BANYAK orang tua hari ini mengira bahwa anak akan menjadi saleh “dengan sendirinya” hanya karena sering diajak ke pesantren kilat, dimasukkan ke sekolah Islam, atau diikutkan kajian sekali dua kali. Padahal di waktu yang sama, mereka membiarkan anak tenggelam berjam-jam di depan layar, dibiarkan berteman dengan siapa saja, dan tidak pernah diawasi isi pikirannya.
Banyak orang tua lupa bahwa dunia hari ini jauh lebih ganas dari zaman dulu—fitnah masuk dari genggaman tangan, televisi, media sosial, bahkan dari teman sebaya yang tampak polos tapi membawa pengaruh buruk luar biasa. Kita tidak hidup di zaman yang netral; kita hidup di zaman di mana kebaikan harus diperjuangkan setiap hari.
Fakta di lapangan lebih menyakitkan: mayoritas anak lebih mengenal karakter game dan influencer digital daripada mengenal Nabi mereka sendiri. Banyak yang hafal lirik lagu tapi tidak hafal doa sehari-hari. Banyak yang berani membantah orang tua tetapi sangat penurut kepada gadget. Semua ini bukan semata karena anak “bandel”, tetapi karena lingkungan membentuknya. Maka orang tua yang hanya mendidik anak dengan niat baik tanpa strategi akan kalah oleh tekanan zaman. Karena itu, membentuk anak menjadi saleh hari ini bukan sekadar tugas; tetapi sebuah perjuangan yang menuntut kesadaran, kedekatan, dan keteladanan.
1. Jadilah Teladan Sebelum Memberi Perintah
Baca Juga: Gelombang Sunyi di Balik Layar, Dilema Medsos pada Anak dan Seruan Kembali kepada Syariat
Anak hari ini tidak kekurangan nasihat—yang mereka kekurangan adalah contoh nyata di depan mata. Orang tua bisa memerintahkan anak salat, tapi jika ia sendiri melalaikan salat atau mengerjakannya tergesa-gesa, anak akan menilai bahwa salat bukan prioritas. Anak tidak hanya mendengar kata-kata, mereka membaca sikap, melihat kebiasaan, dan meniru yang paling dekat dengannya: orang tuanya.
Keteladanan adalah bahasa pendidikan yang paling jujur. Jika orang tua ingin anaknya lembut, tunjukkan kelembutan. Jika ingin anak jujur, jangan berdusta di depan mereka meski alasan kecil. Jika ingin anak sopan, jangan membentak pasangan di depan anak. Tanpa keteladanan, semua nasihat hanya jadi angin lalu.
2. Bangun Kedekatan Hati, Bukan Hanya Kedekatan Tempat
Banyak orang tua tinggal serumah dengan anaknya, tetapi hatinya jauh. Mereka sibuk bekerja, sibuk main HP, sibuk urusan luar, sementara anak merasa sendirian dalam rumahnya. Padahal anak yang tidak mendapatkan kedekatan emosional akan mencarinya di luar: dari teman, dari internet, dari orang yang belum tentu membawa kebaikan.
Baca Juga: Saat Lembaga Pendidikan Hanya Jadi Lumbung Cuan
Kedekatan hati dibangun dengan perhatian kecil: mendengar cerita anak, menemani bermain, memeluknya ketika pulang sekolah, dan menanyakan apa yang ia rasakan hari itu. Semakin dekat hati anak kepada orang tuanya, semakin mudah ia diarahkan. Anak yang merasa dicintai jauh lebih mau menerima nasihat daripada anak yang hanya diberi aturan.
3. Batasi Gadget, Atur Lingkungan Digitalnya
Zaman rusak hari ini banyak dihancurkan oleh satu benda kecil: smartphone. Tanpa batasan, gadget adalah pintu terbuka menuju konten dewasa, kekerasan, game berlebihan, pergaulan bebas, bahkan ideologi sesat. Banyak orang tua merasa sungkan menegur karena takut anak marah; padahal yang mereka pertaruhkan adalah masa depan anak.
