DI AKHIR zaman ini, salah satu ujian terbesar bagi seorang mukmin adalah kesulitan membedakan antara makanan yang halal dan haram. Kita hidup di tengah arus globalisasi yang menawarkan beragam jenis makanan, namun banyak di antaranya terselubung dalam keraguan—apakah berasal dari sumber yang halal atau justru mengandung unsur haram yang merusak iman. Lebih dari sekadar mengisi perut, makanan yang dikonsumsi memiliki dampak langsung terhadap kebersihan hati dan keberkahan hidup.
Musuh-musuh Islam paham bahwa salah satu cara melemahkan umat adalah dengan menyusupkan zat haram ke dalam makanan mereka, sehingga doa-doa tidak diijabah, hati menjadi keras dan berselisih, serta persaudaraan Muslim perlahan retak tanpa disadari. Inilah mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam begitu menekankan pentingnya menjaga kehalalan makanan, karena setiap suapan yang masuk ke dalam tubuh akan menentukan apakah kita semakin dekat dengan rahmat Allah atau justru semakin jauh tenggelam dalam kelalaian.
Berikut ini setidaknya ada 11 alasan mengapa kita sebagai Muslim harus mengonsumsi makanan halal. Berikut ini penjelasannya.
Pertama, Perintah Langsung dari Allah dalam Al-Qur’an. Allah telah memerintahkan secara langsung dalam Al-Qur’an agar umat Islam hanya mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Allah Ta’ala berfirman,
Baca Juga: Kesamaan Perjuangan Bangsa Palestina dengan Indonesia
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan larangan bagi umat Islam untuk mengonsumsi makanan yang haram karena itu adalah langkah setan.
Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam membawa ajaran yang bersifat universal dan sesuai dengan fitrah manusia. Allah memerintahkan seluruh manusia untuk memperhatikan makanan yang dikonsumsi, agar tidak hanya sekadar halal menurut hukum, tetapi juga baik bagi kesehatan dan moralitas. Selain itu, Allah memperingatkan agar manusia tidak terjerumus dalam tipu daya setan, yang selalu berusaha menyesatkan manusia dengan cara apa pun, termasuk dalam aspek makanan dan minuman.
Kedua, Makanan Halalan Thayyiban Menjadi Syarat Diterimanya Doa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa makanan haram dapat menjadi penghalang dikabulkannya doa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Baca Juga: Watak Buruk Bangsa Israel, Berulang Kali Melanggar Perjanjian
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
“ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ؟
“Seorang lelaki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu, lalu ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Ya Rabb, Ya Rabb,’ sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim no. 1015). Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa makanan haram menjadi sebab doa seseorang tertolak di sisi Allah.
Hadis ini menunjukkan bahwa kehalalan rezeki sangat berpengaruh pada dikabulkannya doa. Meskipun seseorang beribadah dan berdoa dengan penuh kesungguhan, jika ia memperoleh rezeki dari sumber yang haram, maka itu menjadi penghalang terkabulnya doa.
Ketiga, Menjaga Kebersihan Hati dan Jiwa. Makanan yang halal dan baik akan berpengaruh pada kebersihan hati, sementara makanan haram dapat mengotori jiwa seseorang. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para Rasul! Makanlah dari makanan yang baik dan kerjakanlah amal saleh. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Mu’minun: 51). Al-Qurthubi dalam tafsirnya menafsirkan ayat ini bahwa makanan yang baik menjadi sebab diterimanya amal shalih dan kebersihan jiwa.
Baca Juga: Pentingnya Propaganda Perjuangan Palestina, Pelajaran dari Bangsa Indonesia
Makanan halal dan baik akan membuat hati bersih, mendukung ibadah, dan menjadikan seseorang lebih mudah dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya, makanan haram dapat mengeraskan hati, mengotori jiwa, dan menjadi penghalang dalam doa serta amal saleh. Oleh karena itu, seorang Muslim harus memperhatikan sumber makanannya, memastikan halal dan thayyib, karena itu adalah kunci keberkahan dalam hidup dan ibadah.
Keempat, Menghindarkan dari Penyakit Fisik dan Spiritual. Allah mengharamkan sesuatu bukan tanpa alasan. Banyak makanan haram yang terbukti membahayakan kesehatan fisik maupun spiritual. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah…” (Qs. Al-Baqarah: 173). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hukum Islam terkait makanan memiliki hikmah dalam menjaga kesehatan jasmani dan rohani.
