Tanggal 5 Juni 2025 menandai 58 tahun Hari Naksah (Yaum an-Naksah atau Naksa Day), 5 Juni 1967.
Hari Naksah Palestina yang berarti “hari kemunduran” bagi bangsa Palestina. Ini mengacu pada kekalahan pasukan gabungan beberapa negara Arab saat menghadapi pasukan pendudukan zionis Israel.
Hari Naksah Palestina dianggap sebagai hari kemunduran, lebih tragis dari Hari Nakbah (Yaum An-Nakbah atau Nakba Day), pengusiran ratusan ribu warga Paelstina tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah pengumuman sepihak Negara Israel, 14 Mei 1948.
Dalam Perang Enam hari, mulai 5 hingga 10 Juni 1967 itu, sebenarnya negara-negara Arab bersatu hendak mempertahankan bumi Palestina. Negara-negara itu terdiri dari Mesir, Suriah, Yordania dan Irak, dengan bantuan teknis dari Lebanon, Aljazair, Arab Saudi, Kuwait, dan tentu para pejuang Palestina.
Baca Juga: Siapa Putra Nabi Ibrahim yang Disembelih?
Saat itu Mesir bertanggung jawab atas Jalur Gaza. Sementara Yordania bertanggung jawab atas Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.
Isu Palestina mewakili elemen penting dalam konflik Arab-Israel kala itu, yang diwujudkan dalam perang ini, untuk menjaga wilayah Palestina yang tidak diduduki oleh Israel pada tahun 1948.
Kini, peringatan 58 tahun Hari Naksa, ditandai dengan kondisi keprihatinan yang mendalam bagi rakyat Palestina. Rakyat Palestina mengenang pendudukan Israel di bagian timur dari sisa-sisa Yerusalem pada tahun 1967, termasuk Kota Tua dan, di pusatnya, Masjid Al-Aqsa yang diberkahi.
Sejak saat itu, pasukan pendudukan Israel tanpa henti berusaha mengubah karakter Arab dan Islam di Yerusalem yang diduduki, sebagai bagian dari yahudisasi yang sedang berlangsung untuk lebih jauh menguasai kota, menjajah, dan mendominasi tanah dan rakyat.
Baca Juga: Keutamaan Puasa Arafah Dapat Menghapus Dosa Dua Tahun
Selama 58 tahun terakhir, pemerintah pendudukan Israel mengendalikan Kota Yerusalem (Al-Quds) melalui pembongkaran, pemindahan paksa, pencabutan kartu identitas warga, perubahan kurikulum pendidikan, pemalsuan sejarah, dan penindasan harian yang terus berlanjut di sekitar Masjid Al-Aqsa dan di lingkungan Kota Tua.
Meskipun demikian, warga Yerusalem tetap bertahan, dan kehadiran mereka di dalam kota telah menjadi simbol konfrontasi dan perlawanan.
Penasihat Gubernur Yerusalem, Marouf al-Rifai, mengatakan bahwa saat ini, setelah 58 tahun pendudukan, kota Yerusalem mengalami perang multi-front yang melibatkan pendidikan, identitas, demografi, dan tempat-tempat suci Islam dan Kristen.
Ia menambahkan bahwa pengakuan Amerika Serikat terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada tahun 2018 memberikan dorongan kuat bagi proyek-proyek Yahudisasi besar, khususnya yang terkait dengan penguasaan lahan dan aneksasi daerah pinggiran kota dalam apa yang dikenal sebagai “Proyek Yerusalem Raya.”
Baca Juga: Hikmah Wukuf di Arafah, Semua Sama Yang Membedakan Hanyalah Takwa
Ia menunjukkan bahwa Israel bermaksud untuk menghancurkan sekitar 32.000 rumah Palestina di Yerusalem, 600 di antaranya telah dihancurkan sejak dimulainya agresi di Gaza pada Oktober 2023, yang menunjukkan eskalasi berbahaya dalam kebijakan penggusuran dan pemindahan paksa. Ia mengungkap keberadaan 27 permukiman Israel di Kegubernuran Yerusalem pada tahun 2022, yang berupaya memecah belah tatanan geografis dan demografi Arab, yang bertujuan untuk mengurangi persentase warga Palestina menjadi kurang dari 20% dari populasi kota.
Gubernur al-Rifa’i menambahkan bahwa pendudukan Israel mengintensifkan penggerebekan di Masjid Al-Aqsa, dengan partisipasi menteri, anggota Knesset, dan pemimpin kelompok Kuil Yahudi, di tengah upaya berulang kali untuk mengubah status quo di dalam kompleks Masjid Al-Aqsa.
