Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Panduan Merayakan Idul Fitri Berdasarkan Sunnah

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 7 menit yang lalu

7 menit yang lalu

0 Views

Ilustrasi kebahagiaan di Hari Raya Idul Fitri (foto: Fpik)

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

IDUL Fitri adalah hari kemenangan umat Islam setelah melaksanakan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Pada hari ini, umat Islam disunnahkan untuk merayakan Idul Fitri yang merupakan salah satu syiar besar dalam Islam.

Dalam merayakan Idul Fitri, ada beberapa sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang dapat kita ikuti agar ibadah kita lebih sempurna.

Baca Juga: Meraih Kemenangan Hakiki: Idul Fitri sebagai Momentum Perubahan

Dalil tentang merayakan Idul Fitri terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

…، ولِتُكمِلُوا الْعِدَةَ ولِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (البقرة [٢]: ١٨٥)

“…, Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Ayat di atas menunjukkan anjuran untuk bertakbir sebagai salah satu syiar dalam merayakan Idul Fitri, yang juga termasuk dalam rangkaian sunnah hari raya ini.

Baca Juga: Makna Sejati Idul Fitri: Kembali ke Fitrah dengan Hati yang Suci

Syariat merayakan shalat Idul Fitri menggantikan tradisi jahiliyah yang sebelumnya dilakukan oleh kalangan kaum kafir Quraish. Hal itu diungkapkan dari sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَانَ لِأَهْلِ الَجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيْهِمَا، فَأَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى(رواه ابو داود)

“Dahulu kaum Jahiliyah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main. Lalu Allah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Dawud)

Sunnah-Sunnah pada Hari Idul Fitri

Baca Juga: Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saat Idul Fitri

Di antara sunnah-sunnah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan pada hari raya Idul Fitri adalah:

  1. Membayar Zakat Fitrah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَغُوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيٖنَ (رواه ابو داود)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta untuk memberi makan kepada orang miskin.” (HR. Abu Dawud)

Baca Juga: Mudik Lebaran: Tradisi Budaya yang Menyatu dengan Nilai-nilai Islam

Membayar zakat fitrah sebaiknya dilakukan pada hari-hari mendekati Idul Fitri, sebelum dilaksanakannya shalat Id.

  1. Mandi pada Hari Raya

Hal ini dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satunya adalah sahabat mulia Ibnu Umar Radhiallahu anhuma, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha, dari jalur Imam Nafi Rahimahullah:

عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى (اخرجه مالك)

“Dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke tempat shalat.” (HR. Malik, no. 428)

Baca Juga: Mudik Lebaran, Wujud Cinta dan Bakti pada Orangtua

  1. Mengenakan Pakaian Terbaik

Tentang memakai pakaian terbaik ini dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Abbas yang mengatakan Nabi Muhammad SAW ketika hari raya selalu memakai pakaian yang bagus.

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُ بُرْدًا يَمَانِيًّا فِي كُلِّ عِيدٍ (رواه البيهقي)

Bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam biasa memakai kain buatan Yaman pada tiap-tiap hari raya” (HR Al-Baihaqi).

Disunahkan juga ketika hendak melaksanakan sholat Ied untuk memakai wangi-wangian atau parfum. Para ulama Syafi’iyah sepakat bahwa dianjurkan mencukur rambut/bulu-bulu, memotong kuku, dan menghilangkan bau tidak sedap dari pakaiannya.

Baca Juga: Hakikat Kembali kepada Fitrah: Sebuah Tinjauan Ilmiah dan Syar’i

  1. Makan Sebelum Berangkat

Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ لَاَ يَغْرِوَ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأُكُلَ تَمْرَاً وَيَأُكُلُهُنَّ وِتْرَاً (رواه البخارى)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil.” (HR. Al-Bukhari, no. 953)

  1. Menempuh jalan berbeda antara pergi dan kembalinya

Sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata:

Baca Juga: 10 Hakikat Mudik bagi Seorang Muslim

كَانَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ العِيْدِ خَلَفَ الطَّرِيَقَ (رواه البخارى)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hari raya selalu menempuh jalan yang berbeda (saat pergi dan pulang).” (HR. Al-Bukhari, no. 986)

  1. Melaksanakan Shalat Id di tanah lapang (mushalla)

Dari Abu Said Al Khudri Radliallahu ‘anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاة

Baca Juga: Tradisi Mudik, Sejak Kapan Dilakukan?

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat …” (Hadits Riwayat Al-Bukhari 956, Muslim 889 dan An-Nasaa’i 3/187)

Disunnahkan agar wanita haid dan nifas tetap berangkat ke mushalla (tanah lapang) tersebut untuk mendengarkan khutbah Id, meskipun tidak ikut menunaikan shalatnya.

