Orang-orang di Ponpes Al-Fatah Muhajirun Lampung Selatan tentu tidak asing dengan sosok Muhsin Abdurrahman. Lelaki yang akrab dipanggil Pak Muhsin atau Abah Mushin ini, masih terlihat segar dan giat dalam berbagai kegiatan dakwah, padahal usianya tidak lagi muda, 75 tahun.
Ia sering terlihat paling depan di barisan shaf shalat berjamaah setiap waktu. Muhsin jarang absen pada berbagai kegiatan ta’lim atau pengajian. Ia termasuk generasi sepuh yang saat ini ada di Ponpes Al-Fatah, Muhajirun Lampung Selatan. Sesekali ia juga kerap terlihat di Ponpes Al-Fatah,Cileungsi, Bogor. Biasanya saat menengok anak dan kerabat lainnya yang ada di Bogor.
Muhsin punya rekam jejak hidup yang tidak biasa. Tahun 1965 saat ia masih berusia 16 tahun, semangat jihadnya sangat bergelora. Situasi nasional saat itu sangat tegang, terutama dengan ancaman komunisme, namun Muhsin justru bersumpah setia untuk berjihad melawan bahaya komunisme di tanah air.
Waktu itu, organisasi-organisasi Islam seperti Masyumi dan GPI dibubarkan, pengaruh kuat dari DN Aidit, pemimpin PKI sangat dominan. Di Sumatera, umat Islam dibantai dan juga di beberapa daerah di Jawa kekejaman Komunis itu nyata adanya.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Mushin dan beberapa orang seperjuangan dalam dakwah dipanggil secara khusus oleh Imaam Wali Al-Fattaah untuk berjanji setia. Janji setia itu isinya menyatakan sikap kuat untuk siap menghadapi ancaman komunisme di mana dan kapan pun terjadi. Isi janji setia waktu itu sangat simpel namun punya konsekuensi yang sangat besar dan berat: ”Kami siap melawan komunisme.”
Perintah itu langsung dari Imaam Wali Al-Fattaah, selama lebih dari 20 tahun semuanya tetap dirahasiakan. Bahkan setelah Imaam Wali Al-Fattaah wafat, rahasia itu tetap terjaga hingga ada konfirmasi dari beberapa orang yang juga melakukan janji untuk berjihad melawan komunis.
Kondisi tahun 1965 sangat mencekam, terjadi peristiwa G30S. Saat itu Muhsin masih sekolah. Ia mendengar tentang rencana kudeta oleh Dewan Jenderal melalui radio dan kabar dari berbagai sumber. Setelah itu, banyak yang ditangkap dan diinterogasi oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Salah satu temuan mereka adalah rencana PKI untuk melancarkan kudeta pada 5 Oktober, bertepatan dengan hari lahir Angkatan Bersenjata.
Ketegangan nasional waktu itu benar-benar menguji umat Islam. Namun Muhsin dan beberapa sahabat seperjuangan dalam dakwah tetap siaga. Saat itu ada pernyataan resmi dari umat Islam, seperti yang disebut “Suara Muslimin,” menunjukkan kesiapan umat menghadapi komunisme. Ia pun merasa, apa yang dilakukannya waktu itu adalah upaya mempertahankan nilai-nilai Islam di tengah ancaman besar.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
“Komunis itu sangat kejam mereka. Orang-orang disiksa, seperti paman saya, Usman namanya. Ia diculik, tubuhnya dimutilasi, matanya dicongkel, dan kakinya dipotong. Mereka mengaku-ngaku sebagai DI (Darul Islam), padahal masyarakat tahu itu ulah komunis. Orang-orang DI yang asli justru dikenal sopan dan tidak pernah berbuat seperti itu,” ujar Muhsin dengan mata berkaca-kaca.
Ia menceritakan bahkan ayahnya pun hampir menjadi korban kebiadaban komunis. Katanya, waktu itu, senapan ayahnya diambil oleh orang-orang komunis dengan alasan yang dibuat-buat. Ayahnya ditangkap dan hampir dibunuh, tapi berhasil lolos setelah terjadi pertempuran antara kelompok komunis dan umat Islam yang sudah siap berperang.
“Ayah saya kabur ke desa lain, menyusuri sungai selama tiga hari tiga malam hanya dengan minum air. Akhirnya, beliau sampai di Raja Galuh, lalu melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta untuk bertemu kerabat,” jelas Muhsin.
