DI TENGAH hiruk pikuk dunia modern, sering kali peran seorang ayah terlupakan—bukan karena tak penting, tapi karena tak terlihat. Banyak ayah yang diam-diam memikul beban berat, menahan lelah demi senyum anak-anaknya, dan menelan sepi demi masa depan keluarganya. Namun, di balik sosok yang tampak kuat itu, tersimpan kerinduan untuk lebih dekat, lebih hadir, dan lebih berarti bagi buah hatinya.
Bagi ayah milenial, zaman boleh berubah, tapi cinta, tanggung jawab, dan harapan tetap sama: ingin menjadi pelindung, guru, dan sahabat terbaik bagi anak-anaknya. Kini saatnya bangkit, memperbaiki yang tertinggal, dan menjadi ayah yang bukan hanya bekerja untuk keluarga—tapi hidup bersama mereka dengan cinta dan keteladanan. Berikut ini 15 tips menjadi ayah yang baik.
1. Menjadi Ayah yang Proaktif dalam Peran Pengasuhan. Ayah milenial dituntut lebih aktif dalam peran pengasuhan, bukan hanya sebagai pencari nafkah. Penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa keterlibatan ayah sejak dini berdampak positif terhadap perkembangan emosional dan kognitif anak. Dalam Islam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mencontohkan kasih sayang terhadap anak-anak, seperti mencium cucunya Hasan dan Husain, menunjukkan bahwa pengasuhan bukan hanya tugas ibu.
2. Mengedepankan Komunikasi Efektif dalam Keluarga. Komunikasi adalah fondasi keluarga yang sehat. Ayah milenial perlu belajar berkomunikasi terbuka, empatik, dan tidak otoriter. Ilmu komunikasi keluarga menyatakan bahwa keterbukaan ayah dalam berdialog dengan anak menciptakan rasa aman dan kepercayaan. Al-Qur’an memberi contoh dialog Luqman dengan anaknya, yang penuh nasihat, keteladanan, dan kelembutan.
Baca Juga: Ahlul Qur’an: Mencintai, Menghafal, dan Mengamalkan
3. Menjadi Teladan dalam Akhlak dan Ibadah. Anak belajar dari contoh nyata. Ayah yang menjaga akhlak, shalat berjamaah, berkata jujur, dan berperilaku mulia akan menjadi panutan utama bagi anak. Dalam perspektif Islam, tanggung jawab pendidikan akhlak anak berada pada pundak orang tua, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Menyediakan Waktu Berkualitas, Bukan Sekadar Kuantitas. Kehadiran ayah secara emosional lebih penting dari sekadar fisik. Dalam era digital, banyak ayah hadir secara fisik tapi larut dalam gawai. Psikologi keluarga menekankan pentingnya quality time, seperti bermain bersama, membaca buku, atau diskusi ringan sebelum tidur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi waktu khusus untuk anak-anak dan istrinya walaupun memiliki kesibukan besar.
5. Melek Teknologi dan Mendampingi Anak di Dunia Digital. Ayah milenial wajib melek digital. Internet adalah pedang bermata dua: bisa mendidik, bisa merusak. Menurut pakar pendidikan, anak perlu didampingi dalam penggunaan teknologi agar tidak terpapar konten negatif. Dalam Islam, mendidik anak agar bijak memilih tontonan adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dalam keluarga.
6. Mengatur Finansial Keluarga dengan Bijak dan Syari. Menjadi ayah juga berarti pengelola keuangan. Ayah milenial perlu menguasai literasi keuangan syariah—menghindari riba, mengatur anggaran, dan menyiapkan dana pendidikan anak. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan dalam membelanjakan harta, “Jangan boros dan jangan pelit, tapi ambillah jalan tengah di antara keduanya.” (Qs. Al-Furqan: 67).
Baca Juga: Meniti Jalan Ahlul Qur’an: Menggapai Derajat Mulia
7. Bersikap Terbuka terhadap Ilmu Parenting dan Konseling. Ayah milenial sebaiknya tidak gengsi untuk belajar ilmu parenting dari berbagai sumber, termasuk mengikuti seminar atau membaca buku. Psikologi Islam mendorong pembelajaran berkelanjutan (thalabul ‘ilm) untuk menjadi orang tua yang cerdas secara emosional dan spiritual. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menganjurkan umatnya untuk belajar dari buaian hingga liang lahat.