Diriwayatkan dari shahabiyah Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, yang artinya: “Rasulullah SAW memerintahkan kami supaya menyuruh mereka keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha: yaitu semua gadis remaja, perempuan haid, dan wanita pingitan. Adapun wanita haid agar menjauhi tempat shalat (tidak ikut menunaikan shalat), tetapi tetap menyaksikan kebaikan hari raya dan seruan kaum Muslimin. Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?’ Beliau menjawab: ‘Hendaklah temannya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim).

  1. Bertakbir menuju tempat shalat

Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:

Baca Juga: Urgensi Rukyatul Hilal sebagai Bagian Dari Syariat Islam

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ قَطَعَ التَّكْبِيرَ(رواه الحاكم)

“Rasulullah ﷺ keluar pada hari Idul Fitri, lalu beliau bertakbir hingga tiba di mushala dan hingga selesai melaksanakan shalat. Ketika selesai shalat, beliau menghentikan takbirnya.” (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/294)

Takbir adalah salah satu syiar utama pada hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ mengucapkan takbir sepanjang perjalanan menuju mushala (tempat shalat), yang menunjukkan anjuran untuk bertakbir dalam perjalanan menuju pelaksanaan shalat hari raya.

Lafaz Takbir

Baca Juga: Palestina: Tanah Suci yang Terlupakan

Takbir Idul Fitri tidak memiliki lafaz khusus yang harus diucapkan, tetapi beberapa lafaz yang masyhur di kalangan para ulama, dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma   adalah:

اَللَّهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

Tentang memulai takbir Idul Fitri, terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama, yaitu: pertama, setelah terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan. Kedua, setelah shalat Subuh pada tanggal 1 Syawal. Ketiga, ketika keluar rumah hendak menunaikan Shalat Idul Fitri.

  1. Melaksanakan Khutbah

Dari Abdullah bin Saib radhiyallahu ‘anhu berkata:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ الُعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ لَنَا إْنِّا نَخْطُبُ (رواه ابو داود)

“Aku menyaksikan Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau melaksanakan shalat lalu bersabda: ‘Kita akan berkhutbah.” (HR. Abu Dawud, no. 1155)

  1. Mendengarkan Khutbah

Sebuah atsar dari sahabat Abdullah in Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: “إِذَا خَرَجَ الإِمَامُ يَوْمَ الْعِيدِ فَاسْتَمِعُوا لِلْخُطْبَةِ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا أُرِيدَ بِهَا خَيْرٌ”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Jika imam keluar (untuk khutbah) pada hari raya, maka dengarkanlah khutbah tersebut. Sesungguhnya, khutbah itu diadakan untuk kebaikan.”

Perkataan ini menunjukkan bahwa para sahabat memahami pentingnya menyimak khutbah Idul Fitri. Meskipun khutbah Idul Fitri dan Idul Adha tidak wajib sebagaimana khutbah Jumat, tetap disunnahkan untuk menyimaknya karena di dalamnya terdapat pengajaran, nasihat, dan peringatan yang bermanfaat bagi umat.

Adapun dalam amalan generasi salaf, menyimak khutbah hari raya dianggap bagian dari adab terhadap syiar Islam dan penghormatan kepada imam serta jamaah yang hadir.

Riwayat semacam ini juga didukung oleh atsar dan hadits lain yang menganjurkan agar umat memperhatikan khutbah pada waktu tertentu, termasuk pada hari raya.

  1. Saling memberi selamat (tahni’ah)

Saling memberi selamat (tahni’ah) setelah selesai khutbah Idul Fitri tidak secara langsung disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ yang sahih. Namun, tradisi ini merupakan bagian dari bentuk kebiasaan baik yang dilakukan oleh umat Islam untuk mengekspresikan rasa syukur, kegembiraan, dan mempererat hubungan sosial pada hari raya.

Meskipun tidak ada hadits langsung yang memerintahkan tahniyah, namun terdapat riwayat behwa para sahabat memberi ucapan selamat (tahniyah) pada hari raya, sebagaimana diriwayatkan dalam atsar:

عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ ﷺ إِذَا الْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ (اخرجه البيهقى)

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata: “Para sahabat Nabi ﷺ, apabila bertemu pada hari raya, sebagian mereka berkata kepada yang lain: Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal kami dan amal kalian).”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dan disebutkan juga oleh Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kitab Fathul Bari. Sanadnya dinilai hasan.

Tradisi tahniyah atau ucapan selamat pada hari raya, termasuk bersalam-salaman, adalah bentuk ekspresi sosial yang baik dan sesuai dengan semangat syariat dalam mempererat ukhuwah Islamiyah. Hal ini dianggap mubah (diperbolehkan) bahkan dianjurkan jika dilakukan dengan cara yang baik dan tidak disertai hal-hal yang bertentangan dengan syariat.

Dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa tidak masalah memberi ucapan selamat pada hari raya. Ini termasuk dalam ‘urf atau kebiasaan yang diperbolehkan. Bersalam-salaman setelah Idul Fitri termasuk dalam konteks tersebut.

والله أعلمُ بِالصَّوَابِ

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Khutbah Jumat
Indonesia
Kolom