Pada 17 Oktober 2024, Indonesia memasuki era baru dalam implementasi kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang beredar di pasar.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021, semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia kini diwajibkan memiliki sertifikat halal. Tenggat waktu tahap pertama dari peraturan ini berakhir pada tanggal tersebut, menandai babak penting dalam ekosistem halal nasional.
Tanggal 17 Oktober menjadi batas akhir tahap pertama pelaksanaan kewajiban sertifikasi ini, yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Sehingga 18 Oktober 2024 jika produk tersebut belum bersertifikat halal maka secara regulasi bisa dikenakan sanksi administratif hingga yang terberat penarikan barang atau produk dari pasar.
Langkah ini diambil untuk melindungi konsumen Muslim yang mayoritas di Indonesia, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di industri halal global yang terus berkembang.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Berdasarkan regulasi JPH, ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama tersebut. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.
Pelaku UMK Dapat Keringanan Dua Tahun
Meski begitu, pemerintah mengecualikan kewajiban halal dan konsekuensinya bagi pengusaha skala mikro dan kecil. Mereka diberikan perpanjangan waktu hingga 2026.
Khusus bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang belum bersertifikat halal akan diberi kesempatan hingga tahun 2026.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Untuk itu, pedagang kaki lima (PKL) yang dari UMK, misalnya, dari pemerintah diberikan waktu tambahan. Jadi tenggat waktunya tidak 2024 tapi ditambah dua tahun menjadi 2026.
Sejalan dengan itu, program percepatan Sertifikasi Halal yang dilaksanakan BPJPH dengan terus menggulirkan program sertifikasi halal gratis (SEHATI) melalui skema sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha atau self declare.
Aturan itu mulai dieksekusi pada akhir 2021 untuk pertama kalinya bagi pelaku usaha mikro dan kecil melalui fasilitas anggaran pemerintah.
Menurut Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag RI Muhammad Aqil Irham, Pada tahun 2024, BPJPH menargetkan kuota satu juta sertifikat halal gratis bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) di seluruh Indonesia melalui Program SEHATI yang akan terus dilanjutkan pada 2025.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Meski begitu, ada celah yang perlu diperbaiki pemerintah terkait mekanisme self declare tersebut. Kasus terakhir, yakni lolosnya produk dengan nama-nama yang bertentangan dengan syarat produk mendapatkan sertifikat halal, menunjukkan rentannya self declare.
Mengapa Sertifikasi Halal Wajib?
Sertifikasi halal memastikan bahwa produk yang kita gunakan, baik makanan, minuman, kosmetik, maupun produk lainnya, dibuat sesuai dengan ajaran Islam. Label halal tidak hanya penting bagi konsumen Muslim, tetapi juga bagi pelaku usaha untuk menjangkau pasar yang lebih luas, termasuk di luar negeri.
Sertifikat ini memberikan jaminan bahwa produk yang dibeli bebas dari bahan-bahan yang dilarang atau proses produksi yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Kehadiran UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang kemudian diperkuat dengan hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, telah menetapkan kerangka hukum baru yang membawa perubahan mendasar terkait kebijakan dan implementasi Sertifikasi Halal.
Untuk itu, 17 Oktober 2024 adalah tanggal penting dalam dunia usaha dan perlindungan konsumen. Kewajiban sertifikasi halal ini membuka jalan bagi Indonesia untuk memastikan produk yang dijual di pasar memenuhi standar halal yang ketat.
Bagi pelaku usaha, ini adalah peluang untuk memperluas pasar, baik di dalam negeri maupun internasional. Bagi konsumen, ini memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan dalam memilih produk yang sesuai dengan keyakinan.
Seiring perubahan aturan dari yang sifatnya sukarela menjadi wajib tersebut, ada konsekuensi bagi pengusaha, khususnya makanan dan minuman di Indonesia, yang mengabaikan aturan main tersebut. Sanksi yang dikenakan beragam, tergantung pada tingkat kesalahannya.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Sanksi pertama berupa peringatan tertulis kepada pelaku usaha. Pada tahap ini, pelaku usaha diberi tenggat waktu tertentu untuk segera memenuhi persyaratan halal. Jika terus mengabaikan, pelaku usaha akan dikenai denda administratif. Sanksi terberat adalah penarikan barang atau produk mereka dari pasar.
Menurut laporan terbaru Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), berdasarkan data SIHALAL, hingga 15 Oktober 2024, jumlah produk bersertifikat halal mencapai 5,38 juta lebih.
Sementara, jumlah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) terakreditasi sebanyak 79 LPH, dan jumlah LP3H teregister sebanyak 269 Lembaga Pendamping Proses Produk Halal (LP3H) yang didukung sebanyak 108 ribu lebih Pendamping Proses Produk Halal.
Potensi Industri Halal Global
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Dengan kewajiban sertifikasi halal ini, Indonesia dapat mengambil peran besar dalam industri halal global. Tidak hanya di sektor makanan, tetapi juga kosmetik, fashion, hingga pariwisata halal.
Potensi produk halal Indonesia tak hanya terbuka di pasar domestik, tetapi juga di pasar global.
Pasar produk halal dunia sangat besar, dan Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di industri ini.
