Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA (Mi’raj News Agency)
Tanggal 3 Maret 2019, menandai 95 tahun kaum Muslimin dunia hidup tanpa naungan sentral kepemimpinan, sejak runtuhnya Dinasti Ottoman, atau sering disebut Khilafah Turki Utsmani, 3 Maret 1924.
Musthafa Kemal Pasha, pada tanggal 3 Maret 1924 melalui sidang Dewan Perwakilan Nasional, memecat Khalifah, membubarkan sistem Khilafah, dan menghapus sistem pemerintahan Islam yang telah berjalan ribuan tahun tersebut dari Khilafah Ustmaniyyah diganti dengan Negara Turki Sekuler.
Pasha yang pertama kali mengubah Turki Utsmani menjadi sebuah negara sekuler. Majelis Agung Turki waktu itu memberikan gelar di belakang namanya dengan “Attaturk”, yang berarti “Bapak Bangsa Turki”, pada 24 November 1934.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Tragedi 3 Maret 1924, diawali dari upaya jahat Zionis Internasional, saat Turki Utsmani dipimpin Sultan Abdul Hamid II.
Muhammad Harb dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II, menyebutkan berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki kawasan Palestina, tempat Masjidil Aqsha berdiri.
Langkah-langkah itu antara lain, Pertama, pada tahun 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ”Kesultanan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina”.
Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Zionis Internasional dan penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada tahun 1896 memberanikan diri menemui langsung Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan bangunan di kawasan Al-Quds.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Permohonan itu pun dijawab sultan, ”Sesungguhnya Daulah Utsmaniyah ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.
Ketiga, mereka kemudian mengadakan Konferensi Zionis I di Basel, Swiss, pada tanggal 29-31 Agustus 1897 untuk merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah.
Menghadapi gencarnya aktivitas Zionis Yahudi, Sultan Abdul Hamid II pada 1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi ke Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas Turki Utsmani. Berikutnya, tahun 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Keempat, pada tahun 1902, Theodore Hertzl kembali menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangannya kali ini untuk menyuap sang pemimpin Utsmani tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk pribadi Sultan, melunasi semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling, membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank, memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga, serta membangunkan Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Namun, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, dan hanya diwakilkan kepada salah satu menterinya Tahsin Basya.
Abdul Hamid II hanya menitipkan pesan, ”Katakan kepada Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam (fahiya laysat milku yamiinii, bal milkul ummatul islamiyyah). Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.”
Sultan juga mengatakan, ”Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Kelima, inilah strategi akhir Zionis, yaitu mereka memasukkan gerakan Zionismenya dengan melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon kebebasan, kemerdekaan, dan menyebut Abdul Hamid II sebagai absolut.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Tidak bisa berhadapan satu lawan satu, maka dicarilah celah dari dalam Turki sendiri. Salah satunya, menurut sejawaran adalah memasukkan nama Musthafa Kemal yang merupakan keturunan dari etnis Yahudi Dunama. Ini dinayatakan oleh Harold Courtenay Armstrong, seorang agen intelijen Inggris, yang menyatakan bahwa Musthafa berasal dari etnis Yahudi Dunama.
Dalam artikel berjudul “Mengenal Firqah-firqah Yahudi” dalam situs Swaramuslim disebutkan bahwa Freemasonry, organisasi Zionis Internasional, ikut andil meruntuhkan daulah Turki Ustmani. Gerakan ini antara lain menjalin hubungan yang sangat kuat dengan organisasi Turki Ittihat ve Terrakki (al-Ittihad wa at-Taraqqi atau persatuan dan kemajuan) yang berkembang sangat pesat di Salonika, Yunani, bagian dari Turki, tempat kelahiran Musthafa Kemal.
Di sinilah Musthafa bersama anggota-anggota komite persatuan dan kemajuan, yang dikenal sebagai kelompok Turki Muda (young Turks), yang diketahui sangat dekat dengan militer, menjalankan roda organisasi. Rata-rata anggota kelompok ini adalah orang-orang Yahudi dari Cryto Jews Salonika. Mereka mendapatkan dukungan finansial dari orang-orang Dunama, yaitu sekelompok Yahudi yang masuk Islam, namun secara diam-diam tetap mempertahankan keyahudian mereka.
Secara bertahap, tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika, pusat komunitas Yahudi Dunamah, melakukan pemberontakan. Gerakan pemberontakan itu didukung Inggris dan Prancis. Hingga kemudian tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Gerakan Nasionalisme Arab.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.
Sejarah kemudian mencatat, Kemal Pasha, akhirnya menjalankan agenda Inggris, melakukan revolusi untuk menghancurkan Turki Utsmani. Hal itu diawali dengan perjanjian yang melahirkan “Persyaratan Curzon” pada 21 November 1923. Isinya, Turki harus menghapuskan khilafah Islamiyah, mengusir khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya.
Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kemal atas nama gerakan pemuda turki dan dilakukan perjanjian yang ditandatangani pada 24 Juli 1923.
Delapan bulan setelah itu, tepatnya 3 Maret 1924, Musthafa Kemal Pasha yang meniti karier melalui jalur militer dan organisasi, melalui Dewan Perwakilan Nasional mengumumkan pemecatan khalifah, pembubaran sistem khilafah, mengusir khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Tanggal 23 Maret 1924, atau 92 tahun lalu, itu detik-detik terakhir keruntuhan sentral kepemimpinan Turki Usmaniyyah.
Devide et Empera
Sejak 1924 itulah, kaum Muslimin di dunia hidup tanpa naungan sentral kepemimpinan, hingga terpecah belah menjadi sekitar 60-an negara nasionalis, walau sebagian dengan sebutan negara Islam, tapi tidak ada ikatan satu sama lain dengan kesatuan Islam.