8. Menjadi Support System Bagi Istri. Ayah bukan hanya pemimpin, tapi juga pendamping. Mendukung istri dalam pengasuhan anak akan menciptakan harmoni dalam rumah tangga. Dalam Islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dikenal membantu pekerjaan rumah tangga dan mendukung istri-istrinya, menunjukkan bahwa kepemimpinan keluarga bukan otoritas mutlak, tapi kolaborasi penuh kasih.
9. Membangun Kedisiplinan yang Positif, Bukan Kekerasan. Disiplin tidak identik dengan kekerasan. Psikologi anak menekankan positive discipline, yakni membangun aturan yang jelas, konsisten, dan disampaikan dengan cinta. Islam mengajarkan mendidik anak dengan hikmah dan kelembutan, serta menempatkan hukuman sebagai pilihan terakhir setelah nasihat dan peringatan.
10. Menanamkan Nilai Tauhid Sejak Dini. Ayah bertanggung jawab mengenalkan anak pada Allah sejak dini. Pendidikan tauhid bukan hanya soal hafalan, tapi juga contoh nyata, seperti mengajak anak mengamati ciptaan Allah, mensyukuri nikmat, dan menjelaskan pentingnya shalat. Seperti dalam kisah Luqman, penanaman akidah menjadi prioritas utama dalam pendidikan anak.
Baca Juga: Menggapai Keutamaan Ahlul Qur’an di Era Modern
11. Menerima Perbedaan dan Mengembangkan Potensi Anak. Setiap anak unik dan memiliki fitrah serta potensi berbeda. Ayah milenial perlu menjadi fasilitator, bukan pemaksa. Psikologi perkembangan mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap bakat anak, termasuk dalam memilih hobi dan cita-cita. Islam pun tidak memaksakan bakat, tetapi mengarahkan kepada yang halal dan bermanfaat.
12. Melatih Anak Tanggung Jawab Secara Bertahap. Seiring bertambahnya usia, anak perlu dilatih tanggung jawab—dari hal kecil seperti merapikan mainan, hingga tanggung jawab sosial dan ibadah. Ayah perlu menjadi pembimbing yang sabar. Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab adalah bagian dari keimanan, sebagaimana hadis, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika menelantarkan tanggung jawab terhadap orang yang ia nafkahi.”
13. Menjadi Pendengar yang Baik dan Tidak Menghakimi. Ayah yang baik mampu mendengar keluh kesah anak tanpa langsung menghakimi. Ini membantu anak merasa dihargai dan lebih terbuka. Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Ya’qub AS menunjukkan bagaimana seorang ayah mendengarkan mimpi anaknya (Yusuf AS) dengan penuh perhatian, bukan dengan cemoohan.
14. Menumbuhkan Empati dan Kepedulian Sosial. Ayah juga perlu menanamkan nilai empati dan kepedulian sejak dini. Ajak anak bersedekah, mengunjungi yang sakit, atau membantu sesama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah suri teladan dalam hal ini—bahkan beliau menangis saat melihat penderitaan orang lain. Nilai ini membentuk karakter anak yang berakhlak dan peka terhadap sesama.
Baca Juga: Ayah sebagai Teladan: Menginspirasi Generasi Berikutnya
15. Senantiasa Memohon Bimbingan Allah dalam Mendidik Anak. Menjadi ayah bukan pekerjaan mudah. Maka doa adalah senjata utama. Banyak doa para nabi dalam Al-Qur’an yang menunjukkan permohonan untuk diberi anak saleh dan kemampuan mendidik dengan benar, seperti doa Nabi Ibrahim: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat.” (Qs. Ibrahim: 40). Ayah milenial harus menyeimbangkan ikhtiar dengan tawakal.
Menjadi ayah bukan soal sempurna, tapi soal terus belajar dan hadir dengan cinta. Tak perlu jadi sosok hebat di mata dunia, cukup jadi pahlawan di mata anak-anakmu. Sebab setiap pelukan, doa, dan peluhmu hari ini adalah warisan berharga yang akan tumbuh dalam hati mereka selamanya.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sejarah Masjid Al-Aqsa: Kiblat Pertama Umat Islam