Menurut laporan SGIE 2023, 2 miliar konsumen Muslim di dunia menghabiskan sekitar 2,29 triliun USD pada tahun 2022 untuk produk dan layanan halal di sektor makanan, farmasi, kosmetik, mode, perjalanan, dan media/rekreasi.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Menurut Salaam Gateway yang bekerjasama dengan Dinar Standards, pada tahun 2023, 30 perusahaan dari negara-negara anggota OKI masuk ke dalam kategori Top 30 perusahaan berproduk halal, dan 15 di antaranya berasal dari Indonesia. Bahkan, perusahaan peringkat pertama berasal dari Indonesia. Ini membuktikan bahwa Indonesia telah menjadi pusat produsen halal dunia, dengan merek-merek produk halal Indonesia mampu bersaing di pasar global.
Langkah yang Harus Diperhatikan Pelaku Usaha dalam Merespon Wajib Halal Oktober 2024:
1. Segera Urus Sertifikasi Halal Jika usaha Anda belum bersertifikat halal, segera mulai prosesnya. Sertifikasi halal memerlukan waktu, dari pengajuan hingga penerbitan sertifikat. Mulailah dari sekarang agar tidak terburu-buru mendekati tenggat waktu.
2. Pastikan Proses Produksi Halal Audit seluruh proses produksi, mulai dari bahan baku hingga cara pengolahannya. Pastikan tidak ada campuran bahan non-halal atau proses yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal ini untuk menjaga kepercayaan konsumen dan menghindari pelanggaran aturan.
3. Bekerja Sama dengan BPJPH Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) adalah lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Pelaku usaha harus memahami proses dan prosedur yang ditetapkan BPJPH untuk memastikan sertifikasi berjalan lancar. Pastikan semua persyaratan dipenuhi agar produk bisa cepat mendapat sertifikat halal.
4. Ikuti Standar Halal Internasional Sertifikasi halal Indonesia diakui secara internasional, sehingga membuka peluang ekspor ke negara-negara lain. Pastikan produk Anda mematuhi standar halal global agar bisa bersaing di pasar internasional.
5. Gunakan Logo Halal Resmi Setelah sertifikat halal diterima, produk harus mencantumkan logo halal yang resmi dari BPJPH. Logo ini menjadi tanda pengakuan bahwa produk tersebut telah lolos standar halal, memberikan rasa aman bagi konsumen Muslim.
Selain itu, ada tantangan tersendiri bagi pemerintah dan regulator dalam menegakkan aturan UU JPH ini:
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
1. Pengawasan dan Penegakan Aturan Setelah kewajiban sertifikasi halal berlaku, pengawasan terhadap produk yang beredar harus diperketat. Regulator perlu memastikan bahwa semua produk mematuhi aturan, dan menindak tegas setiap pelanggaran.
2. Peningkatan Kapasitas Sertifikasi Dengan banyaknya pelaku usaha yang membutuhkan sertifikasi halal, BPJPH dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) harus siap mengelola lonjakan permohonan. Kapasitas layanan harus ditingkatkan agar proses sertifikasi berjalan cepat dan lancar.
3. Edukasi Masyarakat dan Pelaku Usaha Selain pengawasan, edukasi mengenai pentingnya sertifikasi halal perlu ditingkatkan. Ini berlaku baik untuk pelaku usaha agar mereka segera mengurus sertifikat, maupun untuk konsumen agar mereka lebih selektif memilih produk halal.
Dalam perkembangan terbaru, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI menggelar rapat koordinasi (rakor) Pengawasan Jaminan Produk Halal pada Senin (14/10/2024), diikuti oleh 1.032 orang peserta yang terdiri atas Pengawas JPH dan Satgas Layanan JPH di Kanwil Kemenag Provinsi maupun Kankemenag Kabupaten/Kota.
Adapun obyek pengawasan meliputi Rumah Potong Hewan (RPH) dan/atau Rumah Potong Unggas, restoran, rumah makan atau resto hotel, serta produk makanan dan minuman dalam kemasan yang beredar di pasar modern maupun pasar tradisional.
Sedangkan kriteria objek pengawasan adalah usaha menengah dan/atau besar. Untuk kriteria RPH/RPU adalah milik pemerintah daerah atau swasta.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Untuk mendukung pengawasan serentak tersebut, BPJPH telah menyusun pedoman teknis pengawasan kewajiban sertifikasi halal tahap pertama.
Menurut Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan JPH, Dzikro, mengatakan dalam keterangan tertulisnya, pengawasan dilaksanakan salah satunya dengan melakukan pendataan pelaku usaha yang diduga tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam regulasi JPH, seperti mengurus sertifikat halal produk yang terkategori dikenai kewajiban bersertifikat halal pada tahap pertama.
Sedangkan pelanggaran yang ditemukan dapat dikenakan dua macam jenis sanksi, yakni peringatan tertulis dan larangan peredaran barang atau penarikan peredaran barang.
Rakor juga membahas hal-hal teknis terkait antisipasi potensi kendala-kendala yang mungkin akan terjadi di lapangan yang tentunya akan amat sangat situasional di setiap lokasi di seluruh Indonesia.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Kewajiban sertifikasi halal ini tentunya membuka jalan bagi Indonesia untuk memastikan produk yang dijual di pasar memenuhi standar halal yang ketat. Bagi pelaku usaha, ini adalah peluang untuk memperluas pasar, baik di dalam negeri maupun internasional.
Bagi konsumen, ini memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan dalam memilih produk yang sesuai dengan keyakinan.
Era produk bersertifikat halal telah tiba. Mari kita sambut dengan kesiapan dan optimisme untuk masa depan yang lebih baik dan lebih halal.[]
Mi’raj News Agency (MINA)