SAAT langit Gaza merah membara oleh bom dan genosida yang dialakuan Zionis Israel, dunia menoleh dan bertanya: di mana Presiden Palestina Mahmoud Abbas? Suara tangis anak-anak, reruntuhan rumah, dan jasad syuhada berserakan, tapi tak terdengar satu seruan lantang dari sang pemimpin tertinggi.
Ketika rakyat Gaza menjerit meminta keadilan, pemimpin mereka seakan tenggelam dalam diam yang menusuk. Ini bukan sekadar ketidakhadiran, ini adalah luka yang menganga dari sosok yang seharusnya berdiri paling depan.
Mahmoud Abbas, presiden Otoritas Palestina sejak 2005, seharusnya menjadi simbol kekuatan dan harapan bagi bangsanya. Namun dalam konflik Gaza yang terus membara sejak 7 Oktober 2023, perannya justru nyaris tak terlihat. Dunia mencatat aksi solidaritas dari rakyat biasa, relawan kemanusiaan, hingga pemimpin negara lain, tapi Abbas tetap bungkam atau mengeluarkan pernyataan dingin tanpa aksi nyata. Rakyat Palestina terluka bukan hanya oleh rudal Israel, tapi oleh diamnya pemimpin mereka sendiri.
Yang lebih menyakitkan, Abbas justru lebih aktif menghadiri forum internasional yang penuh protokoler dan kesan diplomatik kosong. Saat anak-anak Gaza dihancurkan senjata, sang presiden hadir di forum-forum Eropa berbicara tentang “proses damai” yang sudah lama mati. Ia bahkan mengutuk serangan 7 Oktober oleh Hamas lebih tegas daripada mengutuk genosida yang dilakukan Israel. Sikap ini dianggap sebagian besar rakyat Palestina sebagai pengkhianatan terhadap penderitaan mereka.
Baca Juga: Rumah Ramah Gempa, Ikhtiar Membangun Hunian Aman di Negeri Rawan Bencana
Berdasarkan laporan Al Jazeera dan The Guardian, Abbas tidak memiliki otoritas langsung atas Gaza karena sejak 2007, wilayah itu dikuasai oleh Hamas. Tapi bukankah dia adalah Presiden seluruh Palestina? Apakah itu alasan yang cukup untuk diam ketika lebih dari 35 ribu warga Gaza, sebagian besar wanita dan anak-anak, syahid? Bukankah darah mereka seharusnya mengalir dalam nadinya sebagai panggilan amanah?
Konflik politik antara Fatah (partai Abbas) dan Hamas memang menjadi batu sandungan lama. Tapi pada saat Gaza dihancurkan, rakyat tidak peduli pada perpecahan partai—mereka hanya ingin seorang pemimpin yang berdiri bersama mereka. Dalam situasi seperti ini, diam adalah bentuk pembiaran. Dan pembiaran terhadap genosida adalah kejahatan moral yang tak terampuni.
Data dari PBB, Amnesty International, dan Human Rights Watch menunjukkan bahwa kejahatan perang telah dilakukan Israel di Gaza. Tapi tidak terdengar satu pun desakan keras dari Abbas untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional secara aktif dan agresif. Yang ada hanyalah retorika diplomatik kosong, jauh dari semangat seorang pemimpin yang menuntut keadilan. Dunia menunggu, tapi Abbas tetap memilih diam yang menyakitkan.
Rakyat Palestina sendiri sudah banyak yang kecewa. Di Ramallah, Nablus, dan Hebron—wilayah yang seharusnya di bawah kendali Otoritas Palestina—aksi demonstrasi mengecam Abbas sempat terjadi. Mereka merasa dikhianati oleh pemimpin yang seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan menjalin diplomasi dingin dengan penjajah. Mereka ingin pemimpin yang berani, bukan hanya berumur panjang dalam kekuasaan.
