DI ERA serba digital, dunia seperti berada di genggaman tangan. Anak-anak tumbuh dalam lautan informasi yang deras, namun tak semua arusnya membawa kebaikan. Orang tua kini bukan hanya mendidik, tapi juga menjadi penjaga gerbang moral di tengah banjir teknologi. Jika lengah, satu klik saja bisa merenggut masa depan buah hati.
Gadget yang dulu hanya alat komunikasi, kini menjadi pintu ke segala dunia. Anak bisa belajar ilmu bermanfaat, namun juga bisa terseret ke jurang konten beracun. Orang tua yang tak melek digital ibarat menyerahkan kunci rumah kepada orang asing. Mereka perlu hadir, bukan sekadar secara fisik, tetapi juga secara digital.
Teknologi membuat anak lebih cepat tahu, namun belum tentu lebih bijak. Informasi bertebaran tanpa filter, membuat mereka sulit membedakan kebenaran dan kebohongan. Tanpa bimbingan, anak mudah tersesat dalam gemerlap palsu dunia maya. Di sinilah peran orang tua sebagai kompas moral menjadi mutlak.
Sayangnya, banyak orang tua terjebak pada kesibukan mencari nafkah, hingga lupa membekali anak dengan iman dan akhlak. Anak pun mencari pelarian di dunia digital yang penuh jebakan. Mereka mungkin terlihat tenang di kamar, tapi jiwa mereka bisa sedang berteriak kesepian. Parenting bukan sekadar memberi makan, tapi menuntun jiwa.
Baca Juga: Sunan Kudus Menantu Ulama Palestina
Anak-anak zaman ini haus akan perhatian lebih dari sekadar kata-kata. Mereka butuh pelukan yang menghangatkan hati, tatapan mata yang memberi rasa aman. Namun banyak yang mendapat perhatian dari layar, bukan dari orang tua. Akibatnya, gadget menjadi “orang tua kedua” yang membentuk karakter mereka.
Bahaya terbesar di era digital adalah ketika orang tua menyerah kalah. Membiarkan anak tenggelam di layar tanpa pengawasan sama saja seperti melepas mereka di jalan raya tanpa rambu. Kita tidak bisa mengharapkan dunia digital berhenti, tapi kita bisa mengajarkan cara berlayar di dalamnya. Itulah bekal yang akan menyelamatkan mereka.
Kedekatan emosional kini menjadi tameng terkuat melawan pengaruh buruk digital. Anak yang merasa dicintai tanpa syarat akan lebih mudah menerima nasihat. Sebaliknya, anak yang merasa diabaikan akan mencari pelarian pada dunia maya yang penuh ilusi. Cinta tulus orang tua adalah antivirus yang tak tergantikan.
Komunikasi adalah jembatan emas antara hati orang tua dan anak. Jangan hanya bertanya soal nilai rapor, tanyakan juga bagaimana perasaannya hari ini. Jadilah pendengar yang sabar, bukan hakim yang cepat memvonis. Anak yang didengar akan lebih mudah dibimbing.
Baca Juga: Mengapa Zionis Ingin Duduki Gaza Sepenuhnya?
Di tengah derasnya arus teknologi, orang tua juga harus menjadi teladan. Jangan hanya menyuruh anak meletakkan ponsel, sementara diri sendiri tak lepas dari layar. Anak belajar bukan dari kata-kata, tapi dari apa yang mereka lihat setiap hari. Jadilah contoh nyata bahwa teknologi bisa digunakan dengan bijak.
Era digital memang tak bisa dihentikan, tapi bisa diarahkan. Tanamkan nilai agama, moral, dan etika sebagai pondasi sebelum membiarkan mereka berselancar di dunia maya. Ibarat perahu, mereka butuh layar untuk bergerak dan jangkar untuk tetap kokoh. Jangan biarkan layar bergerak tanpa kendali.
Ingatlah, setiap anak adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dunia digital hanya alat, namun hati dan iman anak adalah inti yang harus dijaga. Jika kita lalai, maka penyesalan akan datang ketika sudah terlambat. Cinta dan doa adalah senjata terkuat yang dimiliki orang tua.
Saat teknologi berubah dengan cepat, cinta orang tua tetap harus menjadi hal yang paling konstan. Jangan biarkan jarak layar mengalahkan jarak hati. Dekap anak sebelum dunia maya mendekap mereka. Karena pada akhirnya, bukan gadget yang membentuk masa depan anak, melainkan hati orang tua yang selalu hadir.[]
Baca Juga: Menjadi Orang Tua Cerdas di Tengah Arus Teknologi
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ketika Setia Dianggap Kuno dan Selingkuh Dianggap Wajar