Allah mengharamkan sesuatu pasti memiliki hikmah yang besar, termasuk dalam hal makanan. Banyak penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa makanan yang diharamkan dalam Islam memang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan fisik maupun spiritual. Berikut adalah dua contoh penelitian ilmiah yang mendukung hal ini.
Baca Juga: Fatwa MUI: Umat Islam Indonesia Wajib Mendukung Perjuangan Palestina
Pertama, hikmah diharamkannya daging babi dan risiko penyakit. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Foodborne and Zoonotic Diseases menyebutkan bahwa babi adalah inang utama bagi berbagai parasit dan penyakit zoonosis seperti Trichinella spiralis (cacing pita) dan Taenia solium. Parasit ini dapat menyebabkan penyakit trikinosis, yang menyerang otot dan sistem saraf manusia, menyebabkan nyeri, demam, serta gangguan pencernaan yang serius.
Jadi, larangan mengonsumsi daging babi dalam Islam sesuai dengan temuan ilmiah yang membuktikan bahwa daging babi memiliki risiko tinggi terhadap kesehatan manusia. Selain parasit, babi juga diketahui memiliki kadar lemak dan kolesterol tinggi, yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan obesitas.
Kedua, larangan minum alkohol dan dampaknya pada otak. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh The Lancet (2018) menyatakan bahwa tidak ada tingkat konsumsi alkohol yang benar-benar aman. Studi ini menunjukkan bahwa alkohol dapat menyebabkan lebih dari 200 jenis penyakit, termasuk kerusakan hati (sirosis), kanker, gangguan mental, dan penurunan fungsi otak. Selain itu, alkohol juga dikaitkan dengan meningkatnya tingkat kecelakaan dan tindakan kriminal akibat hilangnya kendali diri.
Dua penelitian ini membuktikan bahwa larangan Allah terhadap makanan dan minuman tertentu memiliki dasar ilmiah yang kuat. Islam bukan hanya sekadar melarang, tetapi juga melindungi manusia dari bahaya yang bisa merusak kesehatan dan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, mengikuti aturan makanan halal bukan hanya bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi juga cara menjaga kesehatan fisik dan spiritual manusia.
Baca Juga: Pemuda Australia Ini Bersyahadat di Masjid Raya Baiturrahman Aceh
Kelima, Membedakan Muslim dari yang Lain. Seorang Muslim memiliki aturan makan yang khas sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan Allah telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya.” (HR. Ad-Daruquthni). Imam Syafi’i mengatakan bahwa menaati aturan halal-haram adalah tanda ketaatan kepada Allah.
Hadis ini menegaskan dua prinsip utama dalam ajaran Islam: Pertama, kewajiban yang harus dijaga – Allah telah menetapkan kewajiban seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Seorang Muslim tidak boleh mengabaikan atau meremehkannya. Kedua, batasan yang tidak boleh dilanggar – Islam memiliki aturan jelas terkait halal-haram, hukum-hukum ibadah, dan muamalah. Melanggar batasan ini berarti menyalahi perintah Allah.
Hadis ini mengajarkan pentingnya ketaatan dan disiplin dalam menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya, agar kehidupan manusia tetap berada dalam jalan yang lurus dan penuh keberkahan.
Baca Juga: Tanda-tanda Kiamat yang Sudah Terjadi
Keenam, Mencegah Hilangnya Keberkahan dalam Hidup. Makanan haram dapat menyebabkan hilangnya keberkahan dalam kehidupan seseorang. Keberkahan bukan hanya berarti harta yang banyak, tetapi juga ketenangan hati, kesehatan, kemudahan dalam urusan, serta terkabulnya doa. Jika seseorang memperoleh makanan dari sumber haram, maka keberkahan dalam hidupnya bisa hilang, doanya sulit dikabulkan, dan ibadahnya bisa terpengaruh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim, No. 1015))
Hadis ini menunjukkan bahwa Allah hanya menerima amal dan doa dari seseorang yang menjaga kebersihan dirinya, termasuk dari makanan yang dikonsumsi. Jika seseorang mengonsumsi makanan haram, maka keberkahan dalam hidupnya bisa berkurang karena amal dan doanya tidak diterima dengan sempurna.
Baca Juga: Mewaspadai Palestine Washing
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, “Keberkahan dalam hidup seseorang bergantung pada kehalalan rezeki yang ia konsumsi. Jika seseorang menjaga makanan dan hartanya tetap halal, maka ibadahnya akan lebih diterima, doanya lebih mustajab, dan kehidupannya lebih tenteram.”
