DI ERA serba digital ini, ketika kecerdasan buatan (AI) mampu menjawab pertanyaan dalam hitungan detik, menggubah teks dakwah dengan bahasa indah, bahkan meniru gaya bicara seorang ulama, ada bahaya besar yang mengintai para da’i: kehilangan ruh dakwah yang sejati.
Dakwah bukan sekadar menyusun kata-kata atau merangkai data, melainkan pancaran iman, keikhlasan, dan keteladanan hidup. Bila da’i terjebak pada teknologi tanpa menyandarkan hati pada Allah, dakwahnya bisa gersang, kering, dan tak lagi menyentuh jiwa.
Inilah tantangan besar bagi para da’i era AI—bagaimana tetap menjaga kemurnian niat, keteguhan ilmu, dan cahaya akhlak, agar pesan dakwah tidak kehilangan makna di tengah derasnya arus modernisasi. Berikut enam hal yang perlu diperhatikan agar tidak terjatuh dalam kesalahan fatal.
- Mengandalkan AI Tanpa Tadabbur dan Ilmu
Banyak da’i era digital terlalu bergantung pada kecerdasan buatan untuk menyusun materi ceramah. Padahal AI hanyalah alat bantu, bukan sumber kebenaran absolut. Jika seorang da’i tidak men-tadabburi Al-Qur’an, hadis, serta memperdalam keilmuan secara langsung kepada ulama, maka dakwahnya rawan dangkal, bahkan salah kaprah.
Baca Juga: Fenomena Muslim Abangan: Cinta Budaya, Lupa Syariat
Allah berfirman,“Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. An-Nisa: 82).
- Copy-Paste Dakwah Tanpa Ruh
Sebagian da’i hanya menyalin teks dari internet atau AI tanpa menghidupkan ruh dakwah. Akibatnya, ceramah menjadi kaku, tidak menyentuh hati, dan kehilangan kehangatan spiritual. Dakwah bukan sekadar teks indah, tapi pancaran iman dan akhlak dari hati yang ikhlas. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya…” (HR. Bukhari-Muslim).
- Mengabaikan Tabayyun dan Validitas Data
Era AI penuh dengan hoaks dan informasi manipulatif. Jika da’i menyampaikan materi tanpa tabayyun (klarifikasi), maka ia bisa menyebarkan kesalahan besar. Al-Qur’an mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…” (Qs. Al-Hujurat: 6).
Tanpa tabayyun, dakwah bisa berubah menjadi penyebar fitnah.
- Mengutamakan Popularitas, Melupakan Amanah
Di era digital, da’i sering tergoda mengejar viewer, subscriber, dan viralitas. Mereka sibuk dengan algoritma media sosial, tapi melupakan algoritma akhirat: ikhlas dan amanah. Padahal Allah menegaskan, “Dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit…” (Qs. Al-Baqarah: 41).
Baca Juga: Awal Kebinasaan: Merasa Diri Tanpa Cacat
Popularitas tanpa amanah adalah jebakan berbahaya.
- Menyampaikan Ilmu Tanpa Hikmah
AI bisa memberikan data, tapi tidak bisa menanamkan hikmah. Da’i yang hanya membaca data mentah tanpa pendekatan hikmah akan gagal menyentuh hati mad’u (objek dakwah). Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (Qs. An-Nahl: 125).
Hikmah lahir dari pengalaman, keikhlasan, dan kesungguhan mendidik, bukan sekadar hasil generate mesin.
- Melupakan Peran Keteladanan
Kesalahan paling fatal adalah da’i yang hanya cerdas menyusun materi dari AI tapi lalai mencontohkan akhlak mulia. Dakwah terbesar Rasulullah SAW bukanlah teks, melainkan keteladanan hidup. Jika da’i era AI pandai bicara tapi buruk akhlak, maka dakwahnya akan runtuh. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad).
Baca Juga: Pascaserangan Israel ke Qatar, Akankah Kantor Hamas Ditutup?
AI adalah alat yang bisa membantu dakwah, tetapi bukan pengganti iman, ilmu, dan akhlak. Jika seorang da’i jatuh pada enam kesalahan fatal ini, dakwahnya bisa kehilangan ruh, bahkan menjerumuskan umat. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan: memanfaatkan teknologi, namun tetap berpijak pada wahyu, ilmu yang sahih, dan keteladanan hidup.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dari Gaza ke Qatar, Watak Asli Penjajah Zionis Terbongkar