Setelah peristiwa mengerikan itu, keluarganya pindah ke Jakarta, tepatnya di Tomang. Di sana, demi menyambung hidup, ayahnya bekerja serabutan.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
“Saya sendiri saat itu masih sekolah SMA kelas 3. Di Jakarta itulah, Saya mulai mengenal dakwah aljamaah dan pentingnya dakwah islam yang menyeru kepada kesatuan umat, dan alhamdulillah, Saya bertemu dengan komunitas dan lingkungan yang baik,” Muhsin menceritakan kegiatan mengaji juga masih kuat di kalangan anak-anak tempat ia tinggal di Jakarta kala itu. Jauh sebelumnya, Muhsin pernah belajar di Pesantren Kaler, Raja Galuh Majalengka.
Belajar Silat
Saat menetap Jakarta, Muhsin sudah mengenal ilmu bela diri silat. Sejak kecil Ia sering merasa takut pada orang. Di sekitar rumah ada yang mengajarinya silat, Ia mulai belajar silat Cimande, khususnya dengan Muhammad Mu’min. Belajar silat berlanjut hingga Muhsin juga berlatih dengan beberapa guru silat lainnya, seperti pendekar Yamin dari Tasik.
Di Jakarta, Muhsin belajar silat yang keras, seperti silat Tasik, yang menggunakan tameng dan latihan keras. Seiring waktu, Ia lebih banyak belajar dari Widharma, yang mengajarkan silat dengan pendekatan lebih lembut dan berfokus pada gerak rasa. Gerak rasa itu tidak memiliki jurus tertent. Ia belajar lebih banyak tentang perasaan dalam gerakan itu.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
“Saya berlatih secara intens selama sekitar 30 kali pertemuan untuk bisa merasakan dan menguasainya,” jelas Muhsin.
Menurutnya, gerak rasa itu bukan soal jurus, melainkan tentang merasakan dan memahami tenaga dalam tubuh sendiri. Setiap orang bisa belajar merasakannya, misalnya dengan latihan di air atau bersama teman. Awalnya, menurut Muhsin, seseorang hanya perlu merasakan tenaga itu.
“Saya dulu belajar di Cilang dengan Pak Abdurrahman, dan juga dengan seorang ikhwan dari Sukabumi, meski latihan itu belum selesai,” ujarnya.
Latihan dilakukan dengan merasakan tenaga, seperti saat berlatih di air. Misalnya, kita bisa merasakannya saat tubuh terdorong oleh air. Setelah beberapa latihan, seseorang mulai merasakan tenaga dalam tubuh dan bisa mengendalikannya. Latihan ini membutuhkan sekitar 30 pertemuan sebelum seseorang mulai bisa merasakannya.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Menurut Muhsin, gerak rasa yang ia pelajari tidak hanya soal tenaga dalam, melainkan lebih pada bagaimana merasakan tenaga dan mengendalikannya. Ketika ia bisa merasakan tenaga ini, ia bisa mengarahkan atau menghindar, tergantung pada situasi. Latihan gerak rasa itu menurut Muhsin mengajarkan seseorang untuk mengembangkan rasa, dan latihan terus-menerus membuat kemampuannya semakin kuat.
Ia menambahkan, latihan gerak rasa itu bisa dilakukan sendiri atau dengan teman. Jika seseorang berlatih dengan teman, ia bisa merasakan perbedaan antara tenaga yang kaku dan yang lebih lembut. Setelah menguasainya, kemampuan ini bisa digunakan seumur hidup, bahkan jika tenaga berkurang.
Memetik Ilmu dari Sang Imaam
Muhsin bersyukur ia dapat mengenal Imaam Wali Al-Fattaah lebih dekat dan seringkali mendapatkan banyak ilmu secara langsung.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
“Saya beberapa kali berdiskusi dengan Imaam Wali Al-Fattaah, meskipun sering kali saya hanya mendengarkan dan menyimak nasihat beliau,” terangnya. Salah satu pesan yang selalu diingat Muhsin adalah tentang pentingnya keteguhan hati dalam berjuang di jalan Allah.
Tahun 1980 Muhsin hijrah ke Lampung, kepergiannya ke Sumatera karena saat itu ia mendapat jodoh dan menikah di Lampung. Jauh sebelumnya, tahun 1976 ia dipertemukan dengan Imaam Hamidy dan Ustadz Syiradjudin, keduanya turut mengantar Muhsin menikah dengan seorang gadis bernama Muawanah, adik Ustaz Aji Muslim juga Ustaz Anshor.
Selama lebih kurang 11 tahun Muhsin membersamai Imaam Wali Al-Fattaah. Tentu saja waktu sebelas tahun itu bukan sebentar. Dari situ bisa dibilang Muhsin sudah banyak menyerap ilmu dan pengalaman dari Sang Imam.
