Pattani, Thailand, 1 Jumadil Awwal 1437/9 Februari 2015 (MINA) – Pasukan keamanan Thailand telah menyiksa puluhan tahanan di wilayah selatan yang dihuni mayoritas Muslim dengan cara-cara yang sadis, dari pemukulan hingga metode penyiksaan yang mengancam nyawa.
Hal itu terungkap dalam laporan temuan sejumlah kelompok pegiat hak asasi manusia (HAM), Selasa (9/2), yang melakukan penelitian di zona berbahaya, khususnya di Thailand Selatan. Mereka menemukan bukti bahwa pasukan keamanan telah menyiksa puluhan tahanan di wilayah tersebut.
Pemerintah menerapkan undang-undang keamanan khusus di provinsi yang dihuni mayoritas Muslim di Thailand Selatan. Di sana, lebih dari 6.500 orang, mayoritas warga sipil, telah tewas dalam gerakan pemberontakan selama 12 tahun melawan pemerintah di Bangkok, demikian laporan The Manila Times.
Di bawah undang-undang darurat militer, para terduga pemberontak dapat ditahan selama enam pekan tanpa dakwaan. Akibatnya banyak kalangan pemuda Muslim telah dijembloskan ke pusat penahanan secara sewenang-wenang.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Temuan studi tersebut didasarkan pada kegiatan wawancara dengan 54 mantan tahanan antara tahun 2014-2015. Para responden adalah korban tindakan penyiksaan oleh aparat, baik secara mental maupun fisik, dalam beberapa tahun terakhir.
Dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat berupa pemukulan, ancaman di bawah todongan senjata, dan korban dibuat sesak napas.
“Apa yang telah kami dokumentasikan adalah puncak gunung es,” ungkap Pornpen Khongkachonkiet, dari kelompok hak asasi Cross Cultural Foundation, seperti dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) dari Channel News Asia.
Situasi terkait pengawasan perilaku pejabat keamanan telah memburuk sejak Thailand dilanda kudeta militer pada 2014, yang membawa pihak militer berkuasan.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
“Dengan tidak ada pertanggungjawaban atau mekanisme pengawasan sejak kudeta, petugas penginterogasi hampir bisa sesukanya kepada tahanan,” ujar Pornpen.
Salah satu korban kekerasan aparat keamanan, Weasohok Dolph, mengatakan dirinya dijebloskan ke tahanan pada Mei 2015 atas dugaan keterlibatan dalam pengeboman, tuduhan yang sangat ia sangkal. Dolph dibawa ke Kamp Militer Inkayuth, pusat interogasi di Provinsi Pattani, tempat ia diduga disiksa selama beberapa hari.
“Awalnya mereka hanya menampar saya,” kata builder 32 tahun, menambahkan ia menolak mengaku terkait dengan gerakan pemberontak. Setelah beberapa saat, ia ditelanjangi oleh tiga interogator yang juga mengikat tangannya.
“Tiba-tiba salah satu (interogator) mendorong saya ke kursi dan membungkus kepala saya dengan plastik. Saya tidak bisa bernapas. Mereka baru mau berhenti ketika saya berkata saya akan mengaku. Tapi apa yang harus saya akui, sehingga mereka melakukan (penyiksaan) lagi,” katanya.
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu
Total ia menghabiskan 84 hari di tahanan sebelum jaksa memutuskan untuk tidak mengajukan tuntutan terhadapnya.
“Kamp militer Inkayuth adalah tempat hal-hal buruk diendapkan di bawah karpet,” ungkap Anchana Heemmina dari Duay Jai, sebuah kelompok hak asasi lokal yang turut menulis laporan.
Seorang pria muslim tewas di dalam tahanan di Inkayuth pada Desember tahun lalu. Militer mengklaim ia meningal akibat serangan jantung.
Sebuah laporan terpisah yang dirilis pekan lalu oleh Pusat Jaksa Muslim (MAC), sebuah kelompok advokasi yang berbasis di Thailand Selatan, mengumpulkan kesaksian 75 orang yang diduga disiksa dalam tahanan pada 2015.
Baca Juga: Inggris Hormati Putusan ICC, Belanda Siap Tangkap Netanyahu
Juru bicara militer Pramote Promin, menepis tuduhan penyiksaan yang diungkap dalam dua laporan tersebut dan menyebutnya ‘fiksi’.(T/P022/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Guido Crosseto: Kami akan Tangkap Netanyahu Jika Berkunjung ke Italia