76 Tahun Nakba, Malapetaka Palestina Masih Berlangsung

Warga Palestina di Gaza utara berpindah ke jalur selatan atas paksaan dari Zionis Israel yang melancarkan serangannya di wilayah itu sejak 7 Oktober 2023. Fenomena ini seperti mengulang tragedi Nakba 1948. (Foto: Anadolu)

Oleh Arina Islami, Relawan Aqsa Working Group (AWG)

Penjajahan di Palestina yang dilakukan oleh Zionis Israel telah memasuki tahun ke 76, tepatnya pada tanggal 15 Mei 2024.

Tragedi kemanusiaan ini bermula sejak 1948 ketika penjajah Inggris mendukung Yahudi Zionis untuk membangun negara sendiri bernama “Israel” secara ilegal di tanah milik rakyat Palestina, dengan cara merampas dan mengusir paksa rakyat pribumi. Deklarasi palsu kelompok penjajah itu menjadi cikal bakal pembersihan etnis dan genosida di Palestina yang hingga kini masih berlangsung.

Saat peristiwa Nakba 1948 itu, militer Zionis mengusir sekitar 750 ribu orang Palestina dari rumah dan tanah mereka sendiri. Zionis juga merebut sekitar 78 persen wilayah Palestina. Sedangkan sisanya, yakni 22 persen wilayah Palestina, dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat dan Gaza.

Sejak tahun 1947 sampai 1949, pasukan Zionis melakukan serangan besar-besaran ke Palestina dengan menghancurkan sekitar 530 desa, yang menelan sedikitnya 15 ribu korban jiwa.

Rangkaian tragedi itu menjadi sejarah kelam yang terekam di memori rakyat Palestina. Namun perlu disadari, bahwa peristiwa berdarah itu bukan hanya luka bagi Palestina tapi juga seluruh umat manusia, khususnya kaum Muslim. Peringatan Nakba tahun ini, menjadi cambuk bagi kita yang masih terlelap dan abai dengan masalah tersebut.

Nakba Jilid II

Hari ini, kita melihat tragedi serupa Nakba kembali melanda Palestina. Sejak pasukan Zionis mendeklarasikan perang pada awal Oktober 2023, rakyat Palestina di Jalur Gaza dipaksa untuk meninggalkan tanah air mereka.

Pada 12 Oktober 2023, Israel mengeluarkan perintah militer kepada penduduk Gaza bagian utara dan tengah untuk mengungsi dari rumah mereka. Daerah itu telah diklasifikasikan Israel sebagai “Zona Perang.”

Penduduk Gaza dan bahkan personel PBB yang ditempatkan di sana hanya memiliki waktu 24 jam untuk mengosongkan wilayah. Banyak dari mereka yang enggan mengungsi demi mempertahankan haknya dan sebagian lainnya terpaksa bergerak ke selatan demi bertahan hidup. Pergi atau mati, itu saja pilihannya. Maka tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai Nakba Jilid II.

“Ini adalah Nakba kedua. Namun pendudukan (Zionis Israel) harus memahami bahwa kami akan terus tetap berakar di tanah kami dan membela hak-hak kami yang adil atas kebebasan, perdamaian dan keamanan,” kata seorang warga Gaza kepada Al Jazeera. 

Setelah memporak-porandakan Gaza utara dan membunuh ribuan warga sipil, pasukan Zionis kemudian mengeluarkan seruan baru pada 17 November 2023 agar warga Palestina yang berada di kota selatan Khan Younis kembali berpindah ke arah barat karena penjajah itu akan melancarkan serangan ke daerah tersebut. Padahal sebelumnya, Zionis lah yang meminta warga Palestina di utara untuk mengamankan diri ke selatan tapi pada akhirnya wilayah yang diklaim aman pun tak luput dari agresi brutal.

