BAYANGKAN sebuah umat yang jumlahnya miliaran, namun mayoritasnya hidup dalam kemiskinan: mereka lemah, mudah diperalat, diadu domba, tidak berdaya melawan ketidakadilan, dan sibuk bertahan hidup sehingga tidak mampu menegakkan syariat maupun membangun peradaban. Inilah potret pahit yang sering melekat pada umat Islam hari ini.
Padahal, Islam bukanlah agama kemiskinan, melainkan agama kemuliaan dan kejayaan. Menjadi kaya bagi seorang Muslim bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah kewajiban strategis agar ia mampu menunaikan syariat secara paripurna, menjaga kehormatan diri, memberi manfaat kepada sesama, serta mengembalikan wibawa umat di mata dunia.
Kekayaan yang halal dan diberkahi Allah adalah senjata ampuh untuk melawan penjajahan, memperkuat dakwah, dan membangun kembali peradaban Islam yang gemilang. Berikut lima alasan mengapa umat Islam harus kaya.
Pertama, Kaya Membuka Jalan untuk Menunaikan Kewajiban Syariat Lebih Sempurna
Baca Juga: Dunia Makmur, Akhirat Terjaga: Rahasia Menjadi Bahagia dan Berhasil
Seorang Muslim yang kaya memiliki kemampuan lebih luas dalam menjalankan kewajiban syariat dibandingkan yang miskin. Misalnya, zakat hanya diwajibkan atas orang yang mampu secara finansial, sementara yang miskin tidak bisa melaksanakannya.
Haji, salah satu rukun Islam, juga diwajibkan hanya bagi yang memiliki kecukupan harta. Artinya, kekayaan menjadi instrumen penting agar seorang Muslim bisa menegakkan seluruh perintah Allah secara lebih sempurna. Dengan kaya, ibadah tidak hanya berhenti pada ranah ritual pribadi, melainkan meluas pada ranah sosial.
Kedua, Kekayaan Membebaskan dari Ketergantungan dan Penindasan
Kemiskinan seringkali menjadikan seorang Muslim lemah dan tergantung pada orang lain. Secara sosiologis, orang miskin cenderung sulit bersuara, mudah ditekan, bahkan rentan diperalat oleh pihak-pihak yang ingin merusak Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran.” (HR. Abu Dawud).
Baca Juga: Hidup Terlalu Singkat untuk Menyesal
Kefakiran dalam hadits ini disejajarkan dengan kekafiran karena daya rusaknya sama: membuat seseorang tergadai harga dirinya, bahkan bisa tergelincir meninggalkan agamanya. Maka, menjadi kaya adalah tameng agar umat Islam tidak terjajah secara ekonomi maupun ideologi.
Ketiga, Kaya Memperluas Ruang Dakwah dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dakwah membutuhkan biaya besar: pembangunan masjid, sekolah Islam, media dakwah, bantuan sosial, hingga menghidupi para dai. Seorang Muslim yang kaya dapat menopang dakwah dengan kekayaannya. Bukti sejarah mencengangkan: Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. membebaskan budak-budak mukmin dengan kekayaannya, Utsman bin Affan r.a. membiayai perang Tabuk dengan hartanya, Abdurrahman bin Auf r.a. terkenal sebagai saudagar dermawan yang menopang perjuangan Islam. Logikanya jelas: semakin banyak Muslim yang kaya, semakin kuat dakwah Islam.
Keempat, Kekayaan sebagai Bentuk Syukur atas Potensi Diri
Baca Juga: Tanpa Jasa Orang Lain, Kamu Hanya Nol Besar
Setiap Muslim dianugerahi akal, tenaga, dan kesempatan oleh Allah. Jika potensi ini tidak dikembangkan sehingga hidup selalu miskin, itu berarti menyia-nyiakan nikmat Allah. Dalam psikologi motivasi, orang yang tidak memanfaatkan potensinya hingga maksimal cenderung mengalami frustasi dan penyesalan.
Sebaliknya, orang yang kaya karena kerja kerasnya menunjukkan bentuk syukur nyata. Allah menegaskan,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kalian bersyukur, pasti akan Aku tambah (nikmat kalian).” (Qs. Ibrahim: 7).
Kekayaan yang diperoleh dengan halal dan disyukuri menjadi bukti konkret seorang Muslim memanfaatkan potensi diri sesuai kehendak Allah.
