PADA 5 Juni 1967, dunia menyaksikan lembar baru luka sejarah Palestina: Naksa, kemunduran tragis ketika penjajah Zionis Israel menduduki Yerusalem Timur serta wilayah Arab lainnya dalam Perang Enam Hari. Hanya berselang 19 tahun dari tragedi Nakba 1948, rakyat Palestina kembali mengalami perampasan tanah dan hak yang kian parah.
Namun peringatan Naksa hari ini bukan sekadar mengenang masa lalu. Ia menjadi alarm keras tentang bahaya baru: penodaan berulang terhadap Masjid Al-Aqsa dan agresi genosida berdarah yang terus berlangsung di Gaza. Ini bukan sekadar konflik, ini adalah fase lanjutan dari kolonialisme modern yang mengancam eksistensi Palestina dan mengguncang nurani kemanusiaan global.
Al-Aqsa di Bawah Bayang Yahudisasi
Masjid Al-Aqsa, situs suci ketiga dalam Islam dan titik sakral Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, kini menjadi sasaran operasi sistematis yang disebut “Yahudisasi Al-Quds.”
Baca Juga: Haji untuk Palestina
Selama tiga tahun terakhir, lebih dari 15.000 pemukim ekstremis Israel, di bawah perlindungan militer, menyerbu kompleks Al-Aqsa setiap tahun, melaksanakan ritual Yahudi secara terbuka dan provokatif, mulai dari meniup shofar, sujud ala Taurat, hingga mengibarkan bendera Israel di pelataran masjid, yang seharusnya dilarang keras di wilayah yang diakui sebagai milik eksklusif umat Islam.
Ini bukan sekadar pelanggaran, tapi strategi jangka panjang untuk mengubah status hukum dan spiritual Al-Aqsa, menuju pembagian waktu dan ruang antara Muslim dan Yahudi. Tujuan akhirnya: pembangunan “Haikal Ketiga” di atas reruntuhan masjid. Agenda tersebut tidak hanya mengancam kesucian Islam, tapi juga memicu potensi perang agama terbuka di kawasan.
Dukungan terhadap proyek tersebut datang dari elit politik Israel, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir yang terang-terangan menyerukan pendirian sinagoga di dalam kompleks Al-Aqsa, sebuah provokasi yang disponsori otoritas dan diamini oleh hukum domestik Israel.
Sementara penjajahan fisik Yerusalem Timur dimulai pada 1967. Namun kini, di 2025, kita menyaksikan fase penjajahan arsitektural dan spiritual. Terowongan bawah tanah digali di sekitar kompleks Al-Aqsa, dengan tujuan melemahkan fondasi masjid dan mengubah realitas topografi kota suci.
Baca Juga: Teladan Nabi Ibrahim dalam Cahaya Idul Adha
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan baru-baru ini dilaporkan meninjau langsung terowongan itu, mengirim pesan provokatif sekaligus simbolis bahwa proyek tersebut mendapat restu politik tertinggi.
Tak hanya itu, pada pekan peringatan Naksa, ribuan pemukim Israel merayakan “Hari Bendera” dengan pawai rasis di Kota Tua Yerusalem, menyerukan: “Matilah orang Arab!” dan “Gaza milik kami!” Kawasan Muslim ditutup, dan Al-Aqsa kembali menjadi target penodaan dalam parade kebencian yang disokong otoritas. Ini bukan sekadar parade, ini adalah unjuk kekuatan supremasi Zionis.
Al-Aqsa Garis Merah Kian Dilanggar
Masjid Al-Aqsa telah lama dideklarasikan sebagai “garis merah” oleh dunia Islam. Namun garis ini kini dilanggar berulang kali. Bahkan Itamar Ben Gvir pernah memasuki pelataran Al-Aqsa dengan pengawalan resmi, sembari menyuarakan pendirian sinagoga Yahudi di area suci umat Islam.
Baca Juga: Ketika Orang-orang Bodoh Syariat Bercanda Tentang Neraka
Bahkan gerakan perlawanan Palestina yang dikomadoi Hamas sudah menyatakan agresi terhadap Al-Aqsa adalah penyebab utama eskalasi perlawanan. Al-Aqsa bukan sekadar simbol, ia adalah identitas dan garis batas iman.
Setiap agresi terhadap Masjid Al-Aqsa hampir selalu diikuti dengan serangan brutal ke Gaza. Operasi Gerakan Perlawanan “Pedang Al-Quds” pada 2021 dan “Taufan Al-Aqsa” pada 2023 membuktikan keterkaitan itu. Al-Aqsa dilanggar, Gaza membalas, Israel merespons dengan serangan masif. Ini adalah pola tiga tahap: provokasi, perlawanan, lalu agresi berdarah.
Mengapa Gaza? Karena Gaza adalah simbol penolakan terhadap normalisasi pendudukan. Karena Gaza berdiri sebagai benteng terakhir pembela Al-Aqsa. Karena bagi warga Gaza, mempertahankan kesucian Al-Aqsa adalah bagian dari iman, bukan semata agenda politik.
Masjid Al-Aqsa adalah garis merah. Ia bukan sekadar situs bersejarah, tapi lambang kesatuan spiritual umat Islam. Setiap penodaan terhadapnya adalah penghinaan terhadap harga diri miliaran manusia yang mencintai keadilan. Maka diam bukan pilihan.
