Oleh: Ali Farkhan Tsani, Duta Internasional Al-Quds
Saat terjadinya malam pembakaran Masjid Al-Aqsha, 21 Agustus 1969, Perdana Menteri Israel Golda Meir terkaget sebentar, dan menampar mukanya sendiri.
Sejenak terhenyak ia berseru, “Ketika Al-Aqsha terbakar, saya tidak bisa tidur malam itu, dan saya pikir Israel akan dihancurkan. Namun ketika pagi tiba, saya menyadari bahwa orang-orang Arab sedang tidur nyenyak.”
Mantan Menteri Kehakiman Israel Yossi Beilin, mengomentari apa yang pernah dikatakan Meir. Bahwa saat ini apa yang dilakukan Israel mengarah ke penyalaan Temple Mount. Seolah-olah seperti skenario pembakaran kembali Masjid Al-Aqsha seperti 50 tahun lalu.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
Beilin menyebutkan pada Israel Today, bahwa 50 Tahun Peristiwa 21 Agustus, mengingatkan organisasi Yahudi pada salah satu tujuannya yakni pembongkaran semua bangunan Islam di Bukit Bait Suci, untuk mempercepat pembangunan Kuil Solomon III.
Api Masjid Al-Aqsha setengah abad lalu adalah insiden yang disengaja, dibuat dan direncanakan oleh seseorang yang percaya pada kesesuaian dengan apa yang dikatakan Zionis Kristen dan Neokonservatif di Amerika Serikat sekarang.
Skizofrenia Paranoida
Awalnya, Israel mengklaim bahwa kebakaran itu disebabkan oleh korsletting listrik, tapi setelah seorang insinyur Arab membuktikan bahwa itu adalah suatu tindakan seseorang. Israel mengajukan seorang pemuda Australia bernama Dennis Michael Rohan, yang dianggap bertanggung jawab atas kebakaran dan bahwa ia akan dibawa ke pengadilan.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Denis Michael Rohan (lahir tahun 1941), adalah seorang Kristen Zionis yang berasal dari salah satu gereja Kristen evangelis atas nama “Gereja Dunia Tuhan.”
Rohan adalah seorang Kristen yang percaya pada kembalinya Kristus, dan itu harus melalui “kembalinya bangsa Israel ke tanah Palestina dan pembangunan Kuil Ketiga.”
Rohan menyebut dirinya hendak memenuhi kenabian dan sebagai “utusan Tuhan” untuk menghancurkan Al-Aqsha, untuk kemudian mempersiapkan pembangunan “Kuil Ketiga”, dan kemudian menyambut kembalinya Kristus.
Awalnya, ia tiba di Palestina yang diduduki pada tahun 1969, dab bergabung dengan salah satu serikat pertanian “kibbutzim” di dekat pemukiman “Netanya”.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Pada Juli 1969, Rohan pindah ke Yerusalem, menyewa sebuah kamar di Hotel Rivoli, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di Yerusalem untuk berkeliling Masjid Al-Aqsha dan kompleks sekitarnya.
Rohan berusaha untuk membakar Al-Aqsha melalui salah satu pintu masuk di sisi tenggara, dekat mihrab di Zakaria.
Malam itu, menurut pengakuannya kepada polisi Israel, ia memanjat salah satu pohon Masjid Al-Aqsha pada larut malam.
Ia pun mengambil syal yang telah dibasahi dengan minyak, mengikatnya di tangga mimbar Shalahuddin, dan menuangkan banyak bensin di sekitarnya dan menyalakan api.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Ia berjalan perlahan saja keluar dari ruangan masjid, dan segera berlari setelah mendengar suara jeritan dan seruan beberapa jamaah dari dalam. Dia keluar dan naik kendaraan ke kawasan Kibbutz Mishmar Hasharon, di mana dia ditangkap dua hari kemudian.
Pengakuan Rohan di pengadilan identik dengan para saksi. Namun pembelaan di pengadilan menyatakan bahwa Rohan sakit secara psikologis, sakit jiwa yang parah, atau lebih dikenal dengan menderita Skizofrenia Paranoida.
Setelah pemeriksaan sejumlah dokter yang mewakili kejaksaan dan pembela, termasuk dokter pribadi Rohan dari Australia, Pengadilan Israel memutuskan bahwa Rohan tidak memenuhi syarat untuk diadili karena kondisi kesehatan mentalnya.
Ia dinyatakan melakukan kejahatan di bawah ilusi dan fantasi, dan ia dianggap tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, dan tidak bermaksud melakukan kejahatan. Itu adalah realitas dari kehendak bebas pribadinya, sebagaimana dinyatakan oleh hakim.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Dengan demikian pengadilan menyatakan bahwa dia tidak dapat dihukum, dan memerintahkan pembebasannya serta dirawat di rumah sakit.
Pada 1974, setelah mendapat tekanan dari keluarga, dan karena apa yang dikatakan sebagai situasi psikologisnya, Rohan dikembalikan ke negaranya, Australia. Ia pun meninggal di sana pada 1995.