Jadi, Allah hanya menerima sesuatu yang halal dan baik. Jika seseorang mengonsumsi makanan haram, maka keberkahan dalam hidupnya akan hilang. Kedua, keberkahan dalam hidup tidak hanya diukur dari jumlah harta, tetapi dari ketenangan, kemudahan, dan keberhasilan dalam ibadah serta doa yang dikabulkan. Ketiga, menjaga kehalalan rezeki adalah kunci untuk hidup yang penuh berkah, ibadah yang diterima, serta doa yang mustajab.
Ketujuh, Menghindarkan dari Siksa di Akhirat. Mengonsumsi makanan haram bukan hanya berdampak buruk di dunia, tetapi juga menjadi sebab datangnya siksa di akhirat. Allah telah melarang manusia memperoleh dan mengonsumsi sesuatu dengan cara yang tidak halal, karena itu termasuk bentuk kedzaliman yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil.” (Qs. Al-Baqarah: 188). Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa makanan haram membawa kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.
Baca Juga: Ini Keistimewaan Bulan Sya’ban, Nasihat dan Amalan Rasulullah SAW yang Sayang Dilewatkan
Ayat ini menegaskan larangan mencari atau menggunakan harta dengan cara yang tidak sah, seperti riba, korupsi, mencuri, dan bentuk kecurangan lainnya. Makanan yang diperoleh dari sumber haram termasuk dalam kategori ini dan akan menjadi sebab azab di akhirat.
Kedelapan, Menjaga Kesehatan Mental dan Emosi melalui Makanan Halal. Makanan yang dikonsumsi tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga pada kesehatan mental dan emosi seseorang. Islam menekankan pentingnya mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik) karena makanan yang bersih dan sehat dapat membantu menjaga keseimbangan jiwa, ketenangan hati, dan kestabilan emosi.
Penelitian yang dilakukan oleh Frontiers in Psychology (2021), menemukan bahwa pola makan yang sehat dan bersih dapat mengurangi risiko depresi dan kecemasan. Konsumsi makanan alami yang bebas dari zat berbahaya seperti alkohol, babi, dan makanan tidak higienis terbukti meningkatkan produksi serotonin dan dopamin, yaitu hormon yang berperan dalam menjaga suasana hati tetap stabil.
Studi lain yang dilakukan oleh Nutritional Neuroscience (2019), mengungkap bahwa konsumsi makanan tidak sehat, seperti makanan tinggi lemak jenuh dan zat aditif berbahaya, berhubungan dengan peningkatan stres, mudah marah, dan gangguan kognitif. Ini menunjukkan bahwa makanan yang tidak bersih dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon dalam otak, yang pada akhirnya mempengaruhi stabilitas emosional seseorang.
Baca Juga: Gus Baha Ungkap Keterbatasan Manusia Sekaligus Menjadi Kelebihannya
Imam Al-Mawardi berkata, “Kebersihan makanan berpengaruh besar terhadap stabilitas emosi dan kesehatan jiwa manusia. Makanan yang kotor atau haram dapat menyebabkan hati menjadi gelap dan jiwa tidak tenang.”
Ini menunjukkan bahwa makanan halal dan baik bukan hanya tentang aturan agama, tetapi juga berkaitan dengan kebersihan hati, kejernihan pikiran, dan kestabilan emosi seseorang.
Kesimpulannya, pertama, makanan halal dan sehat membantu meningkatkan suasana hati, mengurangi stres, dan menjaga kestabilan emosi. Kedua, sebaliknya, makanan haram dan tidak sehat dapat memicu kecemasan, mudah marah, serta menurunkan kualitas kesehatan mental. Ketiga, menjaga kehalalan dan kebersihan makanan adalah bagian dari upaya menjaga kesehatan jiwa dan emosi agar lebih tenang dan bahagia.
Kesembilan, Mendekatkan kepada Allah dan Menjauhi Setan. Makanan halal bukan hanya berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental, tetapi juga memiliki dampak spiritual yang besar. Seorang Muslim yang menjaga makanannya tetap halal dan thayyib akan lebih mudah dalam beribadah, mendapatkan ketenangan hati, serta terhindar dari bisikan setan. Sebaliknya, makanan haram dapat mengotori jiwa, menjauhkan dari Allah, dan mendekatkan seseorang kepada perangkap setan. Allah Ta’ala berfirman,
Baca Juga: Tingkatkan Amalan di Bulan Syaban, untuk Persiapan Ramadhan
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” (Qs. Al-Baqarah: 168)
Ayat ini menunjukkan bahwa setan selalu berusaha menyesatkan manusia, termasuk melalui makanan dan minuman haram. Jika seseorang terbiasa mengonsumsi makanan yang tidak halal, maka hatinya menjadi keras, sulit menerima kebaikan, dan cenderung mengikuti hawa nafsu yang menjerumuskannya dalam kemaksiatan.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Mengikuti hawa nafsu dalam makanan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam perangkap setan. Sebab, setan masuk ke dalam diri manusia melalui syahwat dan makanan yang haram, sehingga menjauhkan mereka dari ketaatan kepada Allah.”
