh para pedagang manusia di Laut Andaman dengan perahu-perahu reyot yang tidak aman. Mereka dibiarkan mati karena kehausan, kelaparan, dan tenggelam, dengan ratusan orang diperkirakan tewas.
Dilansir dari Arakan News Agency pada Rabu (28/5), kondisi mengerikan yang kemudian dikenal sebagai “Krisis Perahu Rohingya” terjadi pada kuartal kedua tahun ini, yang mencapai puncaknya antara Mei hingga Juni 2015, ketika Malaysia, Thailand, dan Indonesia menolak menerima para pengungsi dan memperketat langkah-langkah antipenyelundupan.
Menurut The Diplomat, sekitar 170.000 Rohingya melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar dan kamp-pengungsi/">kamp pengungsi di Bangladesh antara tahun 2012 hingga 2015, dengan menaiki perahu-perahu penuh sesak yang dioperasikan oleh para penyelundup. Pada bulan Mei 2015 saja, sekitar 8.000 Rohingya terdampar di laut.
Krisis ini memicu kemarahan global, karena ribuan warga Rohingya terombang-ambing di atas kapal-kapal yang rusak dan tidak diizinkan untuk berlabuh. Akhirnya, Indonesia, Malaysia, dan Thailand setuju untuk menawarkan tempat penampungan sementara bagi para penyintas. Namun, diperkirakan 370 orang telah meninggal setelah menghabiskan waktu berpekan-pekan di laut tanpa makanan atau air.
Baca Juga: LSM Swiss Desak Investigasi Gaza Humanitarian Foundation
Penyelidikan oleh otoritas regional kemudian mengungkap kuburan massal di kamp-kamp perdagangan manusia yang tersembunyi di hutan perbatasan Myanmar-Thailand.
Satu dekade kemudian, perjalanan laut yang mematikan masih terus berlanjut. Warga Rohingya yang mencari suaka terus menghadapi pemukulan, pemerasan, dan penelantaran, yang didorong oleh meningkatnya kekerasan dan penganiayaan, yang memaksa mereka meninggalkan rumahnya. Rute penyelundupan menjadi semakin berbahaya dan rumit.
Beberapa hari yang lalu, UNHCR melaporkan bahwa 427 warga Rohingya meninggal ketika dua kapal tenggelam di Laut Andaman di lepas pantai Myanmar. Badan tersebut mencatat bahwa satu dari setiap lima orang yang mencoba menyeberangi laut tersebut meninggal atau hilang, menjadikan Laut Andaman dan Teluk Benggala sebagai salah satu perairan paling berbahaya di dunia.
Meskipun lebih dari 1.000 warga Rohingya dilaporkan tewas atau hilang di laut tahun lalu, ribuan orang terus mempertaruhkan nyawa dalam perjalanan mematikan ini setiap tahunnya, melarikan diri dari penganiayaan yang sedang berlangsung di Negara Bagian Arakan dan semakin putus asa di kamp-pengungsi/">kamp pengungsi Bangladesh yang penuh sesak. Sebagian besar mencari perlindungan dan peluang kerja di Malaysia atau Indonesia, meskipun mereka sering menghadapi penahanan atau deportasi saat tiba. []
Baca Juga: Tokoh Uni Eropa Josep Borrell Kecam Netanyahu Soal Tuduhan Antisemit
Mi’raj News Agency (MINA)