Baca Juga:  Parlemen Arab Sambut Baik Pengakuan Armenia atas Palestina

Tidak berhenti di situ, penjajah Zionis kemudian menargetkan Rafah; benteng terakhir pengungsi Palestina. Rencana mereka membidik Rafah diumumkan langsung oleh Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, bertepatan dengan lima bulan agresinya di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu, setelah tentara Zionis mengobrak-abrik Khan Younis. Lebih dari 1,3 juta orang saat ini tinggal di Rafah dan wilayah sekitarnya, yang sebagian besar mereka mengungsi dari wilayah lain Gaza.

Ketika kelompok pejuang Palestina, Hamas sedang mengupayakan gencatan senjata dengan menyetujui proposal dari negara mediator Israel-Palestina, yakni Mesir dan Qatar, pasukan Zionis malah meluncurkan serangan darat ke Rafah pada 6 Mei 2024. Kini Rafah yang seharusnya jadi safe zone bagi para pengungsi Palestina sama sekali sudah tidak aman.

Jumlah warga Palestina yang terpaksa meninggalkan Rafah akibat serangan pasukan Israel meningkat menjadi 360.000 orang, demikian dikatakan badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA pada 13 Mei 2024.

Kegigihan Rakyat Gaza Bertahan di Tanah Airnya

Meski berada dalam situasi yang serba menyakitkan, rakyat Gaza tetap memilih bertahan di tanah airnya. Bagi mereka, pergi berarti menyerahkan Palestina pada penjajah Zionis.

Fawziya Shaheen (90) mengenang sebuah babak kelam Nakba 1948 yang membekas dalam kesadaran warga Palestina. “Saya ingat saat pertama kali kami mengungsi dan apa yang terjadi pada kami sekarang. Itu semua adalah kesalahan Amerika dan negara-negara yang melakukan normalisasi terhadap orang-orang Yahudi,” kata Shaheen, yang tinggal di sebuah gang di dalam kamp pengungsi Khan Younis.

“Apa pun yang terjadi, kami tidak akan menjadi pengungsi. Mereka menyerang kami, namun kami tidak akan meninggalkan rumah kami dan kami tidak akan menjadi pengungsi. Bahkan jika Amerika, Israel atau negara lain melakukan intervensi, kami akan tetap tinggal dan tidak akan meninggalkan rumah kami,” kata Shaheen, yang duduk di rumah bersama cucu-cucunya menghadapi pengeboman Israel yang tiada henti, kekurangan makanan, dan pemadaman listrik.

Baca Juga:  Alasan Armenia Akui Negara Palestina

Salim Ayoub (65) juga memilih bertahan di Gaza untuk tidak mengulangi peristiwa Nakba pada 1948. “Apa yang terjadi sekarang adalah pengulangan dari apa yang terjadi pada 1948. Saya duduk dan mendiskusikan hal ini dengan anak-anak saya, dan kami memutuskan untuk tidak pergi. Kami tidak akan meninggalkan Gaza utara dan pergi ke selatan karena kami tidak ingin kehilangan tempat tinggal lagi,” kata Salim, dikutip Middle East Eye pada 16 Oktober 2023.

Naama Hazem (20), tinggal bersama keluarganya di lingkungan Daraj di Kota Gaza. “Kami ada lebih dari 20 orang di gedung itu. Kakek saya menolak keluar dan mengatakan dia lebih memilih mati di rumahnya,” katanya kepada Middle East Eye.

Diberitakan Al Jazeera pada 9 Mei 2024 Ibrahim Abdi mengatakan, warga Gaza menolak untuk menyerah pada upaya Israel mengulangi tragedi Nakba. Meski mereka harus berulang kali mengungsi dari satu tempat ke tempat lain sejak agresi Israel pecah pada 7 Oktober 2023 lalu. “Kami ingin kembali ke rumah kami di utara, dan kami menolak rencana-rencana pengusiran,” tegasnya.

Wafa memberitakan pada 13 Mei 2024, Pemerintah Palestina menekankan, upaya pendudukan untuk menggusur warga Palestina di Jalur Gaza dan serangannya di Tepi Barat, termasuk Yerusalem, tidak akan menyebabkan rakyat Palestina bertekuk lutut, menyerah atau pergi. Pemerintah Palestina juga menegaskan, kepemimpinan dan rakyat Palestina akan tetap teguh dalam menghadapi berbagai tantangan dan serangan Israel, seperti yang terjadi selama beberapa dekade terakhir.

