Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Zionis Israel Kian Brutal, Setan-Manusia yang Mati Nurani

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 20 menit yang lalu

20 menit yang lalu

0 Views

Ketigak Gaza berubah jadi neraka dunia (foto: ig)

LANGIT Gaza kini tak lagi biru. Ia kelabu, dipenuhi asap dan reruntuhan. Bukan karena awan mendung yang membawa hujan, melainkan awan mesiu yang membawa maut. Di bawah langit yang dipenuhi dengungan drone dan desingan rudal, anak-anak berlarian bukan untuk bermain, tapi untuk menyelamatkan nyawa yang tersisa. Gaza hari ini bukan lagi kota. Ia telah berubah menjadi neraka dunia—dihancurkan oleh tangan-tangan setan yang berwujud manusia, yang nuraninya telah lama mati bersama sejarah panjang kekejamannya.

Sejak Oktober lalu hingga detik ini, detik saat Anda membaca tulisan ini, bom masih terus menghujani rumah-rumah penduduk, masjid-masjid, sekolah-sekolah, rumah sakit, bahkan kamp-kamp pengungsian. Tak ada tempat aman. Tak ada satu jengkal tanah pun di Gaza yang tidak bernoda darah. Bahkan tanah pun menangis karena terlalu banyak menerima jasad kecil tak berdosa yang dikubur bersama harapan yang belum sempat mekar.

Neraka di Bumi

Dulu kita hanya membayangkan neraka sebagai tempat yang penuh api dan siksaan setelah mati. Tapi kini, Gaza memperlihatkan bagaimana rupa neraka dalam bentuk nyata. Api menjalar dari satu gedung ke gedung lain, jeritan pilu membahana dari reruntuhan bangunan yang baru saja dibombardir, dan bau kematian menyeruak di setiap sudut kota. Sungguh, ini bukan lagi kehidupan. Ini adalah sisa-sisa kemanusiaan yang digilas oleh brutalnya Zionis Israel yang kian hari kian tak punya hati.

“Di mana kami harus berlindung?” tanya seorang ibu yang memeluk jasad anaknya yang masih hangat. Matanya sembab, tangisnya tertahan, bibirnya bergetar, tapi tak ada jawaban. Sebab tak ada lagi tempat berlindung di Gaza. Semua telah jadi sasaran.

Baca Juga: Tragedi Nakbah, Pengingat Bagi Dunia Akan Kekejaman Zionis Israel

Satu keluarga habis dalam satu serangan. Satu rumah luluh lantak dalam satu dentuman. Satu-satunya yang tersisa adalah luka, trauma, dan kematian yang menunggu giliran.

Setan-Manusia Bernama Netanyahu

Benjamin Netanyahu, pemimpin Zionis Israel yang kini telah kehilangan seluruh sisi kemanusiaannya, berdiri di tengah kegelapan hatinya yang pekat. Ia adalah wajah dari kebrutalan modern. Di tangannya, keputusan-keputusan yang membinasakan lahir. Ia adalah simbol dari kegilaan sebuah rezim apartheid yang menjadikan pembunuhan massal sebagai strategi, dan genosida sebagai peta jalan.

Ia bukan lagi sekadar pemimpin politik. Ia adalah pelaku kejahatan kemanusiaan. Ia adalah inkarnasi dari setan-manusia yang menjadikan penderitaan sebagai pencapaian. Ia bukan sedang mempertahankan negara. Ia sedang membumihanguskan peradaban.

Di bawah rezimnya, rumah sakit Al-Shifa dikepung, dokter-dokter dibantai, pasien-pasien dibunuh di atas ranjang perawatan. Bayi-bayi yang baru lahir dibiarkan mati karena tak ada listrik untuk menghidupkan inkubator. Sungguh, bahkan binatang pun tak sekejam itu. Tapi mereka, para serdadu setan itu, merayakan setiap tangisan sebagai tanda keberhasilan operasi militer mereka.

Baca Juga: Di Balik Salju Kashmir yang Berdarah

Anak-Anak Palestina: Pahlawan yang Terlahir dari Duka

Bocah-bocah Gaza kini tumbuh tanpa boneka. Mereka akrab bukan dengan mainan, tapi dengan dentuman bom. Mereka tak belajar dari buku, tapi dari luka. Di matanya tak ada lagi masa depan. Mereka sudah terlalu akrab dengan kematian sejak usia dini. Anak-anak seusia lima tahun sudah tahu cara mengenali jenis bom dari suaranya. Mereka tahu di mana berlindung saat suara F-16 meraung di atas kepala.

“Ayahku sudah meninggal. Ibuku juga. Aku sendirian sekarang,” ucap Amal, gadis kecil berusia tujuh tahun, saat diwawancara media. Tak ada air mata yang keluar dari matanya, karena mungkin air matanya sudah kering sejak lama. Yang tersisa hanya pandangan kosong dan wajah polos yang terlalu cepat menjadi dewasa oleh tragedi.