Adanya adalah ikatan nasionalisme, kebangsaan, masing-masing, sehingga kaum Muslimin di suatu negara begitu mudah umat Islam dihinakan, wilayahnya diduduki penjajah, darahnya ditumpahkan, kehormatannya dilecehkan, dan agamanya dinistakan. Tanpa sokongan berarti dari tetangganya sesama negeri Muslim.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Hingga yang terkini, negeri Syam termasuk di dalamnya adalah Palestina, menjadi sau-satunya negeri Muslim terjajah yang hampir tanpa perlawanan berarti dari seluruh negeri Muslimin.
Fakta membuktikan, negeri Palestina sampai kini masih dijajah oleh Zionis Israel. Darah tumpah setiap hari, anak-anak, orang-orang tua dan perempuan dibantai tiap jam, generasi muda dan tokoh-tokoh dipenjara tanpa kemanusiaan, serta Masjid Al-Aqsha kiblat pertama Muslimin dinodai, gerbangnya ditutup, Yahudi ekstermis bebas berkeliaran dengan pengawalan polisi, dan bahkan hendak dirobohkan secara terstruktur.
Nasib dunia Islam terbelah dan terpecah, tak kunjung usai, seperti: Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, Yaman, dan lainnya.
Sementara kekayaan alamnya dieksploitasi untuk kepentingan Barat dan sekutunya. Lewat mekanisme utang luar negeri, mereka dijerat untuk tunduk kepada kepentingan kapitalisme Barat.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Pendidikan juga sama nasibnya. Pendidikan yang berlandaskan sekuler di negeri-negeri Islam telah mencetak generasi-generasi pemuda Islam yang jauh dari akar Islam. Pergaulan bebas, LGBT, narkoba, minuman keras menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda saat ini. Di bidang pidana, tidak diterapkannya hukum-hukum Allah telah menyebabkan membengkaknya perkara-perkara kriminalitas seperti pemerkosaan, pelacuran, pembunuhan dan perampokan.
Sentral Kepemimpinan
Ketiadaan sistem sentral kepemimpinan Muslimin berakibat fatal bagi perlindungan nasib kaum Muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya. Lalu, nasib peradaban dunia ini apakah akan terus diserahkan begitu saja kepada Barat yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kebajikan kasih sayang apalagi ketuhanan.
Padahal sistem sentral persatuan dan kesatuan umat Islam inilah yang menjadi poros sejarah umat Islam dan berlangsung terus-menerus dalam satu bentuk ke bentuk lain lebih dari 1.300 tahun. Sampai mendekati pertengahan abad XIV Hijriyah bertepatan dengan abad XX Masehi, dan berakhir di Turki Utsmani 1924 tersebut.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Turki Utsmani memang disebut sebagai Sultan bukan Khalifah. Namun keberadaannya sebagai sentral kepemimpinan umat Islam tetap diakui dunia sebagai perekat kesatuan dan solidaritas umat Islam secara keseluruhan.
Namun pun demikian, sudah menjadi sunnatullah bahwa pada akhirnya sistem Khilafah yang bersifat rahmatan lil ‘alamin, bebas dari intervensi politik, itu akan bangkit kembali dengan izin Allah.
Hal ini pun secara dalil naqli, antara lain disebutkan pada riwayat dari Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Misykatul Mashabih dari Nu’man bin Basyir, yang menyebutkan fase kepemimpinan umat Islam berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam.
Fase akhir zaman itu disebutkan adalah kembalinya sistem kepemimpinan yang mengikuti pola kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), mengacu pada pelaksanaan empat khalifah rasyidah terdahulu.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Sistem khilafah ‘ala minhajin nubuwwah itu kemudian mulai tumbuh dan bangkit dengan diamalkannya Jama’ah-Imaamah dalam wujud Jama’ah Muslimin (Hizbullah) berpusat di Indonesia, dengan imaamnya Syaikh Dr. Wali Al-Fattaah, yang diumumkan sevara terbuka ke dunia internasional pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. / 20 Agustus 1953 M. (Suara Merdeka Rabu, 12 Agustus 1953, Mimbar Indonesia, Jumat 21 Agustus 1953).
Analisis secara ilmiah akademisi tentang pengalaman sistem Khilafah ini, juga dipresentasikan dalam desertasi doktoral “Khilafah ‘Alaa Minhaajin Nubuwwah, Analisa Pemikiran Wali Al-Fattaah dalam Menyatukan Umat,” oleh Ustaz Makmun bin Shaleh Hafidz, Program Pascasarjana Universitas Bakhtalridha Sudan tahun 2019.
Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Khilafah Suatu Realita Bukan Khayalan menyebutkan, sistem Khilafah memang merupakan suatu syariat yang bisa diamalkan bukan suatu khayalan. Penegakkannya merupakan sinyal geliat kebangkitan umat Islam dari tidur panjangnya.
Dalam analisis orientalis Barat sendiri menyebutkan, Khilafah sebagai raksasa tidur kini tengah mulai menggeliat.
Sinyal kebangkitan khilafah menuju 100 tahun kebangkitannya, sejak 1924, adalah secercah harapan kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang membawa misi rahmatan lil ’alaimin. Keberadannya bukan untuk mengusik atau melemahkan potensi umat Islam lainnya.
Namun justru untuk memperkuat, merekatkan, mengikat dan mempersatukan semuanya. Terhadap dunia di luar Islam, pun bukan untuk mengobarkan perang pertumpahan darah tanpa haq. Tetapi justru untuk menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi, berdasarkan tuntunan Allah, Sang Maha pengatur dunia dan alam semesta. Wallahu a’lam. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)