“Alhamdulillah Saya merasa senang bisa membersamai Imaam Wali Al-Fattaah,” ujar Muhsin.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Imaam Wali Al-Fattaah adalah sosok orang yang teguh. Saat berbicara tentang perjuangan, Ia sangat fokus, meskipun kadang marah jika ada yang mengganggu fokusnya. Suatu kali, Ustadz Syaifuddin telat datang karena macet, dan Imam Wali Al-Fattaah sangat marah karena itu mengganggu persiapan perjuangan.
Ada juga cerita, suatu hari Wali AL-Fattaah akan berangkat ke Banyumas tanpa menghubungi siapa pun. Meskipun seharusnya ada yang mengantar, dia memutuskan berangkat sendiri. Di perjalanan, kereta penuh dan dia harus menggantung di pintu kereta. Namun, semangatnya luar biasa, dan akhirnya dia berhasil masuk ke dalam kereta.
”Imaam Wali Al-Fatah sering berpergian dengan cara yang tidak biasa, dan menurut Muhsin dirinya sering mendapat mimpi tentang beliau yang memanggilnya untuk ikut serta. Mimpi itu menunjukkan bahwa Imam selalu memiliki tujuan tertentu, dan Muhsin merasa selalu diawasi dan diperhatikan.
Pernah suatu hari Imaam Wali Al-Fattah kaget kenapa tiba-tiba Muhsin sudah ada di Petojo, dan dijawab oleh Muhsin bahwa yang memintanya ke Petojo adalah Imam melalui mimpi.
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Muhsin sangat dekat dengan Wali Al-Fattaah dan mengikuti jejaknya, terutama hingga Ia berusia sekitar 30-an. Pada 1976, Saya mulai berpikir tentang menikah dan bekerja, meskipun sebelumnya Saya sudah bekerja di Bunda Putra dan TPT Business News. Ia bahkan sempat jualan koran dan kue di Jakarta, dan pernah juga menjual minyak beca, minyak tanah campur minyak kelapa untuk lampu beca.
Meski sibuk bekerja, Muhsin tetap mengikuti Imaam. Ia pernah sempat berpikir untuk berhenti bekerja, tapi Imaam malah menyarankan agar ia terus bekerja, karena Ia merasa sudah cukup tua, sementara beliau juga sudah mulai tua. Muhsin akhirnya bekerja di PT Binjman dan berkenalan lebih dekat dengan Imam. Ia senang bisa menulis di mimbar Jumat dan terus belajar.
”Saya senang membaca tulisan Imam yang sangat menginspirasi. Banyak nasihat yang saya terima dari Imam, meskipun terkadang saya merasa tidak bisa memahami. Saya selalu berusaha tawadhu dan sabar, karena Saya percaya Allah selalu memberi kesempatan,” ujarnya.
Muhsin selalu ingat, Imaam Wali Al-Fataah sering mengingatkannya untuk lebih fokus pada hal-hal yang penting, seperti membina umat dan menjaga konsolidasi. Beliau juga mengajarkan bahwa sebagai seorang muslim harus selalu berusaha meskipun hasilnya belum terlihat. Misalnya, dalam mengisi pengajian, meskipun banyak yang tidak hadir, tetaplah menyampaikan apa yang bisa disampaikan dari ajaran Islam.
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
Muhsin juga masih ingat, Wali Al-Fattaah sering mengajarkan pentingnya keberadaan orang-orang yang kompeten, seperti yang ada dalam ribat (berjaga-jaga).
”Kita harus siap untuk menjalankan amanat, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Semua ini adalah bagian dari tugas yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab oleh setiap ikhwan,” ujarnya.
Dalam perjuangan dakwah ini, menurut Muhsin, Imaam Wali Al-Fattaah sering menekankan pentingnya kesungguhan dan ketaatan. Jama’ah Muslimin (Hizbullah) akan berkembang seperti bola salju—semakin besar, kuat, dan kokoh. Imaam selalu mengingatkan agar ikhwan akhwat konsisten dalam perjuangan, tidak saling menyalahkan, dan bekerja sama dalam menjaga persatuan.
Perjuangan ini harus melibatkan dakwah yang bersifat lebih serius dan menyeluruh. Generasi sekarang terus mendakwahkan aljamaah dan pentingnya kesatuan umat. Lembaga Tarbiyah (pendidikan) yang didirikan harus mencerminkan ruh dan inti dari perjuangan Jama’ah, bukan sekadar formalitas.
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat
Sebagai kenangan, Muhsin masih ingat kebiasaan Wali Al-Fattaah. Menurutnya, Imaam Wali Al-Fatah selalu ingin mengabadikan momennya bersama para ikhwan di mana pun dan kapan pun. Beliau pernah berkata, “Siapa tahu besok Saya kembali kepada Allah, ini bisa menjadi kenangan untuk kita semua.” [Bahron Ansori]
Mi’raj News Agency (MINA)