DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam rapat paripurna, Selasa (18/11). Regulasi baru yang mencakup 14 poin substansial ini diklaim pemerintah sebagai langkah modernisasi sistem peradilan pidana. Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai sejumlah pasal tetap menyisakan potensi pelemahan terhadap perlindungan hak asasi manusia.
Revisi KUHAP kali ini disusun untuk menyesuaikan hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional. Pemerintah menegaskan bahwa harmonisasi ini diperlukan agar hukum acara sejalan dengan semangat KUHP baru yang mengedepankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif. Sinkronisasi tersebut juga ditujukan untuk memastikan proses pidana berjalan lebih efektif dan akuntabel.
Di antara 14 poin perubahan, beberapa aspek dianggap sebagai penguatan signifikan, termasuk pemisahan fungsi antara penyelidik, penyidik, penuntut umum, hakim, serta advokat. Elaborasi diferensiasi fungsional ini dinilai penting untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan memperbaiki koordinasi antar-lembaga penegak hukum.
KUHAP baru juga menempatkan perlindungan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban sebagai prioritas. Regulasi revisi ini mempertegas hak atas bantuan hukum, pendampingan advokat, perlindungan dari intimidasi, serta ruang praperadilan yang lebih luas. Sementara itu, peran advokat diperkuat sebagai unsur penting dalam sistem peradilan pidana yang kini diberi akses lebih luas selama proses pemeriksaan.
Baca Juga: Indonesia dan Masa Depan Hutan Tropis Dunia, Langkah Baru Memimpin Konservasi
Di sisi lain, penguatan perlindungan terhadap kelompok rentan juga menjadi sorotan utama. Penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lansia mendapatkan jaminan perlakuan khusus yang diatur secara lebih tegas dalam setiap tahap proses penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Hal ini dilengkapi dengan ketentuan teknis pemeriksaan yang mengakomodasi kebutuhan khusus mereka.
Sejalan dengan semangat restorative justice, KUHAP baru memberikan ruang formal bagi penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pada kondisi tertentu. Mekanisme pengakuan bersalah, penundaan penuntutan bagi korporasi, serta pengaturan tanggung jawab pidana korporasi menjadi bagian dari upaya memperluas alternatif penyelesaian perkara yang tidak semata bergantung pada pemidanaan.
Regulasi juga memperkuat asas due process of law melalui pengaturan yang lebih ketat terhadap upaya paksa seperti penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Pelaksanaan prosedur tersebut kini harus memenuhi standar objektif dan transparan, selaras dengan prinsip akuntabilitas aparat penegak hukum.
Selain itu, KUHAP baru memberikan dasar lebih kuat terkait hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban maupun pihak yang dirugikan. Pemerintah menyebut ketentuan tersebut sebagai penguatan perlindungan hukum yang sebelumnya belum diatur secara rinci.
Baca Juga: Ancaman Sunyi di Balik Evakuasi Warga Gaza Berkedok Kemanusiaan
Meski demikian, Koalisi Masyarakat Sipil tetap menyampaikan kritik terhadap beberapa ketentuan yang dianggap belum menjawab persoalan fundamental, seperti lemahnya pengawasan yudisial atas upaya paksa serta potensi perluasan kewenangan aparat tanpa kontrol yang memadai. Partisipasi publik dalam proses perumusan undang-undang juga dinilai masih perlu ditingkatkan.
KUHAP baru akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026, bersamaan dengan implementasi KUHP hasil revisi. Pemerintah berharap regulasi ini dapat membawa sistem peradilan pidana Indonesia menjadi lebih modern, transparan, dan berpihak kepada keadilan. Namun, kelompok masyarakat sipil menegaskan bahwa pengawasan publik tetap diperlukan untuk memastikan implementasi tidak menyimpang dari prinsip perlindungan hak asasi manusia.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ketika Pelukan Anak Jadi Obat Lelah















Mina Indonesia
Mina Arabic