Oleh: Uray Helwan Rusli, Majelis Kutab Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Kalimantan Barat
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa” (QS. 6:153)
Tulisan ini masih berkaitan dengan tulisan sebelumnya yang berjudul “POLITIK ISLAM”, DARI MANA ASALMU? Politik tidak bisa hanya diartikan “cara”. Ia sudah membentuk sebuah sistem yang memiliki pola dan aturan main tersendiri. Sebagaimana sejarah kelahirannya yang dibidani pemikir kuffar (Yunani kuno) dan masanya jauh sebelum Islam eksis, sampai sekarang ia sebenarnya masih apa adanya, gayanya tidak berubah, yakni: berbagai trik memperoleh, memelihara dan mempertahankan kekuasaan.
Masalahnya adalah ketika sebagian besar pemikir Islam dengan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun merekomendasikan untuk mengadopsi konsep politik menjadi manhaj perjuangan.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Lantas apa jadinya jika Islam dipaksakan dengan konsep politik? Jawabnya adalah:
1. Terjadi pergeseran tujuan, dari ridho Allah menuju tendensius kekuasaan
Islam mengajarkan keikhlasan (semata-mata mengharap ridho Allah), sementara politik mengajarkan kekuasaan. Bagaimana cara mendapatkan dan mempertahankannya. Oleh karenanya, dalam sistim politik setiap tindakan dan gerakan mesti tercampur dengan niat yang tidak ikhlas ini, tendensius kekuasaan. Atau bahkan tidak ada keikhlasan dalam konsep politik. Hal ini jelas sangat mendasar bertentangan dengan firman Allah.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah (98): 5)
2. Mendidik Ambisius
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya dengan dua orang sepupuku masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam, maka salah seorang dari sepupuku itu berkata: Ya Rasulullah berilah kepada kami jabatan disalah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. Yang kedua juga berkata demikian. Maka jawab beliau: Demi Allah kami tidak mengangkat seorang dalam satu jabatan, pada orang yang menginginkan atau orang yang berambisi pada jabatan itu”. HR. Bukhari dan Muslim.
Bagaimana hal ini bisa diterapkan dalam kehidupan politik, sementara ambisi justru diharuskan dalam mempertahankan dan mendapatkan jabatan? Para tokoh bahkan saling mempromosikan dirinya, mengobral janji yang muluk-muluk, untuk sekedar agar dipercayai oleh khalayak bahwa ia pantas untuk menjabat kepemimpinan.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
3. Terjadi pergeseran pola hidup dari wahyu ilahi menuju ro’yu (semata-mata olah pikir)
Islam bersumber dari wahyu Allah, yang pada tingkat pengamalan secara komprehensip mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sedangkan politik selamanya berasal dari olah pikir manusia. Tak lebih dari itu. Masalahnya timbul bagi mereka yang hidup dalam lingkaran politik, baik dengan maksud untuk “memperjuangkan” Islam ataupun tidak. Ketika ternyata imbas politik disadari atau tidak lebih mendominasi pola hidup. Akibatnya terjadilah berbagai pergeseran. Dari ibadah ke nafsu, dari ukhrawi ke duniawi semata. Dari sunnah ke bid’ah, dari pengamalan Islam yang kaaffah ke talbis (campur aduk antara benar dan salah). Dan akhirnya dari wahyu ilahi beralih pada ro’yu belaka. Solusi pemikiran lebih diutamakan daripada sunnah Rasulullah dan petunjuk Allah.
Dalam hal ini jelas Allah firman:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-An’am (6): 153)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah (2): 208)
4. Terjadi Talbis (campur aduk antara yang haq dan batil)
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Islam sudah sangat jelas. Lengkap dan sempurna, tidak perlu ditambah atau dikurangi. Manusia sebenarnya hanya tinggal mengamalkan belaka. Sebagaimana firman Allah:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“…..pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu….” (QS. Al Maidah (5): 3)
Namun ketika terinfiltrasi politik semuanya berubah. Kesempurnaannya seakan-akan diragukan. Kadang ada beberapa hal yang perlu ditambahkan maupun dikurangi untuk “memudahkan” pada level praktek di lapangan atau agar lebih sesuai dengan trend zaman. Bahkan pada tingkat berikutnya benar-benar direkonstruksi ulang. Naudzubillahimindzalik.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Kenapa demikian? Karena politik bagi Islam adalah sebuah benda asing. Ia tak lebih dari zat perusak yang mengerorkan sistem wahyu. Oleh sebab itu percampuran antara politik dan Islam adalah sebuah kesalahan yang sangat mendasar. Sebagaimana pencampuran antara haq dan batil. Itulah talbis.
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil (talbis) dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah (2): 42)
5. Membuat Tafarruq
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Dalam Al-Quran sangat jelas, Allah melarang kaum Muslimin untuk berprilaku tafarruq (berpecah belah) dan berselisih pendapat.
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran (3): 105).