Anak-anak Gaza hari ini adalah saksi bisu dan korban nyata dari ketidakadilan dunia. Dunia yang begitu cepat mengutuk perang jika terjadi di Eropa, tapi bungkam dan beku ketika genosida terjadi di Palestina. Dunia yang pura-pura tuli terhadap jeritan anak-anak Gaza.

Dunia yang Mati Rasa

Ke mana dunia? Di mana mereka yang mengklaim sebagai pembela hak asasi manusia? Mengapa diam ketika nyawa anak-anak dibantai? Di mana PBB? Di mana suara-suara lantang yang dulu berkoar-koar ketika Ukraina diserang?

Baca Juga: Dari Bandung untuk Palestina, Langkah Solidaritas yang Menggetarkan Jiwa

Kita sedang menyaksikan sejarah kebisuan paling memalukan umat manusia. Ketika negara-negara besar hanya bisa memberikan “kekhawatiran” dan “keprihatinan”, sementara Gaza membutuhkan tindakan, bantuan, dan perlindungan. Dunia yang mengaku beradab, ternyata penuh kemunafikan.

Sementara itu, Amerika Serikat dan sekutunya justru menyuplai bom dan peluru kepada penjajah. Mereka bicara tentang hak Israel untuk membela diri, tapi lupa bahwa Gaza bukan negara berdaulat, melainkan penjara terbuka yang dikurung selama lebih dari 17 tahun. Mereka mendukung si penjajah, dan menyalahkan yang dijajah karena berteriak kesakitan.

Gaza Tak Pernah Tunduk

Namun Gaza, dengan segala luka dan kehancurannya, tak pernah tunduk. Ia tetap berdiri dengan kepala tegak. Di balik puing-puing rumah, masih ada senyum dari para pejuang yang tak gentar menghadapi tank-tank baja. Mereka tahu bahwa kebebasan tak datang dengan mudah. Mereka percaya bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar dan berjuang.

Setiap dentuman bom tak membunuh semangat mereka. Justru mempertegas tekad mereka untuk bertahan, untuk tidak menyerah, untuk menunjukkan bahwa Palestina masih ada. Bahwa meski tubuh mereka remuk, hati mereka tetap merdeka.

Baca Juga: Masjidil Haram, Pusat Peribadatan Islam Terbesar di Dunia

Di setiap malam, langit Gaza diterangi bukan oleh bintang, tapi oleh kilatan rudal. Tapi dari balik reruntuhan, suara adzan tetap berkumandang. Seolah ingin berkata: “Kami masih di sini. Kami masih hidup. Kami masih beriman.”

Panggilan untuk Kemanusiaan

Kini, bukan saatnya kita diam. Bukan saatnya hanya mengutuk di dalam hati. Gaza adalah ujian bagi nurani kita. Apakah kita masih punya hati? Ataukah kita telah mati rasa?

Setiap detik yang kita lewatkan dalam diam, adalah detik yang bisa menyelamatkan satu nyawa jika kita bersuara. Setiap rupiah yang kita sisihkan, adalah sebutir harapan bagi anak-anak yang kelaparan. Setiap doa yang kita panjatkan, adalah senjata ampuh yang menembus langit dan menggetarkan singgasana-Nya.

Gaza bukan hanya tentang Palestina. Ia tentang kita semua. Tentang siapa kita sebenarnya. Tentang di mana kita berdiri dalam peta moral dan kemanusiaan. Jika hari ini kita membiarkan Gaza terbantai, jangan heran jika suatu hari kita sendiri yang dibiarkan dunia saat musibah menimpa.

Baca Juga: Zionis Israel, Monster yang Kejahatannya Tak Bertepi di Gaza

Luka Gaza, Luka Kita Semua

Gaza hari ini adalah wajah dari dunia yang kehilangan nurani. Tapi juga wajah dari keteguhan dan keberanian yang tak ternilai. Di balik puing-puing dan darah yang tumpah, ada harapan. Ada keyakinan bahwa kebenaran akan menang. Bahwa penjajahan akan berakhir. Bahwa para setan-manusia itu akan diadili, jika bukan di dunia, maka di hadapan Tuhan yang Mahaadil.

Dan saat semua telah usai, Gaza akan tetap berdiri. Dari reruntuhan akan lahir generasi yang lebih kuat. Dari luka akan tumbuh kekuatan. Karena Gaza bukan sekadar tanah, ia adalah simbol dari ketabahan, dari perlawanan, dari iman yang tak pernah mati.

Hari ini kita menulis. Kita bersuara. Kita menyampaikan rasa. Bukan karena kita bisa mengubah dunia dengan satu tulisan. Tapi karena kita tak ingin jadi bagian dari dunia yang diam saat kejahatan merajalela. Gaza adalah luka kita. Dan selama luka itu ada, kita akan terus berdiri—bersama Gaza.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Raja Ampat, Surga Bawah Laut yang Wajib Dikunjungi di Indonesia

Rekomendasi untuk Anda