Artinya, seseorang yang tidak menjaga kehalalan makanannya bisa lebih mudah tergoda melakukan perbuatan maksiat, karena makanan haram dapat menghalangi cahaya iman masuk ke dalam hati.
Kesepuluh, Menjadi Sebab Ketaatan dalam Keluarga. Makanan halal bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga berpengaruh besar terhadap keharmonisan dan ketaatan dalam keluarga. Kehalalan makanan yang dikonsumsi memastikan keberkahan dalam rumah tangga, sehingga anggota keluarga lebih mudah menjalankan ibadah dan hidup dalam ketenangan. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
“Wahai para rasul! Makanlah dari makanan yang baik dan kerjakanlah amal saleh.” (Qs. Al-Mu’minun: 51)
Ayat ini menunjukkan hubungan erat antara makanan halal dan perbuatan baik. Jika keluarga mengonsumsi makanan yang halal dan baik, maka mereka akan lebih mudah menjalankan ibadah dan menjauhi maksiat.
Sebuah studi dalam Journal of Nutrition Education and Behavior (2020) menemukan bahwa kualitas makanan dalam keluarga berpengaruh terhadap hubungan emosional antaranggota keluarga. Makanan yang bersih, sehat, dan halal membantu meningkatkan keharmonisan, kesejahteraan mental, serta mengurangi stres dalam keluarga.
Sementara, penelitian dalam Nutritional Neuroscience (2019) menunjukkan bahwa makanan yang mengandung zat berbahaya, seperti alkohol dan bahan kimia berlebihan, dapat meningkatkan agresivitas dan menurunkan empati. Ini bisa menyebabkan ketegangan dalam rumah tangga dan menurunkan kualitas hubungan antaranggota keluarga.
Kesebelas, Sebagai Bentuk Syukur kepada Allah. Mengonsumsi makanan halal bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya. Allah menciptakan berbagai jenis makanan yang halal dan baik untuk dikonsumsi, sehingga seorang Muslim yang bersyukur akan memilih makanan sesuai dengan aturan syariat sebagai bukti ketaatan dan penghormatan terhadap nikmat-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Maka makanlah dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu yang halal lagi baik, dan bersyukurlah atas nikmat Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (Qs. An-Nahl: 114)
Ayat ini menunjukkan bahwa mengonsumsi makanan halal adalah salah satu bentuk syukur kepada Allah. Syukur ini tidak hanya diucapkan dengan lisan, tetapi juga dibuktikan dengan perbuatan, yakni memilih makanan halal dan menjauhi yang haram.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Rasa syukur seorang Muslim kepada Allah ditunjukkan dengan menaati aturan halal dan haram. Barang siapa bersyukur atas nikmat-Nya, maka Allah akan menambahkan keberkahan dalam hidupnya.”
Hal ini berarti seseorang yang benar-benar bersyukur akan memanfaatkan nikmat Allah dengan cara yang benar, yaitu dengan mengonsumsi makanan yang diizinkan dalam Islam dan tidak melanggar aturan syariat.
Betapa indah dan tenteram hidup seorang Muslim yang taat pada aturan Allah dan Rasul-Nya, menjaga setiap suapan yang masuk ke dalam tubuhnya sebagai bentuk ketakwaan. Makanan bukan sekadar kebutuhan jasmani, tetapi juga jalan menuju keberkahan dan keselamatan di dunia serta akhirat.
Jika seorang mukmin ingin doanya dikabulkan, hatinya bersih, dan hidupnya penuh keberkahan, maka ia harus memastikan bahwa apa yang ia makan dan dari mana ia mendapatkannya benar-benar halal dan thayyib. Sebab, setiap rezeki yang dikonsumsi akan menjadi bagian dari dirinya—membentuk amal, akhlak, dan bahkan nasibnya di akhirat kelak.[]
Mi’raj News Agency (MINA)