Akan tetapi larangan ini menjadi sangat sulit untuk dihindari, karena dalam konsep politik hal tersebut justru direkomendasikan untuk memberi warna bagi keindahan kehidupan politik. Hanya saja istilahnya diperhalus, tidak lagi tafarruq atau ikhtilaf namun menggunakan kata: demokrasi, partai Islam, aspirasi, kebebasan bertanggung jawab, dan lain-lain.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
6. Mengaburkan Syariat Al-Jamaah
Sebagaimana betapa sangat tegas Allah melarang taffaruq, begitupula sebaliknya Ia sangat jelas memerintahkan kepada seluruh kaum Muslimin untuk hidup dalam wadah Al-jama’ah. Bersatu padu, mengangkat dan mentaati pimpinan umat (kholifah, imam atau amirul mu’minin) demi pengamalan Islam secara kaffah.
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang sedang dan akan dihadapi kaum muslimin dengan perintah: …تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ…
“tetaplah kamu pada Jama’ah Muslimin dan imam mereka.”
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Kalimat jama’atal muslimina wa imamahum adalah penjelasan konkrit dari kata Al-Jama’ah.
Selanjutnya tidak hanya sampai di situ, dengan menegakkan syari’at Al-Jama’ah berarti kaum Muslimin membuka pintu rahmat dan pertolongan Allah selebar-lebarnya serta merintis jalan menuju syurga. Karena beberapa hadits menyebutkan:
اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَ اْلفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Al Jama’ah itu rahmat dan firqoh (perpecahan) itu azab”. (HR. Ahmad)
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ بَحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
“Barangsiapa yang ingin bertempat tingal di syurga hendaklah ia komitmen dengan Al Jama’ah”. (HR. At Tirmidzi)
Dalam sebuah hadist lain yang diriwayatkan oleh At-Tirmidji menyebutkan: “ Tangan Allah beserta Al Jama’ah”.
Namun sangat disayangkan teradopsinya konsep politik oleh sebagian kaum muslimin, justru mengaburkan syari’at Al-Jama’ah ini. Baik dari segi urgensi, defenisi hingga tingkat aplikasi. Al-Jama’ah hanya dianggap sekedar alternatif sistem, dan diartikan tak lebih dari organisasi ke-Islaman yang pada gilirannya justru merekomendasikan tumbuhnya partai, organisasi bahkan negara berlabel Islam. Kalau sudah demikian, maka bukan cahaya Islam rahmatal lil alamin yang terpancar, namun yang terlihat justru antar organisasi, partai atau negara saling saing, rebut kekuasaan, gontok-gontokan bahkan saling bunuh sekalipun. Inilah realita saat ini, dan harus diakui begitulah produk politik. Akhirnya mereka hanya sibuk di kekuasaan, sementara syariat Islam selamanya hanya cita-cita.
Padahal seperti yang disebutkan di atas, Al-Jama’ah sangat simple dan praktis –sebagaimana karakter universalnya Islam–, mudah dan pasti mampu diamalkan oleh setiap manusia. Mereka tidak perlu berbelit-belit, cukup dengan keikhlasan mengangkat seorang khalifah (dengan cara mubai’ah), dan mentaatinya selama haq, serta menasehati jika melenceng dari kebenaran.
7. Pimpinan menjadi figur penguasa, bukan pengembala
Dalam Islam pimpinan bukanlah figur penguasa, melainkan seorang pengembala yang berada di tengah-tengah ummat, hidup bersama mereka, melindungi dan mengarahkan mereka, serta merasakan apa yang mereka rasakan. Karena dalam Islam kepemimpinan adalah amanah yang justru menjadi beban dan tanggung jawab paling berat di hadapan Allah kelak. Rasulullah babda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kamu adalah pengembala dan setiap kamu akan diminta pertanggung jawaban. Seorang imam adalah pengembala dan akan diminta pertanggung jawaban……”. (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain disebutkan:“Barang siapa yang terangkat untuk memimpin kaum muslimin namun ia tidak bersungguh-sungguh menasehati mereka, maka ia tidak akan masuk ke dalam syurga bersama mereka” (HR. Muslim)
Catatan tarikh menyebutkan, tentang bagaimana kesederhanaan kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, begitupula 4 kholifah pelanjut kepemimpinan beliau. Sedikitpun tidak ada kemewahan, bahkan lebih menderita dibanding umat secara keseluruhan. Untuk lebih jelas, ada baiknya disebutkan beberapa riwayat dibawah ini:
Masruq radhiyallahu’anhu bercerita: “Aku berkunjung kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha, kemudian ia mengajak aku untuk makan. Ia (‘Aisyah) berkata: Aku belum pernah makan kenyang, rasanya aku ingin menangis, sampai benar-benar aku menangis”. Masruq berkata: “Mengapa demikian?” ‘Aisyah menjawab: “Aku ingat suasana tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggalkan alam fana ini. Demi Allah , beliau tidak pernah kenyang dua kali dalam sehari dengan roti dan daging” HR. Tirmidzi.
