ABUYA Teungku Muhammad Nasir Waly, ulama kharismatik dari Labuhan Haji, Aceh Selatan, dikenal luas karena kelembutan akhlaknya dan kepiawaiannya dalam menyampaikan dakwah. Sebagai putra dari ulama besar Aceh, Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy, kiprah Abuya Nasir Waly tak hanya meneruskan warisan keilmuan ayahandanya, tetapi juga menghadirkan peran penting dalam dunia pesantren, tarekat, dan Majelis Ulama di Aceh.
Masa kecil Abuya dilalui dalam lingkungan keilmuan yang kuat. Ketika ayahnya wafat pada tahun 1961, ia masih berusia sembilan tahun. Pendidikan formal keagamaannya dimulai di Dayah Darussalam Labuhan Haji, menimba ilmu dari para murid ayahandanya, terutama dari kakaknya sendiri, Abuya Muhibbudin Waly. Ia juga sempat belajar di Dayah Peulumat, di mana ia mendapat pondasi keilmuan yang kokoh, disertai doa-doa keberkahan dari sang ayah semasa hidup.
Setelah beberapa tahun di Darussalam, Abuya Nasir melanjutkan pendidikannya ke Dayah MUDI MESRA Samalanga. Di sana ia belajar kepada Abu Abdul Aziz atau yang dikenal sebagai Abon Samalanga—seorang ulama yang juga pernah berguru langsung kepada Syekh Muda Waly.
Di Samalanga, Abuya seangkatan dengan tokoh-tokoh ulama seperti Abu Mudi, Waled Nuruzzahri, dan Teungku Ahmad Dewi. Ia mendapat bimbingan dari para guru seperti Abu Panton, Abu Lueng Angen, dan lainnya.
Baca Juga: Allamah Muhammad Iqbal, Penyair Muslim di Balik Kemerdekaan Pakistan
Kehausannya akan ilmu membawanya ke Madinah, tempat ia memperdalam studi Islam hingga dikenal dengan julukan “Abu Madinah.” Gelar ini juga disandang oleh Abu Muhammad Ismi dari Cot Keueng, yang merupakan murid Abu Syam Marfaly dan Abon Kota Fajar. Setelah menyelesaikan studi di Madinah, Abuya kembali ke Labuhan Haji dan mulai mengabdikan dirinya di Dayah Darussalam.
Di bawah kepemimpinannya, Dayah Darussalam mengalami perkembangan pesat. Jumlah santri meningkat signifikan, datang dari berbagai penjuru Aceh dan provinsi lain. Usai memimpin Dayah Darussalam, Abuya mendirikan Dayah Serambi Mekkah di Meulaboh, Aceh Barat. Di sana, pengaruh keulamaannya semakin kuat. Ia aktif berdakwah, mengisi pengajian, dan hadir dalam berbagai muzakarah ulama. Sikapnya yang santun dan wawasannya yang luas membuatnya dekat dengan berbagai kalangan masyarakat, terutama di Aceh Barat, Aceh Selatan, dan wilayah lainnya.
Selain sebagai pimpinan pesantren, Abuya juga menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat hingga akhir hayatnya. Ia dikenal sebagai sosok ulama yang konsisten dalam peran keulamaan, menolak tawaran jabatan politik seperti wakil gubernur atau wakil bupati demi tetap fokus mengayomi umat. Abuya juga aktif dalam berbagai forum ilmiah tingkat kabupaten hingga nasional, termasuk dalam Dewan Mustasyar Partai Daulat Aceh (PDA) serta Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).
Pada masa pemerintahan Irwandi-Nazar, Abuya menjadi salah satu tokoh penting dalam forum-forum ilmiah keislaman Aceh. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menawarkan jabatan Menteri Agama kepadanya, yang beliau tolak secara halus.
Baca Juga: Abdullah Syafi’ie, Ulama Betawi Pendiri Pesantren Assyafiiyah
Abuya Nasir Waly juga dikenal sebagai seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah melalui jalur kakaknya, Abuya Muhibbudin Waly. Ia merupakan tokoh penting tarekat di Aceh Barat, sekaligus penentang ajaran tasawuf yang menyimpang dari prinsip syariah. Dalam menyampaikan dakwah, Abuya menggunakan bahasa yang santun, lugas, dan ilmiah. Ia menyampaikan hujjah-hujjah yang kokoh dan tegas dalam hal-hal prinsip, namun tetap menjaga kesantunan dan keadaban.
Hingga akhir hayatnya, Abuya dikenal sebagai ulama sejati yang membimbing umat dengan fatwa yang menyejukkan, mendidik dengan keilmuan yang berbasis referensi, dan menjalankan dakwah dengan akhlak yang luhur. Abuya Nasir Waly wafat pada tahun 2010 dalam usia 58 tahun.
Wafatnya beliau melengkapi duka umat atas kepergian sejumlah ulama besar Aceh lainnya yang berpulang sebelumnya pada tahun 2009, seperti Abu Matang Raya, Abu Abdussamad Tanjung Dalam, Abu Abdul Wahab Idi Cut, Abu Syam Marfarly, dan Abu Ibrahim Woyla. [Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: KH Zainal Mustafa, Ulama Pejuang dari Tasikmalaya