Ratiba al-Natsheh, Sekretaris Komite Aksi Sipil dan Nasional di Yerusalem, menegaskan bahwa pendudukan Israel menggunakan segala cara yang dimilikinya untuk mengosongkan kota dari penduduk aslinya, melalui penganiayaan keamanan, penangkapan, deportasi, pembongkaran rumah secara sistematis, dan penargetan ekonomi terhadap bisnis dan proyek Palestina.
Al-Natsheh menyatakan bahwa telah terjadi eskalasi pembongkaran yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak dimulainya agresi di Gaza, Oktober 2023, meningkat sebesar 140% dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ini merupakan tambahan dari penangkapan hampir 6.000 warga Yerusalem, termasuk anak-anak, wanita, dan pemimpin masyarakat serta agama, yang banyak di antaranya telah diusir dari rumah mereka atau dari Masjid Al-Aqsa.
Pendudukan secara sistematis juga telah menargetkan pendidikan Palestina di Yerusalem. Lisensi beberapa sekolah telah dicabut, otoritas pendudukan telah memberlakukan kurikulum yang menyimpang yang mendistorsi narasi Palestina, dan melarang pengajaran mata pelajaran yang terkait dengan Nakba atau sejarah nasional Palestina.
Sementara itu, Israel terus membangun sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan pemerintah Israel, yang bertujuan untuk meng-Israel-kan pendidikan dan menanamkan konsep pendudukan dalam benak siswa.
Di Masjid Al-Aqsa, kamera pintar dan sidik jari biometrik telah dipasang di gerbangnya, dan para pemukim mulai masuk melalui Gerbang Mughariba dan keluar melalui Gerbang Rahmah, sebagai bagian dari rencana untuk mengubah rute tradisional yang digunakan untuk penyerbuan.
Bulan Mei lalu, warga menyaksikan penyerbuan Masjid Al-Aqsa oleh lebih dari 7.000 pemukim, jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pendudukan kota tersebut.
Baca Juga: Kubur Tak Butuh Status, Tapi Amalan Tulus
“Pawai Bendera” yang provokatif diselenggarakan di dalam kompleks Al-Aqsa, pertama kalinya tindakan seperti itu terjadi. Ini mengungkapkan niat yang direncanakan sebelumnya untuk memaksakan pembagian temporal dan spasial kompleks tersebut.
Kelicikan Perang Israel
Adapun penyebab kemunduran atau kekalahan, menurut Departemen Diplomasi dan Kebijakan Publik Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), seperti disebutkan media online Arab48, edisi Ahad, 5 Juni 2022, kekalahan Arab dalam perang disebabkan oleh beberapa alasan.
Di antaranya yang paling menonjol adalah: keunggulan militer pasukan pendudukan Israel, terutama di angkatan udara, yang disokong Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, baik dukungan militer maupun ekonomi. Alasan lainnya, intensifnya lobi-lobi politik yang licik yang dilakukan Zionis internasional ke negara-negara di kawasan Eropa.
Baca Juga: Percuma Cerdas Bila Tak Beradab: Rahasia Ilmu yang Tak Pernah Sampai ke Hati
Saat perang siap bergerak, Eropa melalui pemerintah Perancis meminta Israel dan negara-negara Arab, Mesir, Suriah, dan Yordania, untuk tidak berperang dan agar menghentikan persiapan militer.
Sebelum Perang Enam Hari 5-10 Juni 1967, situasi Palestina dan sekitarnya memang sedang genting dan mulai ada konfrontasi bersenjata di beberapa tempat.
Mendengar seruan Eropa melalui pemerintah Perancis, negara-negara Arab rupanya mematuhi seruaan itu, demi terciptanya perdamaian kawasan. Namun apa yang terjadi? Pimpinan militer zionis Israel, dengan dukungan Amerika Serikat, rupanya memanfaatkan kelengahan negara-negara Arab tersebut untuk melakukan serangan mendadak pada dini hari tanggal 5 Juni 1967.
Israel memulai serangannyya dengan meluncurkan serangan udara besar-besaran dan tiba-tiba, di bandara militer Mesir, Suriah, dan Yordania. Ini memungkinkan penerbangan militer zionis Israel mengontrol udara selama perang.
Baca Juga: Ketika Shalat Tak Menyentuh Jiwa
Aksi sepihak ini membuat pasukan negara-negara Arab kehilangan keseimbangan dan menyebabkan kerugian besar di jajaran tentara mereka.
Akibat tragisnya, antara 15.000 sampai 25.000 orang Arab tewas dalam perang itu, dengan sekitar 45 ribu terluka. Sementara hanya sekitar 650 hingga 800 prajurit Israel tewas, dan 2.000 terluka. Demikian data Anadolu Agency menyebutkan.
Akibat lain dari perang itu, menurut statistik Palestina, adalah pengungsian sekitar 300.000 warga Palestina dari Tepi Barat dan Jalur Gaza ke pengungsian Yordania.