Menjelang wafat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq berwasiyat kepada putrinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Periksalah kalau-kalau ada kelebihan harta Abu Bakar sejak ia diangkat sebagai Khalifah, lalu kembalikanlah kepada kaum Muslimin”. Kemudian ternyata harta beliau yang masih tertinggal adalah: Seekor keledai yang dipergunakan untuk mengangkut air, sebuah tong besar untuk tempat memerah susu, dan sehelai baju yang dipakai oleh beliau untuk menerima utusan. (KHALIFAH RASULULLAH, Khalid M. Khalid).
Sewaktu kaum Muslimin di Madinah ditimpa kekurangan daging dan minyak samin, Amirul Mu’minin Umar ibnul Khaththab menggunakan minyak goreng biasa sebagai campuran bahan makanannya, hingga perutnya merintih dan berbunyi-bunyi, maka diusapnya perutnya itu dan katanya: “kamu harus membiasakan makan minyak goreng ini hai kawan, selama harga minyak samin melangit”. Demikian pula pada tahun paceklik, yakni tahun kelaparan yang banyak menelan jiwa di kota Madinah, ia menyuruh menyembelih binatang ternak dan membagi-bagikan dagingnya kepada penduduk.
Para petugas berlomba memilihkan bagian yang paling digemarinya untuk dipersembahkan kepada Amirul Mu’minin. Ketika ia akan makan, dilihatnya telah tersaji punuk unta dan hatinya (bagian anggota yang paling enak), maka katanya: “Dari mana ini?”. “Dari hewan yang disembelih pada hari ini”, ujar mereka. “Tidak….., tidak !” kata Umar sambil mengeser sajian itu dengan tangannya. “Saya akan menjadi pemimpin yang terjelek seandainya saya memakan daging yang empuknya, dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk orang lain !”. Kemudian dipanggilnya khadamnya, Aslam, lalu berkata: “Angkatlah piring ini dan ambilkan saya roti dengan minyak biasa!”. (KHALIFAH RASULULLAH, Khalid M. Khalid).
Masih tentang Umar. Pada suatu hari, beliau menerima bingkisan kue-kue dari pembantu kekhalifahan di suatu tempat. Kepada perutusan, Umar bertanya: “Apa ini?”, “Kue yang biasa dibikin oleh penduduk Azerbeijan”, ujar utusan tersebut, “dan sengaja dikirim untuk anda dari ‘Atabah bin Farqad (Waliy negeri Azerbeijan)”. Umar mencicipi penganan itu ternyata enak sekali, maka tanya beliau kepada utusan itu: “Apakah seluruh kaum Muslimin menikmati makanan seperti ini ?”, “Tidak” ujar utusan itu, “makanan itu hanya bagi golongan-golongan tertentu saja”. Umar menutupkan kembali wadah penganan itu dengan rapi dan berkata kepada perutusan itu: “Dimana untanmu ? Bawalah barang kiriman ini dan kembalikan kepada ‘Atabah serta sampaikan pesan Umar kepadanya: Takutlah kepada Allah, dan kenyangkanlah kaum Muslimin lebih dahulu dengan makanan yang biasa kamu makan”. (KHALIFAH RASULULLAH, Khalid M. Khalid).
Bercerita Syurahbil bin Muslim, “Utsman menyediakan makanan bagi kaum Muslimin seperti makanan raja-raja, padahal ia sendiri makan dengan makanan minyak dan cuka”. Dikatakan pula oleh Abdullah bin Syaddad: “Saya lihat Utsman berkhutbah pada hari Jum’at dengan memakai pakaian yang harganya empat atau lima dirham saja, padahal ia adalah Amirul Mu’minin”. (KHALIFAH RASULULLAH, Khalid M. Khalid).
Gambaran seperti ini jelas sangat bertolak belakang dengan kenyataan kehidupan para pemimpin politik, di manapun dan kapan pun mereka berada. Mereka adalah penguasa yang hidup di istana megah penuh dengan protokoler dan kemana saja dikawal banyak orang. Mereka biasa bergelar: raja, perdana menteri, kaisar, presiden, atau apapun namanya. Mereka hidup senantiasa berkecukupan (karena memang “dijamin”) bahkan mewah, walaupun rakyat menderita dan hidup di bawah garis kemiskinan.
Untuk figure penguasa seperti ini, dalam lintasan sejarah Islam banyak fakta yang bisa diketengahkan. Yang paling menyolok adalah justru tidak lama setelah berakhirnya (dengan idzin Allah) kehidupan Rasululah dan khulafaurrasyidin. Berawal tatkala Muawiyah bin Abi Sufyan, penguasa Bani Umayyah, yang mengganti sistem kekhilafahan dengan sistem Mulkan. Inilah perubahan tragis, dari wahyu ke ro’yu, dan dimulailah tonggak sejarah sistem politik dalam Islam.
Sebenarnya tidak hanya tujuh hal di atas akibat kontaminasi politik terhadap Islam, insya Allah banyak lagi yang lain. Akan tetapi itu saja kalau benar-benar terjadi, maka sudah seyogyanya kaum Muslimin untuk introspeksi diri. Takutlah kepada Allah !. Wallahu a’lam bishshowwab. (P004/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)