Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

78 Tahun Penantian, Keadilan yang Belum Kunjung Datang ke Lembah Kashmir

Widi Kusnadi Editor : Rudi Hendrik - 11 detik yang lalu

11 detik yang lalu

0 Views

Warga Kashmir yang sedang mengantre bantuan kemanusiaan. (Foto: IG)

TUJUH puluh delapan tahun sudah berlalu sejak lembah Kashmir diselimuti bayang-bayang konflik dan penjajahan yang tak kunjung usai. Di antara hamparan pegunungan Himalaya yang menawan, tersimpan kisah panjang tentang rakyat yang menunggu janji—janji keadilan, kebebasan, dan hak menentukan nasib sendiri.

Sejak 27 Oktober 1947, hari yang dikenang sebagai “Black Day”, rakyat Jammu dan Kashmir hidup dalam cengkeraman pendudukan dan ketidakpastian, sementara dunia terus bergulat antara diam dan lupa.

Kashmir bukan sekadar tanah yang diperebutkan dua negara. Ia adalah rumah bagi jutaan jiwa yang setiap hari bertanya, kapan dunia akan benar-benar menepati janji untuk mendengar suara mereka?

Ketika generasi demi generasi tumbuh dalam situasi darurat militer, hak asasi manusia diabaikan, dan komunikasi dibatasi, maka sesungguhnya yang hilang bukan hanya kebebasan, tetapi juga rasa kemanusiaan yang sejatinya menjadi milik bersama.

Baca Juga: Tersihir Drakor, Terseret Fitnah: Saatnya Muslim Bangkit!

Janji yang Belum Ditepati

Sengketa Kashmir bermula pada 1947, ketika penguasa wilayah itu menandatangani Instrumen of Accession yang kontroversial dengan India. Keputusan tersebut memicu perang antara India dan Pakistan serta melahirkan resolusi Dewan Keamanan PBB, di antaranya Resolusi 47 Tahun 1948.

Resolusi itu menegaskan bahwa masa depan Kashmir harus ditentukan melalui plebisit bebas dan adil. Namun hingga kini, hak penentuan nasib sendiri itu belum pernah terwujud.

Pemerintah India bahkan memperdalam krisis dengan mencabut status otonomi khusus Jammu dan Kashmir pada 5 Agustus 2019, langkah yang dianggap bertentangan dengan konstitusi India sendiri dan hukum internasional.

Keputusan sepihak ini menghapus status “wilayah sengketa” dan membuka jalan bagi perubahan demografi yang mengancam identitas sosial dan budaya rakyat Kashmir.

Baca Juga: Peran Diaspora Palestina dalam Perlawanan Naratif Global

Sejak saat itu, laporan pelanggaran HAM meningkat. Pembatasan komunikasi, penahanan sewenang-wenang, dan kehadiran pasukan militer di setiap sudut kota menjadi pemandangan sehari-hari. Dunia menyaksikan, namun tak banyak yang berani bersuara lantang.

Kashmir hari ini bukan hanya cermin konflik politik, tetapi juga ujian bagi nurani kemanusiaan global. Setiap kali dunia menunda tindakan, setiap kali lembaga internasional gagal menegakkan resolusi, penderitaan rakyat Kashmir kian dalam.

Duta Besar Pakistan untuk Indonesia, Zahid Hafeez Chaudhri, dalam peringatan Kashmir Black Day di Jakarta, menyerukan agar dunia tidak lagi berpaling. Ia menegaskan, “Jika dunia sungguh percaya pada tatanan berbasis aturan, maka penyelesaian adil atas sengketa Jammu dan Kashmir harus menjadi prioritas.”

Pakistan sendiri terus mengajak komunitas internasional untuk terlibat aktif, bukan hanya melalui tekanan diplomatik, tetapi juga dukungan kemanusiaan yang nyata. Islamabad menegaskan perlunya peran negara-negara sahabat, termasuk Indonesia, dalam mendorong dialog damai yang berpihak pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.

Baca Juga: Solidaritas Palestina; Dari Ruang Kelas hingga ke Puncak Gunung

Peran Indonesia dan Suara Dunia yang Diperlukan

Sebagai negara yang memiliki rekam jejak panjang dalam perjuangan kemerdekaan dan diplomasi perdamaian, Indonesia memiliki posisi moral untuk mendukung penyelesaian damai yang adil di Kashmir. Indonesia pernah menjadi motor dalam isu Palestina, Rohingya, dan Afghanistan. Maka, suara Indonesia juga diharapkan bergema di forum internasional untuk rakyat Kashmir.

Keadilan bagi Kashmir bukan sekadar kepentingan regional Asia Selatan, tetapi bagian dari tanggung jawab global dalam menegakkan nilai-nilai dasar Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dunia perlu menyadari, membiarkan ketidakadilan berarti ikut menumbuhkan luka sejarah yang semakin sulit disembuhkan.

Sejak 1947, generasi demi generasi rakyat Kashmir hidup di bawah bayang-bayang konflik, sementara hak mereka atas kebebasan ditunda tanpa batas waktu. “Keadilan yang ditunda,” kata seorang aktivis HAM Kashmir, “adalah ketidakadilan yang terus diwariskan.”

Tidak ada kemerdekaan sejati tanpa keadilan. Tidak ada perdamaian sejati tanpa kebenaran. Dunia boleh berbicara tentang stabilitas, tetapi selama rakyat Kashmir belum bebas menentukan masa depannya, maka stabilitas itu hanyalah bayangan semu.

Baca Juga: Proyek Israel Raya, Upaya Menguasai Timteng dengan Dukungan AS

Selama 78 tahun penantian telah cukup lama bagi sebuah bangsa yang ingin hidup bermartabat di tanahnya sendiri. Dari lembah-lembah bersalju Kashmir, dari suara para ibu yang kehilangan anaknya, dan dari doa para pemuda yang mendamba masa depan yang bebas, dunia mendengar kembali seruan: cukup sudah penantian ini.

Maka biarlah sejarah mencatat, bahwa ketika dunia diam, nurani manusia tetap berbicara. Bahwa dari Kashmir yang terluka, kita belajar bahwa keadilan tak akan datang dengan waktu, tetapi dengan keberanian.

Semoga suatu hari nanti, rakyat Kashmir dapat menyebut tanggal 27 Oktober bukan lagi sebagai “Hari Hitam”, melainkan sebagai awal dari fajar keadilan yang telah lama mereka tunggu, dan kini saatnya dunia membantu mewujudkannya. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Aneksasi Upaya Menghapus Masa Depan Palestina

Rekomendasi untuk Anda