Usai perang enam hari itulah, pendudukan zionis Israel semakin memperluas daerah jajahannya, dengan menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai (Mesir) dan Dataran Tinggi Golan (Suriah).
Baca Juga: Membangun Rumah Tangga Tanpa Drama
Setelah zionis Israel menjarah daerah yang didudukinya sejak 1967 itu, mereka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi wilayah teersebut.
Selain itu, daerah-daerah yang diduduki oleh zionis Israel juga memberi keuntungan strategis yang penting di tingkat pertahanan. Ini karena dapat membentuk penghalang alami untuk melindungi kedalaman keamanannya dari serangan Arab atau Palestina.
Perlawanan Tak Pernah Padam
Peristiwa Hari Naksah Palestina (5 Juni 1967), seperti juga Hari Nakbah (15 Mei 1948), setiap tahun akan selalu diingat dan diperingati generasi Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, pengungsian dan diaspora, serta para aktivis kemanusiaan di negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Amerika Latin.
Baca Juga: Berqurban, Amalan Utama pada Bulan Dzulhijjah
Aksi perlawanan bersenjata, kini mulai marak di berbagai kota dan desa di Tepi Barat. Dari Jalur Gaza, roket-roket terkini, terus siaga siap menyala menerobos Iron Dome ke pemukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan Palestina. Terutama setelah serangan mendadak “Operasi Badai Al-Aqsa” sejak tanggal 7 Oktober 2023 lalu.
Para penjaga Masjid Al-Aqsa, baik dari kalangan laki-laki (Murabithun) maupun perempuan (Murabithat) selalu on time siaga setiap waktu menghadang para pemukim Yahudi ekstremis yang seringkali menyerbu kompleks Al-Aqsa dalam kawalan pasukan pendudukan. Termasuk aksi menghadang Pawai Bendera Israel yang berlangsung bertepatan dengan tanggal 5-10 Juni ini.
Aksi-aksi solidaritas pun terus merebak di berbagai belahan dunia, dari negara-negara di kawasan utara hingga selatan, timur hingga ke barat. Bahkan aksi-aksi mahasiswa di jantung kota-kota negara yang notabene mendukung zionis Israel. Sebut saja di London (Inggris), Paris (Perancis), New York (Amerika Serikat), Den Haag (Belanda), Berlin (Jerman), Madrid (Spanyol), Dublin (Irlandia), Oslo (Norwegia), dan kota-kota utama lainnya di Amerika Latin (sebut saja Argentina, Brazil dan Chile).
Pendudukan zionis Israel sendiri hakikatnya semakin terjepit dan terisolasi di pentas diplomasi politik dunia. Ini akibat zionis Israel sendiri yang tidak menerima logika perdamaian, ggencatan senjata, menolak resolusi-resolusi PBB, menentang piagamnya, dan melanggar prinsip-prinsipnya.
Baca Juga: Teruslah Bersuara untuk Palestina: Membela Palestina adalah Jihad dan Ladang Amal Shalih
Tinggal kancah politik dalam negeri Palestina itu sendiri, yang harus semakin memperkuat rekonsiliasi antara faksi-faksi. Momentumnya sekarang, pada saat Hari Naksah Palestina 2025-1967, ketika segala situasi sangat memungkinkan menghadang zionis Israel.
Walaunpun Naksah berarti Mundur, tapi perjuangan kemerdekaan Palestina dan pembebasan Masjid Al-Aqsa tidak boleh dan tidak akan pernah mundur, sejengkalpun.
Suara-suara aktivis, penyair, intelektual, politikus hingga ulama dan mahasiswa, yang progresif dan revolusioner, menyebarkan harapan dan optimisme masa depan Palestina.
Selama kekuatan iman dan ketabahan jiwa masih bersemayam kuat di dalam dada para pejuang dan pendukung mereka, maka gugurnya puluhan ribu para syuhada dan hancurkan bangunan fisik infrastuktur, tidak akan menggoyahkan cita-cita mulia sebuah kemerdekaan dari penjajahan.
Mengutip penyair perlawanan Tawfiq Ziyad yang mengatakan dalam puisinya tentang agresi, “Kami tidak akan pernah tunduk pada api dan baja. Sehelai rambutpun ! Betapa dahsyatnya bencana ini dan seberapa besar dampaknya. Kekhawatiran itu pun mundur satu langkah, tapi untuk maju sepuluh ke depan !”.
Tentu saja, dukungan penuh dari rakyat dan bangsa Indonesia yang tak pernah padam. Walaupun secara geografis Indonesia jaraknya ribuan kilometer, tetapi pemerintahnya tetap kokoh mendukung Palestina, tidak seperti para emir negara-negara Arab yang menjalin normalisasi dengan bangsa pembunuh, Zionis.
Terhadap bangsa penjajah Zionis, tidak ada kata lain kecuali “Lawan!”. []
Mi’raj News Agency (MINA)