Kegigihan inilah yang semakin membuktikan siapa sebenarnya pemilik Tanah Palestina. Saat agresi meletus dan pejuang Hamas kian menunjukkan taringnya, pemukim illegal Yahudi ketakutan dan berbondong-bondong keluar dari Palestina. Sementara warga Palestina, bertahan di puing-puing rumah mereka meski dengan segala keterbatasan. Sebuah tulisan dinding di salah satu bangunan Palestina berbunyi, “Aku mencintai negeri ini, bahkan reruntuhannya.”

Keffiyeh, Simbol Perjuangan Palestina

Keffiyeh telah lama menjadi bagian dari identitas nasional Palestina, dan khususnya menjadi terkenal selama periode Mandat Inggris setelah Perang Dunia pertama. Selama tahun-tahun pasca-Utsmaniyah, pakaian-pakaian ini merupakan penanda kebangsaan dan perlawanan terhadap kekuasaan kekaisaran Inggris, menjadikannya sebagai landasan identitas, revolusi, dan solidaritas.

Baca Juga:  Ribuan Warga Jerman Turun ke Jalan Dukung Rakyat Palestina

Sepanjang aksi perlawanan ini, keffiyeh menjadi salah satu penanda utama identitas dan kebangsaan Palestina. Simbol populer ini menjadi pakaian sehari-hari hampir semua orang, baik petani, pedagang, dan bahkan almarhum Presiden Yassir Arafat mengenakan keffiyeh secara rutin untuk menyampaikan pesan solidaritas dan perlawanan.

Keffiyeh memiliki makna dari tiap polanya. Pola jaring kotak-kotak melambangkan hubungan antara pelaut Palestina dan Laut Mediterania. Negara tersebut membentang dari Sungai Yordan di sebelah timur Tepi Barat hingga Laut Mediterania di sebelah barat. Di bawah motif jaring, terdapat garis tebal yang melambangkan rute perdagangan melalui Palestina. Sementara di bagian paling bawah, terdapat pola daun zaitun melambangkan kekuatan, ketahanan, dan ketekunan warga Palestina.

Menurut laman Handmade Palestine, Kelompok Solidaritas untuk Hak Asasi Manusia Palestina di Concordia University di Kanada mencetuskan tanggal 11 Mei sebagai Hari Keffiyeh Internasional sejak 2016. Tanggal ini dipilih karena kedekatannya dengan Nakba (bahasa Arab) yang berarti “malapetaka” pada 15 Mei. Hari Keffiyeh dimanfaatkan sebagai gerakan untuk membawa kesadaran global terhadap pendudukan yang dialami warga Palestina.

Hingga kini, Keffiyeh selalu digunakan dalam aksi solidaritas Palestina sebagai simbol perjuangan. Dalam unjuk rasa pro-Palestina yang akhir-akhir ini marak digelar di universitas-universitas Amerika, Eropa, dan Asia, para mahasiswa dengan bangga mengenakan keffiyeh di leher maupun di kepala mereka. Sebagian mahasiswi di Universitas Columbia bahkan mengenakan kain khas Palestina itu dalam upacara kelulusan di kampus mereka sebagai bentuk protes kepada otoritas kampus yang terlibat kerja sama dengan Israel.

Peringatan Hari Nakba atau Hari Malapetaka sekaligus Hari Keffiyeh bukanlah seremonial tahunan saja. Tanggal-tanggal ini adalah alarm bahwa penjajahan Zionis di Palestina masih terjadi dan perjuangan kita tidak boleh padam.

Jika rakyat Palestina yang ditimpa begitu banyak kesulitan saja masih sanggup bertahan di sana, maka sudah seharusnya kita yang berada di luar Palestina bisa lebih berani menyuarakan solidaritas kepada bangsa yang dijajah selama 76 tahun itu.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” bunyi alinea pertama Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Arina Islami

Editor: Rendi Setiawan