Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Tanggal 5 Juni 2022 menandai 55 tahun Naksa Day (Yaum an-Naksah) yang berarti hari kemunduran bagi bangsa Palestina. Ini mengacu pada kekalahan kekalahan tentara gabungan Arab menghadapi pasukan Israel.
Nakba Day lebih tragis setelah Nakba Day (Yaum An-Nakbah), tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah pengumuman sepihak Negara Israel, 14 Mei 1948.
Selama perang enam hari, mulai 5 Juni hingga 10 Juni 1967 itu, sebenarnya negara-negara Arab bersatu hendak mempertahankan bumi Palestina. Negara-negara itu terdiri dari Mesir, Suriah, Yordania dan Irak, dengan bantuan teknis dari Lebanon, Aljazair, Arab Saudi dan Kuwait.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Saat itu Mesir bertanggung jawab atas Jalur Gaza. Sementara Yordania bertanggung jawab atas Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.
Isu Palestina mewakili elemen penting dalam konflik Arab-Israel kala itu, yang diwujudkan dalam perang ini, untuk menjaga wilayah Palestina yang tidak diduduki oleh Israel pada tahun 1948.
Luas tanah yang diduduki Israel di Palestina pada tahun 1948 berjumlah sekitar 77%, atau sekitar 20.000 km², dari total luasnya 27.000 km².
Pada saat bersamaan, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang didirikan tahun 1964, beroperasi dari kamp-kamp pengungsi di negara-negara diaspora, terutama di Suriah, Lebanon, dan Yordania, dan memimpin operasi komando melawan pendudukan Israel.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Penyebab Kekalahan
Menurut Departemen Diplomasi dan Kebijakan Publik Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), seperti disebutkan media online Arab48, edisi Ahad, 5 Juni 2022, kekalahan Arab dalam perang disebabkan oleh beberapa alasan. Di antaranya yang paling menonjol adalah: keunggulan militer pasukan Israel, terutama di angkatan udara, yang disokong Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, baik dukungan militer maupun ekonomi.
Alasan lainnya, lobi-lobi politik internasional yang dilakukan Zionis Internasional. Saat itu Eropa melalui pemerintah Prancis meminta Israel dan negara-negara Arab, Mesir, Suriah, dan Yordania, untuk tidak mengobarkan perang dan agar menghentikan persiapan militer. Sebelum perang enam hari, situasi Palestina dan sekitarnya memang sedang genting dan mulai ada tindakan militer di beberapa tempat.
Negara-negara Arab rupayanya mematuhi himbauan tersebut, demi terciptanya perdamaian kawasan. Namun, pimpinan militer Israel, dengan dukungan Amerika Serikat, memanfaatkan keadaan tersebut dan melakukan agresi mendadak pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967.
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Israel menerapkan rencana agresifnya dengan meluncurkan serangan udara besar-besaran dan tiba-tiba di bandara militer Mesir, Suriah, dan Yordania. Ini memungkinkan penerbangan militer Israel untuk memberikan kontrol udara di medan perang selama perang.
Aksi sepihak ini membuat pasukan negara-negara Arab kehilangan keseimbangan dan menyebabkan kerugian besar di jajaran tentara mereka.
Akibat tragisnya, antara 15.000 sampai 25.000 orang Arab tewas dalam perang itu, dengan sekitar 45 ribu terluka. Sementara hanya sekitar 650 hingga 800 orang Israel tewas, dan 2.000 terluka. Demikian data Anadolu Agency menyebutkan.
Akibat lain dari perang itu, menurut statistik Palestina, mengakibatkan perpindahan sekitar 300.000 orang Palestina dari Tepi Barat dan Gaza ke pengungsian Yordania.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Usai perang enam hari itulah, pendudukan Israel semakin memperluas jarahannya, dengan menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai (Mesir) dan Dataran Tinggi Golan (Suriah).
Setelah pendudukan Israel menjarah daerah yang didudukinya sejak 1967 itu, mereka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi wilayah pendudukan.
