Banda Aceh, MINA – Provinsi Aceh selama bertahun-tahun telah menjadi korban framing intoleran dalam kehidupan beragama. Banyak pihak di luar Aceh, level nasional dan iternasional, yang menggiring opini seakan-akan Aceh adalah wilayah yang tertutup dan memaksakan syariat Islam kepada penduduk bukan Islam.
Demikian intisari yang dapat dipetik dari paparan Hasan Basri M Nur, Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, saat menyampaikan orasi ilmiah di hadapan seratusan sarjana dan akademisi UIN Ar-Raniry di Gedung Auditorium kampus setempat pada Selasa (4/2).
Panitia yudisium sarjana FDK menghadirkan Hasan Basri M Nur, yang baru saja menyelesaikan viva (sidang disertasi, red) pada Program PhD di Universiti Utara Malaysia (UUM).
Hasan Basri M Nur mempresentasikan hasil penelitiannya tentang hubungan sosial umat beragama di Aceh, antara penduduk Islam dengan penganut agama-agama lain.
Baca Juga: Prediksi Cuaca Jakarta Rabu Ini Berawan, Sebagian Hujan Ringan
Hasan yang juga aktivis Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) itu, menyampaikan adanya upaya dari beberapa pihak di luar Aceh yang mem-framing Aceh sebagai daerah tak toleran terhadap penganut agama selain Islam.
“Ada kesan Aceh sengaja di-framing intoleran oleh beberapa pihak di luar Aceh. Ini sangat merugikan Aceh terutama dalam sektor pariwisata, investasi dan pendidikan,” ujar Hasan.
“Padahal kenyataan di lapangan jauh bertolak belakang dengan framing yang dibentuk. Umat bukan Islam di Aceh bebas dalam melaksanakan ibadah sesuai agama mereka, leluasa dalam berbisnis (ekonomi, red), politik, pendidikan dan bahkan budaya,” papar Hasan yang pernah menjadi pengajar di UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Ditambahkan, gereja Kristen, gereja Katolik, kuil Hindu, dan vihara Buddha tersedia dan berdiri megah di Banda Aceh dan kabupaten/kota yang terdapat banyak penduduk agama-agama tersebut.
Baca Juga: Baru 8.332 Jamaah Haji Khusus Lunasi Biaya Haji
“Khusus di Banda Aceh, terdapat jalan protokol yang berdiri empat unit vihara dan gereja kembar,” urai dia.
Pihak-pihak di luar Aceh yang dimaksudkan Hasan Basri ada dari lembaga pemerintah, LSM dan media massa.
Di kalangan media, kata Hasan, terdapat media nasional dan internasional, ketika ada penduduk bukan Islam yang dihukum cambuk di Aceh, langsung diberitakan bahwa Qanun Jinayah (Syariat Islam, red) dipaksakan kepada penduduk bukan Islam, tanpa mendalaminya terlebih dahulu.
“Padahal, penduduk bukan Islam memilih menundukkan diri pada Qanun Jinayah atas pelanggaran yang mereka lakukan sehingga dihukum cambuk dan langsung bebas, tidak perlu menjalani hukuman kurungan badan dalam penjara,” ujarnya.
Baca Juga: Menag Perkenalkan Kurikulum Cinta di Sarasehan Ulama NU
Untuk itu, Hasan Basri M Nur menawarkan beberapa pendekatan dalam menyikapi framing intoleran terhadap Aceh, meliputi:
- Pemerintah daerah perlu menyelesaikan masalah yang ada, terutama kasus yang ada Aceh Singkil, Sangso Bireuen, dan lain-lain.
- Akademisi perlu mengadakan penelitian yang lain, bukukan, edar melalui took buku atau tayang di jurnal.
- Sarjana Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry perlu menghiasi halaman media massa dengan angle toleransi di Aceh.
- Perlu mengupload video dan narasi tentang fakta lain kehidupan beragama di akun medsos.
- Pemerintah dan kampus perlu mengadakan even-even besar yang rutin di Aceh, seperti PON, konferensi, even pariwisata dan lain-lain.
Selain itu, menurut dia, diperlukan usaha bersama dari Pemerintah Aceh dan Kampus untuk menjadikan Aceh sebagai Pusat Pendidikan Islam Asia Tenggara dengan Perguruan Tinggi Islam dan Pondok Pesantren sebagai dua sentral utama, karena Kerajaan Aceh Darussalam pernah berperan sebagai Pusat Pendidikan Islam di Tanah Melayu melalui Universitas Baiturrahman sebagai sentral. Aceh Darussalam adalah pusat intelektual Islam dan “pabrik” manuskrip di dunia Melayu.
“Di Aceh terdapat beberapa tempat penyimpanan manuskrip, termasuk Rumoh Manuskrip Aceh milik Tarmizi A Hamid di Ie Masen Kayee Adang,” kata Hasan.
Menurutnya, ada kerinduan dari masyarakat Muslim di Malaysia dan Thailand Selatan (Patani, Yala, Narathiwat, Songkla dan Satun) untuk belajar ke Aceh.
Baca Juga: Kemlu Sebut Tak Ada Komunikasi dengan Hamas Soal Tahanan Palestina
“Saya mendengar langsung kerinduan ini dari beberapa tokoh masyarakat di Patani dan Yala, Thailand,” kata dia.
Saat ini beberapa kampus swasta di Aceh seperti USM, UBBG, Unaya, Unida yang menawarkan program kuliah “tanpa bayar UKT” untuk mahasiswa asal Thailand.
“Menurut info yang saya terima, Fakultas Pertanian Unimal menawarkan program serupa pada tahun 2025. Bahkan mereka menawarkan asrama secara percuma,” kata Hasan.
“Jadi, pemerintah daerah dan kampus perlu duduk bersama untuk membahas strategi mengembalikan Aceh sebagai tujuan pendidikan Islam di kawasan Asia Tenggara seperti masa kesultanan tempo dulu,” ajak Hasan.
Baca Juga: Kemenag Matangkan Konsep Kurikulum Cinta dan Eco-Theology
“Selain punya bekal histori kegemilangan masa kesultanan, Aceh sesuai UU Nomor 44 Tahun 1999 juga memiliki keistimewaan dalam aspek pendidikan. Dua hal ini saya rasa dapat menjadi modal bagi Aceh bangkit,” pungkas dia. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Warga Pesantren Al-Fatah Cileungsi Tunjukkan Antusiasme Sambut Tabligh Akbar