Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KAMP PENGUNGSIAN OHN TAW GYI, PENJARA TERBUKA ROHINGYA

Admin - Selasa, 5 Januari 2016 - 15:40 WIB

Selasa, 5 Januari 2016 - 15:40 WIB

371 Views ㅤ

(Sumber foto: Liberation/REA, Jack Kurtz)

(Sumber foto: Liberation/REA, Jack Kurtz)

(Sumber foto: Liberation/REA, Jack Kurtz)

Dengan semilir bau ikan dan udang kering, beberapa lelaki dan anak-anak berjalan di lereng di dekat laut di Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar. Kantor polisi yang mengibarkan bendera Myanmar menjadi bagian paling mencolok di Myanmar Barat itu.

Namun, di sana juga terdapat kamp pengungsian bangsa Rohingya bernama Ohn Taw Gyi yang mencuri perhatian media, organisasi HAM, aktivis Rohingya, dan para pejabat Asia Tenggara. Bangsa Rohingya terdampar di sana sejak tragedi 2012.

Pengungsi yang ditampung di Ohn Taw Gyi mengaku penderitaan mereka tidak berkurang. “Ini adalah penjara terbuka. Kami tidak bisa keluar dari sini,” ujar Jack yang sudah tinggal 3,5 tahun di sana kepada Liberation yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

“Saya tidak tahan tinggal di sini,” keluh remaja berusia 20 tahun itu. Sepupu Jack ditembak mati di rumahnya di Sittwe pada 3 Juni 2012. Saat itu, polisi dan umat Budha radikal menakut-nakutinya hingga membuat Jack lari terbirit-birit tanpa membawa apapun.

Baca Juga: 15 Kejahatan Zionis Yahudi Dari Masa Ke Masa

Sampai sekarang, Jack tidak pernah bisa kembali ke kampung halamannya. Jika pun bisa, risikonya besar. “Pastinya berbahaya. Umat Islam di Sittwe terancam. Ada terlalu banyak kebencian. Hal yang sama juga terkadang berlaku di kamp pengungsian,” katanya.

Di Ohn Taw Gyi tidak banyak air bersih dan tidak ada listrik. Mereka hanya bisa menadah air hujan yang juga terkadang membanjiri ladang dan perkebunan. “Kami harus berjuang sendiri dan tidak berharap bisa sekolah atau pergi ke klinik,” terang Jack.

Senada dengan Jack, Farouk juga mengatakan selalu dirundung ketakutan. “Kami di sini tidak memiliki masa depan, tidak memiliki pekerjaan, dan terkadang kelaparan selama beberapa hari. Saya benar-benar merasa malu,” terang Farouk.

Farouk melanjutkan, keluarganya tinggal di Sittwe selama tujuh generasi. Namun, pemerintah menolak mengakui sehingga hak-haknya dilucuti. “Kami selalu dihina karena berkulit hitam gelap dan diperlakukan seperti binatang,” ungkapnya.

Baca Juga: Silaturahim dengan Sulaturahmi, Ternyata Berbeda Makna

Pemerintah Myanmar menyebut bangsa Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Saat ini, bangsa Rohingya juga kesulitan membuktikan eksistensi mereka secara sah. Sebab, hampir semua dokumen penting dibakar pada tragedi 2012. (T/P020/P2)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Enam Hari Bulan Syawal Seperti Berpuasa Setahun

Rekomendasi untuk Anda