Baca Juga: 58 Tahun Hari Naksah Palestina, Perlawanan Tak Pernah Padam
Dunia Diam, Kemanusiaan Gagal
Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) telah mengakui Masjid Al-Aqsa sebagai warisan budaya Islam sejak 2016. Namun pelanggaran terus berulang. Resolusi Dewan Keamanan PBB tak pernah dijalankan. Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, justru menjadi penyokong utama penjajah Zionis Israel, baik secara finansial maupun diplomatik.
Ketika pelanggaran hak asasi manusia dilegitimasi negara dan didukung kekuatan global, maka diamnya dunia internasional bukan lagi netralitas, melainkan bentuk partisipasi.
Al-Aqsa bukan sekadar bangunan tua di atas bukit. Ia adalah kiblat pertama, saksi sejarah Nabi, dan simbol spiritual umat Islam sedunia. Setiap pelanggaran terhadapnya adalah penghinaan terhadap identitas kolektif miliaran manusia.
Baca Juga: Siapa Putra Nabi Ibrahim yang Disembelih?
Kini, dalam peringatan 58 tahun Naksa, kita tak boleh lagi netral. Ini bukan semata konflik politik, ini adalah ujian zaman. Apakah kita akan mencatat sejarah sebagai generasi yang diam saat Masjid Al-Aqsa dihina dan Gaza dihancurkan? Ataukah kita menjadi bagian dari gelombang perlawanan yang bermartabat?
Saatnya Bertindak, Bukan Hanya Simbolik
Sudah terlalu lama dunia hanya menyaksikan, bahkan terjebak dalam simbolisme belaka, sementara rakyat Palestina, terutama di Gaza dan penjaga Masjid Al-Aqsa, terus menjadi korban kekejaman sistematis yang didukung oleh kekuatan ekonomi dan militer penjajah Zionis Israel. Kini, penulis menyerukan serangkaian langkah konkret dan terukur yang harus diambil oleh masyarakat internasional, khususnya umat Islam dan bangsa-bangsa yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan.
Pertama, boikot global harus digencarkan, bukan hanya sebagai pilihan konsumen, tapi sebagai sikap politik dan moral. Produk, institusi, serta entitas ekonomi yang mendanai dan mendukung penjajahan Israel harus dihentikan aliran dananya. Boikot ini tidak hanya mencerminkan keberpihakan pada keadilan, tetapi juga menekan langsung kekuatan ekonomi yang menopang rezim kolonial modern tersebut.
Baca Juga: Keutamaan Puasa Arafah Dapat Menghapus Dosa Dua Tahun
Kedua, tekanan diplomatik dari negara-negara anggota OKI, Liga Arab, dan negara-negara sahabat Palestina harus lebih dari sekadar pernyataan. Hubungan bilateral dengan Israel perlu ditinjau ulang secara serius, jika perlu, ditangguhkan atau diputus. Normalisasi yang tidak berlandaskan keadilan hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
Ketiga, dunia Islam dan komunitas internasional wajib memberikan dukungan finansial dan logistik secara berkelanjutan kepada warga Gaza yang terisolasi dan para Murabitun, penjaga Al-Aqsa yang menjadi tameng terakhir dari penghinaan dan perusakan situs suci umat Islam. Bantuan ini harus diorganisir secara transparan, cepat, dan tepat sasaran.
Keempat, kita membutuhkan kampanye media internasional yang massif dan terkoordinasi untuk membongkar narasi palsu yang disebarluaskan oleh propaganda Zionis. Dunia harus tahu bahwa penjajahan bukanlah “hak bela diri”, dan bahwa perlawanan bukanlah “terorisme”. Ini saatnya membangun arus balik opini publik global.
Kelima, semua pelaku kejahatan perang harus dibawa ke pengadilan internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ) mesti didesak untuk mengusut dan mengadili pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan genosida, dan perusakan situs warisan dunia yang terjadi di Gaza, Tepi Barat, dan kompleks Masjid Al-Aqsa. Dunia tidak boleh lagi mengabaikan impunitas.
Baca Juga: Hikmah Wukuf di Arafah, Semua Sama Yang Membedakan Hanyalah Takwa
Terakhir, suara para ulama dan mimbar Jumat harus bersatu menyerukan solidaritas terhadap Palestina dan pembebasan Al-Aqsa. Fatwa-fatwa yang tegas, khutbah-khutbah yang membangkitkan kesadaran umat, dan doa-doa yang menyatu dengan tindakan nyata akan menjadi senjata moral yang luar biasa dahsyat.
Inilah saatnya mengubah air mata menjadi aksi, dan solidaritas menjadi strategi. Jika dunia tetap diam, maka sejarah akan mencatat: kita pernah hidup di masa genosida, dan kita memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Tapi jika kita bergerak bersama hari ini, maka masa depan akan mengenang kita sebagai generasi yang berdiri di sisi kemanusiaan, ketika kebiadaban ingin menjadi norma.
Masjid Al-Aqsa adalah ujian zaman kita. Jika kita gagal membelanya, maka sejarah akan mencatatnya sebagai Nakbah kedua, penghapusan Palestina secara menyeluruh dari peta sejarah dan nurani dunia.
Semoga sejarah justru mencatat bahwa kita pernah berdiri, bersuara, dan berjuang, bukan hanya sebagai Muslim, tetapi sebagai manusia. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kubur Tak Butuh Status, Tapi Amalan Tulus