Kelima, Kaya Membuat Muslim Menjadi Pemberi, Bukan Penerima
Baca Juga: Jamaah Umrah KBIH Al-Fatah Kunjungi Kota Badr, Kenang Perjuangan Rasulullah
Secara psikologis, tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari-Muslim). Muslim yang kaya bisa memberi, menyantuni yatim, membantu fakir miskin, dan menopang perjuangan umat.
Bayangkan jika mayoritas Muslim miskin, mereka akan sibuk meminta-minta, kehilangan kehormatan, dan sulit membangun peradaban. Tetapi jika mayoritas Muslim kaya, mereka menjadi penopang dunia, memberi solusi bagi umat manusia. Kekayaan, dalam hal ini, bukan sekadar harta, melainkan martabat dan kedaulatan.
Penelitian dalam bidang ekonomi dan kesehatan menunjukkan bahwa orang yang memiliki kondisi finansial mapan cenderung lebih sehat, lebih produktif, dan memiliki daya hidup lebih panjang. Muslim yang kaya berarti berpeluang menjaga kesehatan lebih baik, mengakses pendidikan tinggi, dan memaksimalkan potensi dirinya. Kekayaan bukan hanya angka di rekening, tetapi jaminan agar Muslim bisa berkontribusi lebih luas untuk umat dan peradaban.
Dunia modern bergerak berdasarkan kekuatan ekonomi. Negara-negara yang kaya menguasai teknologi, politik, bahkan media global. Jika umat Islam miskin, mereka hanya menjadi konsumen, bukan produsen. Dengan kekayaan, umat Islam dapat menguasai sumber daya alam, teknologi, dan pusat ekonomi dunia. Inilah yang dicontohkan dalam sejarah keemasan Islam, ketika perdagangan Muslim menguasai jalur sutra dan rempah, sehingga Islam berkembang ke Asia, Afrika, dan Eropa.
Baca Juga: Indonesia Tegaskan Kedaulatan Hukum Produk Halal di Tengah Perang Dagang Amerika
Ilmu sosial modern menunjukkan bahwa kemiskinan berhubungan erat dengan kriminalitas, kebodohan, dan keterpurukan moral. Lingkungan miskin cenderung lebih rawan kekerasan, pencurian, dan prostitusi. Maka, menjadi kaya bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat. Muslim yang kaya bisa mengurangi penyakit sosial ini dengan menciptakan lapangan kerja, memberikan beasiswa, dan memperbaiki fasilitas umum.
Ketergantungan pada bantuan asing membuat umat Islam mudah didikte. Misalnya, bantuan ekonomi sering disertai syarat politik atau ideologi. Dengan kaya, umat Islam bisa mandiri, tidak mudah diatur oleh kekuatan luar. Logika ini sederhana: siapa yang memberi makan, dialah yang mengatur. Jika umat Islam ingin bebas menentukan masa depannya, mereka wajib kaya.
Islam tidak mengajarkan kesenjangan ekstrem. Namun, jika umat Islam semua miskin, keadilan sosial tidak pernah tercapai. Kekayaan umat Islam diperlukan agar distribusi harta berjalan seimbang. Dengan sistem zakat, infak, sedekah, dan wakaf, orang kaya membantu orang miskin. Tetapi bagaimana mungkin sistem ini berjalan bila orang kaya sangat sedikit dalam umat? Maka, kaya adalah kewajiban strategis agar hukum sosial Islam dapat ditegakkan.
Bangsa yang miskin sulit dihormati bangsa lain. Sebaliknya, bangsa yang kaya, meski kecil jumlahnya, bisa mengendalikan dunia. Contohnya Yahudi yang jumlahnya sedikit tetapi menguasai bank dunia, media, dan teknologi. Jika umat Islam ingin kembali disegani, mereka wajib menjadi kaya. Wibawa tidak hanya lahir dari militer atau politik, tetapi terutama dari kekuatan ekonomi.
Baca Juga: Program Akselerator Dukung Startup Halal & Etis Tembus Pasar Global
Sejarah membuktikan, kejayaan Islam di era Abbasiyah dan Andalusia ditopang oleh kekuatan ekonomi. Kota-kota Muslim menjadi pusat perdagangan, ilmu, dan peradaban. Artinya, kekayaan adalah fondasi membangun khairu ummah (umat terbaik). Menjadi miskin hanya membuat umat Islam menjadi beban peradaban, bukan motor peradaban. Maka, wajib bagi seorang Muslim berjuang agar kaya, bukan untuk keserakahan pribadi, melainkan untuk mengembalikan kemuliaan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bekraf Dukung Festival Budaya Masjid Pantai Bali 2025