DALAM pusaran kehidupan modern yang sarat dengan obat-obatan sintetis dan prosedur medis berteknologi tinggi, manusia sering kali melupakan satu anugerah agung yang telah tersedia sejak awal peradaban: tumbuh-tumbuhan herbal. Ia tumbuh diam-diam dari bumi, menyerap cahaya langit, dan meramu zat-zat penyembuh dalam senyap.
Meski sederhana dalam bentuk, herbal mengandung hikmah ilahiyah yang melampaui batas akal manusia. Ia adalah perantara antara ciptaan dan Sang Pencipta; sebuah titipan dari bumi yang memanggil ruhani manusia untuk kembali kepada fitrah.
Tanaman herbal bukan sekadar tumbuhan biasa. Dalam helai daunnya, dalam getah batangnya, dalam biji dan akarnya—tersimpan rahmat Allah yang mengalir tanpa pamrih. Sejak manusia pertama menginjakkan kaki di dunia, herbal telah menjadi teman setia dalam menjaga kesehatan, mengobati luka, dan menyembuhkan duka. Ia tidak hadir sebagai pesaing bagi teknologi, melainkan sebagai pengingat bahwa sebelum semua alat canggih diciptakan, bumi telah lebih dulu menyiapkan jawabannya.
Bahkan, dalam kitab suci Al-Qur’an, tumbuh-tumbuhan disebut sebagai tanda-tanda kebesaran Allah bagi mereka yang mau berpikir dan merenung. Apa yang tumbuh dari tanah, yang disirami langit, adalah rizki yang tidak hanya memberi makan, tetapi juga menyembuhkan.
Baca Juga: Allah Ciptakan Herba Bukan Sia-Sia, Saatnya Kembali ke Fitrah
Banyak orang mencari obat ke segala penjuru dunia, padahal penawar terbaik bisa jadi tumbuh di pekarangan rumah mereka sendiri. Daun yang sering diinjak, akar yang dianggap gulma, biji yang terbuang sia-sia—semuanya bisa menjadi pengobat dengan izin Allah.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa Dia menurunkan air dari langit, lalu menumbuhkan dengan air itu buah-buahan, zaitun, kurma, dan segala macam tanaman yang penuh berkah. Dan ayat demi ayat menyiratkan bahwa apa yang tumbuh dari tanah, bukan hanya makanan jasmani, tetapi juga penyejuk jiwa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hidup di zaman laboratorium dan alat medis mutakhir. Namun beliau mengajarkan bahwa pengobatan adalah bagian dari ibadah. Dalam banyak riwayat, beliau menggunakan madu untuk kekuatan dan penyembuh, habbatus sauda sebagai penguat sistem imun, daun senna sebagai pembersih tubuh, dan minyak zaitun sebagai makanan dan obat.
Setiap penggunaan itu tidak hanya berorientasi pada fisik, tetapi juga dibungkus dengan doa dan keyakinan akan pertolongan dari langit. Karena sesungguhnya, kesembuhan bukan berasal dari zat itu sendiri, melainkan dari kehendak dan kasih sayang Allah yang mengizinkannya bekerja dalam tubuh manusia.
Baca Juga: Tips Sehat Jamaah Haji Hadapi Cuaca Ekstrim di Tanah Suci
Herbal adalah bagian dari kesucian fitrah. Ia tidak diolah berlebihan, tidak diubah menjadi zat asing yang sulit dicerna oleh tubuh. Ia adalah bagian dari tanah, tempat asal manusia diciptakan. Maka tidak aneh jika tubuh merespon herbal dengan baik. Ada keterhubungan ruhani antara tubuh dan bumi.
Dalam diri manusia mengalir unsur tanah, dan dari tanah pula Allah menumbuhkan pengobatnya. Hubungan ini bukan hanya fisik, tetapi juga batiniah—sebuah relasi yang mengajarkan manusia untuk merendah, untuk kembali kepada asal, dan untuk bersyukur atas apa yang telah disiapkan oleh Allah jauh sebelum kita meminta.
Ilmu pengetahuan modern kini perlahan-lahan mengejar kearifan masa lalu. Para ilmuwan mulai mengakui bahwa banyak penyakit kronis modern ternyata lebih mudah diredakan dengan pendekatan alami. Senyawa aktif dalam kunyit, jahe, pegagan, sambiloto, hingga temulawak terbukti mampu melawan peradangan, memperkuat imun, hingga menghambat pertumbuhan sel kanker.
Namun, bagi seorang mukmin, kebermanfaatan herbal tidak hanya dinilai dari seberapa cepat ia menyembuhkan, tetapi juga dari nilai ketaatan dan tawakal yang menyertainya. Ketika seseorang meneguk air rebusan daun sambil mengucap basmalah, lalu memohon kesembuhan kepada Allah, ia sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar pengobatan—ia sedang menyatukan bumi dan langit dalam satu ikhtiar yang suci.
Baca Juga: Olahraga dan Kesehatan Mental: Hubungan yang Tak Terpisahkan
Herbal bukan hanya tentang tubuh yang sembuh, tetapi tentang jiwa yang kembali percaya. Ia menyembuhkan luka yang tak tampak oleh mata: kelelahan batin, kecemasan yang tak terucap, rasa putus asa yang menyelinap di antara detak jantung. Maka ketika seseorang memilih herbal sebagai jalan ikhtiar, sesungguhnya ia sedang menapaki jalan sunyi yang penuh dengan zikir, doa, dan harap.
Ia percaya bahwa Allah tidak menciptakan penyakit tanpa menurunkan obatnya. Ia yakin bahwa setiap daun yang bergoyang, setiap akar yang menjulur, bisa menjadi jawaban dari langit jika disertai iman yang teguh.
Di tengah dunia yang kian kehilangan kesabaran, herbal mengajarkan ketenangan. Ia bekerja perlahan namun pasti. Ia tidak memaksa tubuh untuk segera sembuh, tetapi merangsang tubuh untuk kembali ke keseimbangan. Di sanalah letak keindahannya—ia tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga mendidik manusia untuk kembali kepada ritme alami kehidupan. Bahwa tidak semua harus cepat, bahwa dalam setiap proses ada pelajaran tentang sabar, syukur, dan tawakal.
Bagi umat Islam, herbal juga bisa menjadi simbol kemandirian. Di saat dunia dibayangi krisis kesehatan, obat-obatan mahal, dan keterbatasan akses, herbal menjadi jalan keluar yang murah, mudah dijangkau, dan sesuai dengan nilai-nilai keimanan.
Baca Juga: Bullying dan Kesehatan Mental Anak Sekolah, Mengapa Kita Harus Peduli?
Di negara-negara Muslim yang kaya akan keanekaragaman hayati, seharusnya herbal menjadi prioritas nasional, menjadi sumber ekonomi, pendidikan, dan dakwah. Ia bisa memperkuat ketahanan umat dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Dan yang paling agung dari semua itu, adalah ketika kita sadar bahwa herbal bukanlah penyembuh utama. Daun hanya daun, akar hanya akar. Kesembuhan sejatinya datang dari Zat yang menciptakan daun dan akar itu. Maka, saat kita minum ramuan herbal, biarlah hati kita bergetar dalam kesadaran: bahwa kita sedang mengetuk pintu langit dengan harapan yang tulus. Karena sesungguhnya, “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80). Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Manfaat Leunca untuk Kesehatan: Antioksidan, Jantung, dan Diabetes