Selain itu, daerah-daerah yang diduduki oleh pendudukan Israel juga memberi keuntungan strategis yang penting di tingkat pertahanan. Ini karena dapat membentuk penghalang alami untuk melindungi kedalaman keamanannya dari serangan Arab atau Palestina.
palestina-300x169.jpg" alt="" width="451" height="254" />Perlawanan Terus Maju
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza
Peristiwa Naksa Day, setiap tahun memang selalu diingat dan diperingati generasi Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, pengungsian dan diaspora di negara-negara eropa dan Amerika Serikat.
Tahun 2022 ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Inisiatif Palestina untuk Promosi Dialog dan Demokrasi Global (al-Mubaradah al-Filistiniyah li Ta’zizi al-Hiwar wad-Dimaqrisiyyah / MIFTAH) mengingatkan, selama 55 tahun yang panjang, pendudukan Israel terus berlanjut menerapkan diskriminasi apartheid dengan impunitas penuh di tengah kelambanan dan standar ganda internasional.
LSM MIFTAH menekankan, terlepas dari seruan selama puluhan tahun oleh Palestina dan laporan oleh sebagian besar organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) terkemuka, dunia tetap diam tentang pendudukan militer terpanjang dalam sejarah modern.
“Sebagai kekuatan pendudukan, Israel terus menerus melanggar hukum internasional selama 55 tahun pendudukan ilegalnya”, kata LSM itu.
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir
MIFTAH mendesak masyarakat internasional untuk menempatkan Israel pada standar yang sama dengan negara-negara lain dan meminta pertanggungjawabannya atas kejahatan yang terus-menerus dan pelanggaran hak asasi manusia melalui langkah-langkah yang efektif dan konkret, mengakhiri pendudukan Israel di tanah Palestina.
Namun yang jelas, tanpa terlalu berharap pada diam dan lambannya dunia internaional, perjuangan perlawanan rakyat dan bangsa Palestina terhadap pendudukan terus berlanjut, bahkan smeakin maju menghadang pendudukan.
Kegiatan masyarakat sipil terus bergerak seperti pembentukan Gerakan Perlawanan Islam (Harakah Muqawwamah al-Islamiyyah / Hamas) di akhir tahun 1987, perlawanan Intifadhah Pertama (1987-1993), dan disusul Intifadhah Kedua (2000).
Hingga terkini munculnya para penjaga Al-Aqsa (Murabithun dan Murabithat) dan inisiatif pertempuran Pedang Yerusalem (Saif al-Quds) yang mengguncang pasukan pendudukan. Tak terkecuali rontoknya sistem perlindungan tercanggih Iron dome oleh roket-roket buatan para pejuang dari Jalur Gaza.
Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih
Ditambah semakin kencangnya suara-suara perlawanan dari lembaga-lembaga hak asasi manusia dan lembaga kepalestina di mancanegara, wabil khusus di Indenesia. Itu semua semakin menunjukkan kemajuan signifikan dari perjuangan Palestina.
Hingga pasukan pendudukan pun dengan ketakutannya membunuh seorang wartawati Al Jazeera kelahiran Palestina berpaspor Amerika Serikat, Shireen Abu Akleh.
Belum lagi aksi-aksi gowes sepeda dan longmarch Cinta Al-Aqsa, pengibaran bendera Palestina simbol kemerdekaan negara Palestina, penerbitan Buku Masjidil Aqsa Tanggung Jawab Seluruh Umat Islam, kiprah seniman mulai dari penyanyi, pemain film, pelukis hingga pembaca puisi, dan aksi boikot atlet olahraga.
Itu semua tanda-tanda kemajuan perjuangan Palestina dan Al-Aqsa. Allahu Akbar. Al-Aqsa Haqquna !!! (A/RS2/P1 )
Baca Juga: Israel Makin Terisolasi di Tengah Penurunan Jumlah Penerbangan
Mi’raj News Agency (MINA)