Beberapa akun mengklaim bahwa ia meninggal pada saat menerima perawatan psikoterapi hingga kematiannya. Namun beberapa sumber mengatakan bahwa ia tidak menderita salah satu dari penyakit itu. Alias sebenarnya tidak ada gejala kegilaan atau semacamnya.
Belum Padam
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Setelah teriakan jamaah pada malam kebakaran Masjid Al-Aqsha, segera orang-orang di Yerusalem berlarian menuju kompleks masjid berusaha untuk memadamkan api yang berkobar.
Anehnya, menurut warga saat itu, jalur air dari daerah di sekitar masjid tiba-tiba terpurus tak mengalir. Truk-truk pemadam kebakaran milik kotamadya pun semua datang terlambat. Padahal jaraknya cukup dekat, masih di kawasan Kota Tua.
“Hanya Allah yang hakikatnya memadamkan api,” seru saksi warga.
Walaupun kemudian diketahui beberapa bagian terpenting dari bangunan masjid terlalap api.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi, yang merupakan potongan langka dari bahan-bahan kayu, saling bertautan tanpa menggunakan paku, sekrup atau perekat, adalah sebuah bangunan yang terbakar hangus.
Kerangka mimbar awalnya dibuat oleh Nuruddin Zanki, dan dibawa saat perjalanan untuk ditempatkan di dalam masjid setelah pembebasan. Ketika Zanki meninggal sebelum pembebasannya, Shalahuddin memindahkannya dan menempatkannya di tempatnya, saat ia membebaskan Al-Aqsha dari Tentara Salib.
Masjid Omar, yang atapnya terbuat dari ranah liat dan jembatan kayu, juga ikut rusak terbakar. Di sebelahnya ikut hangus Mihrab Zakaria dan Arbaeen.
Selain tiga koridor utama yang membentang dari selatan ke utara, bentuk lengkungan, dekorasi dan bagian atap juga runtuh ke tanah. Dua pilar utama dengan lengkungan batu besar di bawah kubah masjid, gipsum interior berwarna dan hiasan emas dengan semua prasasti dan tulisan geometris di atasnya ikut hangus.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Mihrab marmer berukir di dinding selatan, dan semua laminasi marmer juga rusak. Empat puluh delapan jendela yang terbuat dari kayu, gypsum dan kaca unik, juga rusak.
Seluruh karpet di ruangan utama masjid, habis terbakar. Kaligrafi Surat Al-Israa, yang terbuat dari mosaik berlapis emas di atas mihrab, juga musnah.
Sontak seperti terbangun dari tidurnya, reaksi marah dunia Muslim pun timbul. Demonstrasi terjadi di mana-mana, dan seperti biasa, para pemimpin Arab mengutuk tindakan ini. Dampak dari itu, terbentuklah Organisasi Konferensi Islam (OKI), di Rabat, Maroko, pada tanggal 25 September 1969, sebulan setelah kejadian. OKI digagas oleh Raja Arab Saudi Faisal bin Abdul Aziz.
Indonesia adalah salah satu negara pendiri OKI.
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara dan memiliki seorang perwakilan tetap di PBB, kemudian berubah nama menjadi Organisasi Kerjasama Islam pada 28 Juni 2011.
Raja Yordania Hussein bin Talal membentuk komite ilmuwan, insinyur dan seniman khusus. Komite ditugaskan untuk mendaur ulang pembuatan Mimbar Shalahuddin dan memindahkannya ke Masjid Al-Aqsha pada tahun 2007 dengan pengukuran, desain, bentuk, kayu, ayat, dan kaligrafi yang sama dengan karakter mimbar asli.
Pembakaran Masjid Al-Aqsha bukanlah peristiwa tunggal, tetapi merupakan bagian dari serangkaian tindakan dan kejahatan yang dilakukan oleh pendudukan Israel sejak tahun 1948. Tujuannya untuk melenyapkan identitas budaya Islam dan Arab dari kota Yerusalem.
‘Nyala pembakaran’ itu pun terus berlanjut hingga saat ini. Bahkan semakin berbahaya dengan meningkatnya tingkat kontrol terhadap kelompok-kelompok perjuangan Palestina, serta serbuan ekstremis dan pemukim yang didukung penuh pasukan keamanan Israel.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Termasuk serbuan berujung bentrok massal pada Hari Raya Idul Adha 1440 beberapa waktu lalu.
‘Nyala Pembakaran’ itu tentu saja tidak begitu saja padam. Mesti harus dipadamkan dengan berbagai upaya kaum Muslimin secara bersatu padu. Karena Al-Aqsha hakikatnya adalah hak milik kita semua (Al-Aqsha Haqquna), sesuai dengan dasar-dasar hukum dari Al-Quran, As-Sunnah dan Khalifah Rasyidah. Allahu Akbar !! Al-Aqsha Haqquna !!! (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)