Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Abraham Accords Membidik Arab Saudi dan Indonesia, Mungkinkah?

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - 14 detik yang lalu

14 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi: Indonesia Arab Saudi.

DALAM beberapa bulan terakhir, nama Abraham Accords kembali mencuat sebagai instrumen diplomasi dan geopolitik yang potensial untuk diperluas ke negara-negara mayoritas Muslim yang selama ini belum menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Dua negara yang sering disebut sebagai sasaran berikutnya adalah Arab Saudi dan Indonesia.

Abraham Accords membidik dua negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia setelah pada 2020 terjalin normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan beberapa negara Arab/Muslim, yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan.

Sejak itu, ekspansi kesepakatan ini menjadi salah satu agenda diplomatik AS di kawasan Timur Tengah.

Baca Juga: Ketika Hidup Tak Sesuai Rencana, Ingatlah Allah Selalu Punya Cara

Incara perluasan ke Arab Saudi, terlihat dari seruan Trump yang secara terbuka menyatakan bahwa ia “sangat berharap” Arab Saudi akan bergabung dengan Abraham Accords.

Alasan strategis yang digunakan adalah bahwa Arab Saudi termasuk negara dengan pengaruh besar di dunia Islam, ekonomi yang kuat, dan menjadi simbol legitimasi regional. Jika Saudi bergabung, banyak pihak memprediksi akan tercipta efek domino ke negara-negara lainnya.

AS melihat bahwa normalisasi Saudi–Israel bisa memperkuat aliansi kawasan melawan pengaruh Iran dan memperkuat arus diplomasi dan ekonomi antara Tel Aviv dan Riyadh.

Adapun Indonesia, tentu sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, posisi strategis di Asia Tenggara, dan juga merupakan mitra dagang dan geopolitik penting, membuatnya menjadi target diplomasi bagi AS dan Israel.

Baca Juga: Ketika Rumah Tangga Retak Karena Ego yang Tak Terjaga

Trump tampak menyebut nama Indonesia dalam percakapan diplomatiknya sebagai salah satu negara yang mungkin “masuk” ke dalam rangka perluasan Abraham Accords. Trump juga tak segan memuji  kebijakan Presiden Prabowo Subianto, terutama usai sidang Majelis Umum PBB sessi September lalu.

Sebuah laporan juga menyebut AS melihat peluang bahwa bila gencatan senjata permanen atau stabil di Gaza tercapai, maka jalan normalisasi Indonesia–Israel akan terbuka.

Akan tetapi walaupun aspirasi tersebut ada, kenyataannya banyak hal yang akan menghambat taget normalisasi tersebut, baik di Arab Saudi maupun Indonesia.

Fakta di lapangan menyebutkan, rakyat Atab Saudi dan opini publik kawasan sangat mendukung Palestina dan menentang Israel. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar warga Saudi menolak normalisasi dengan Israel tanpa penyelesaian yang jelas bagi rakyat Palestina.

Baca Juga: Ekopedagogi Islam, Belajar dari Alam yang Tergenang

Kerajaan Arab Saudi sendiri sudah menegaskan bahwa ia tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa ada “jalan yang jelas” menuju negara Palestina yang merdeka.

Apalagi genosida pendudukan Israel yang berlangsung di Jalur Gaza,  dan dinamika kawasan terkait rencana Greate Israel, menambah kompleksitas.

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih menegaskan bahwa pengakuan atau normalisasi dengan Israel tidak akan dilakukan sebelum hak rakyat Palestina diakui dan tercapai negara Palestina yang merdeka.

Faktor nasionalisme publik, solidaritas terhadap Palestina, dan sensitivitas terhadap isu Palestina membuat keputusan normalisasi menjadi sangat politis dan berisiko bagi legitimasi pemerintah.

Baca Juga: Trump dan Kejujuran yang Menelanjangi Dosa-dosa AS

Keinginan AS untuk transaksional diplomacy, misalnya tawaran investasi, kerjasama ekonomi, bisa bertemu resistensi domestik di Indonesia.

Begitulah, ekspansi Abraham Accords yang ditujukan ke Arab Saudi dan Indonesia akan sangat berat untuk terwujud, akan sangat tergantung pada momentum diplomasi, kepentingan nasional masing-masing negara, dan dukungan publik.

Bagi Indonesia tantangannya lebih besar, terlebih Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bulan Solidaritas Palestina, Terus Bergerak untuk Al-Aqsa dan Palestina

Rekomendasi untuk Anda