Pembatasan bukan berarti melarang total, tetapi mengatur jam penggunaan, mengawasi konten, memasang filter, dan mendampingi saat menonton. Jangan pernah berharap anak bisa mengendalikan diri jika orang tua tidak mengendalikan lingkungannya. Anak tidak berdosa karena ingin bermain; yang berdosa adalah orang tua yang membiarkannya tanpa pengawasan.
Baca Juga: Dua Santri Shuffah Al-Jama’ah Ikuti International Student Exchange di Thailand
4. Dekatkan Anak dengan Masjid dan Suasana Ketakwaan
Anak yang akrab dengan masjid akan tumbuh dengan hati yang lembut. Masjid memberi atmosfer yang tidak bisa diberikan oleh gadget dan televisi: ketenangan, adab, doa, dan teladan orang-orang saleh. Anak-anak yang rutin datang ke masjid punya lebih banyak peluang tumbuh dalam kebaikan dibanding anak yang hanya akrab dengan mall dan game center.
Ajak anak ke masjid sejak kecil, bukan menunggu “sudah besar”. Walaupun awalnya berlari ke sana-sini, itu bagian dari proses. Tidak masalah. Yang penting ia merasakan bahwa masjid adalah rumah keduanya. Tanamkan rasa nyaman di dalamnya, bukan rasa takut dimarahi.
5. Pilihkan Teman dan Lingkungan Pergaulan Terbaik
Baca Juga: Anak Hebat Lahir dari Lingkungan yang Mendukung
Pergaulan adalah faktor penentu akhlak. Banyak orang tua kehilangan anak bukan karena kurang mengajarkan agama, tetapi karena salah memilihkan teman. Teman yang buruk bisa merusak dalam hitungan hari, sementara nasihat orang tua yang baik bisa kalah dalam sekejap.
Pantau dengan siapa anak berteman. Kenali keluarganya. Bila perlu, arahkan ia kepada teman-teman yang menjaga salat, sopan, dan memiliki akhlak baik. Anak yang bergaul dengan yang saleh, akan terbawa saleh. Anak yang bergaul dengan yang rusak, akan ikut rusak. Ini hukum sosial yang tak bisa dihindari.
6. Bangun Kebiasaan Ibadah Sejak Dini
Anak saleh tidak lahir dari program “mendadak berubah”, tapi dari kebiasaan yang dibangun pelan-pelan. Mulai dari kebiasaan salat tepat waktu, membaca doa harian, membaca Qur’an sebelum tidur, bersedekah, dan berbuat baik kepada orang lain. Kebiasaan ini lama-lama menjadi karakter.
Baca Juga: Belajar Sabar dari Anak Sendiri
Yang penting adalah konsistensi. Ajak anak beribadah dengan cara yang lembut, bukan dengan ancaman. Jadikan ibadah sebagai momen kebersamaan keluarga, bukan beban. Anak harus merasa bahwa ibadah adalah sesuatu yang membahagiakan.
7. Banyak Doakan Mereka – Karena Hidayah Milik Allah
Sebagus apapun pendidikan orang tua, hati anak tetap milik Allah. Maka jangan pernah berhenti mendoakan mereka setiap selesai salat, ketika malam sunyi, atau saat melihat mereka tidur. Doa orang tua lebih kuat daripada seribu strategi pendidikan.
Doakan nama mereka satu per satu: agar Allah menjaga hatinya, membersihkan langkahnya, menundukkan pandangannya, menjadikannya pecinta Qur’an, serta menjauhkan mereka dari fitnah akhir zaman. Doa adalah salah satu bentuk ikhtiar yang paling dalam dan paling tulus.[]
Baca Juga: Belajarlah Bahagia dengan Hal-Hal Sederhana
Mi’raj News Agency (MINA)
















Mina Indonesia
Mina Arabic