Baca Juga: Rojali dan Rohana, Lelucon Getir di Negeri Konoha
Ketika media internasional menyoroti penderitaan Gaza, Abbas justru menjadi bayang-bayang. Tidak ada tindakan konkret, tidak ada kunjungan ke perbatasan Rafah, tidak ada mobilisasi diplomasi besar-besaran. Sementara pemimpin negara lain seperti Presiden Bolivia, Presiden Turki, hingga Presiden Kolombia bersuara keras, Abbas seolah tidur panjang di tengah derita rakyatnya. Ini bukan sekadar absen secara fisik, tapi juga absen secara moral.
Alasan Pilu yang Mengerdilkan Jiwa
Beberapa analis politik menyebutkan bahwa Abbas sengaja diam karena takut kehilangan legitimasi internasional dari negara-negara Barat. Ia khawatir jika terlalu pro-Gaza atau terlalu keras terhadap Israel, dukungan finansial dan politik dari AS dan Eropa akan dicabut. Tapi harga dari strategi diam ini adalah darah ribuan anak Gaza. Apakah kekuasaan sepadan dengan nyawa?
Abbas juga dinilai terlalu fokus menjaga hubungan baik dengan Israel dan Amerika, bahkan disebut oleh sebagian pihak sebagai “presiden boneka” yang tidak lagi mewakili semangat perlawanan. Dalam dokumen bocoran diplomatik yang diungkap Wikileaks, Abbas disebut lebih mementingkan kestabilan politik dibanding perjuangan kemerdekaan. Padahal rakyat Palestina tidak ingin kestabilan dalam penjajahan—mereka ingin kebebasan dan martabat.
Baca Juga: Mari Merawat Ukhuwah Islamiyah
Saat rakyat Palestina menyaksikan keluarga mereka hancur oleh bom, yang mereka harapkan adalah pemimpin yang menangis bersama mereka. Pemimpin yang berdiri di garis depan, bukan hanya duduk di meja-meja konferensi sambil menunduk. Pemimpin yang bisa berkata “cukup” kepada penjajahan, bukan hanya “kami prihatin”. Tapi sayangnya, itu bukan yang mereka dapat dari Mahmoud Abbas.
Sudah saatnya dunia Islam juga bersuara soal diamnya Abbas. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menggugah nuraninya agar sadar bahwa jabatan itu adalah amanah besar, bukan sekadar simbol kekuasaan. Seorang presiden tidak boleh abai ketika darah rakyatnya mengalir di jalanan. Ia seharusnya menjadi garda terdepan yang membela, bukan yang bersembunyi di balik tirai diplomasi.
Gaza tidak hanya butuh bantuan logistik atau doa, tapi juga keberanian politik dari pemimpin-pemimpin Palestina sendiri. Jika Abbas terus diam, maka sejarah akan mencatatnya bukan sebagai pemersatu bangsa, melainkan sebagai simbol kekecewaan. Rakyat butuh pemimpin yang berdiri bersama mereka, bukan yang berdiri di antara mereka dan penjajah. Dunia menuntut keadilan, tapi lebih dulu, rakyat Palestina menuntut keberanian dari pemimpinnya.
Ketika kita melihat foto anak-anak Gaza yang tewas dalam pelukan ibunya, kita bertanya dalam hati: adakah yang menangisi mereka dari istana kepresidenan di Ramallah? Ataukah semua ini hanya angka statistik yang tak menggugah hati pemimpin? Dunia sudah terlalu lama melihat Abbas tidak bertindak, dan kini waktunya perubahan. Jika pemimpin tidak bisa bersuara untuk rakyatnya, maka rakyat yang akan bersuara untuk menggantinya.
Baca Juga: Suara dari Monas Jakarta untuk Gaza Terbebas dari Genosida
Palestina tidak akan mati, karena semangat rakyatnya terus hidup. Tapi sejarah tidak akan melupakan siapa yang berdiri dan siapa yang berdiam. Kepemimpinan sejati lahir di tengah krisis, bukan di balik meja-meja rundingan kosong. Dan kini, sejarah sedang menulis bab yang kelam tentang seorang presiden yang diam saat Gaza dibakar.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Genosida Kelaparan di Gaza sebagai Senjata Pembunuhan Massal