Adab Berdagang

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Berdagang pada dasarnya merupakan salah satu pekerjaan yang sangat mulia, bahkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan sebagian shahabat beliau adalah para pedagang profesional. Namun di sisi lain Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam juga memperingatkan kita semua, bahwa tempat terburuk yang dibenci Allah adalah pasar.

Tentu bukanlah pasarnya yang salah, namun penghuninya, penjual dan pembelinya. Berapa banyak pedagang yang sibuk dengan dagangannya sehingga meninggalkan shalat dan dzikrullah. Berapa banyak pula kecurangan, penipuan, riba dan berbagai kejahatan terjadi di pasar. Dan tentunya masih banyak lagi pola dan sistem pasar yang bertabrakan dengan syariat dipraktikkan di sana, yang penting dapat uang bagaimanapun caranya.

Sehubungan dengan itu, ada beberapa kiat menjadi seorang pedagang Muslim sejati, yang senantiasa memperhatikan norma dan hukum dalam berdagang. Sehingga seorang Muslim yang berkecimpung dalam perdagangan atau pasar, akan dapat menjaga keislaman dan keimanannya.

Apalagi pasar era digital saat ini, bukan hanya pasar dalam bentu fisik, baik pasar tradisional maupun supermarket. Termasuk pasar online, transaksi virtual, dan sebagainya yang harus juga memperhatikan nilai-nilai Islam.

Semoga bermanfaat, bukan untuk mereka yang menggeluti dunia saja, namun untuk kaum Muslimin semua.

Kenalilah Dunia

Dunia -sebagaimana namanya- adalah sesuatu yang hina dan kecil dihadapan Allah Subhannahu wa Ta’ala, sebagaimana disabdakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, artinya, “Dunia ini terlaknat, terlaknat juga apa yang ada di dalam-nya, kecuali dzikrullah dan segala yang mendukungnya, serta orang yang belajar ilmu dan mengajarkannya.” (HR. At Tirmidzi dan berkata, “Hadits Hasan Shahih”).

Dunia, dengan segala isinya, kekayaan alamnya, keindahannya, hartanya, pencakar langit dan istana-nya, mobil-mobil, barang dagangan, gunung, laut, bahkan langit dan bumi-nya tidaklah sebanding dengan sayap nyamuk di hadapan Allah.

Oleh karena itu mencurahkan perhatian secara total dan sepenuhnya untuk dunia adalah kesalahan yang fatal. Seorang mukmin janganlah berbangga-bangga dengan dunia yang diperoleh dan jangan berduka tatkala kehilangannya.

Dunia, sebagaimana diberitahukan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam adalah penjara bagi orang mukmin dan sorganya orang kafir. Orang mukmin di dunia ibarat sedang dipenjara, menjalankan berbagai ketaatan dan ibadah, mengekang dari segala hal yang haram yang hawa nafsu selalu condong kepadanya. Sedangkan orang kafir menganggap hidup di dunia ibarat di sorga, ia turuti segala kemauannya, bersenang-senang, makan enak dan kenyang, tak peduli halal haram, segala cara ditempuh untuk mendapatkan kesenangan.

Orang mukmin selalu ingat bahwa mereka diciptakan di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah, sedangkan orang kafir berpandangan bahwa hidup didunia adalah untuk bersenang-senang saja.

Sungguh mengerikan kalau kita menyadari bahwa kelak kita akan ditanya tentang harta yang kita dapatkan di dunia, dari mana kita peroleh dan ke mana kita belanjakan? Siapkah kita mempertanggung jawab-kan setiap rupiah yang masuk ke kantong kita, setiap suap yang masuk ke dalam perut kita? Sudahkah kita punya jawabannya?

Dunia itu Terbatas

Semua yang kita miliki pasti akan kita tinggalkan, entah hari ini atau besok. Kalau seseorang telah mengumpulkan harta yang begitu banyak dengan cara yang haram atau menumpuknya tanpa mau membelanjakan untuk kebaikan, maka sungguh keru-gian besar atasnya.

Dia capek-capek bekerja, namun ahli waris yang menikmatinya, mereka bergembira dengan harta itu sedangkan dia menderita dengan siksa, mereka tak berperang, namun menikmati harta rampasan. Barulah ketika itu timbul rasa sesal, “Wahai, andaikan aku mempersiapkan diri ketika hidup di dunia, andaikan aku berkerja dengan cara yang halal dan mubah, andaikan dulu sebagian hartaku ku gunakan untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin, untuk membantu dakwah, membangun masjid, madrasah, andaikan…dan andaikan ini dan itu.

Namun hari itu dia hanya bisa gigit jari, menyesali segala perbuatan-nya ketika masih hidup di dunia, ingin rasanya kembali ke dunia tapi …(Demikianlah keadaan orang- orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, “Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguh-nya itu adalah perkataan yang diucap-kan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibang-kitan.” (QS. 23: 99-100)

Selagi ada kesempatan

Bersyukur, itulah yang layak dilakukan karena Allah masih memberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Membuka lembaran baru yang lebih baik dan terang, memperlurus seluruh langkah kehidupan. Yang lebih penting mewujudkan syukur itu dengan melakukan segala yang diridhai Allah, termasuk menjauhi penghasilan yang haram dan berdagang dengan cara yang dilarang Allah.

Belajar dulu sebelum berdagang

Seorang yang akan terjun ke dunia dagang maka “wajib ain” atasnya mempelajari fikih perdagangan dan muamalah. Sebab tidak diragukan lagi, bahwa orang yang tidak belajar masalah tersebut kemudian terjun ke dunia dagang dan bisnis, maka sangat mungkin akan terjerumus ke dalam keharaman.

Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu berkata, “Seorang pedagang jika tidak mengetahui hukum, maka akan terjerumus ke dalam riba, tenggelam dan tenggelam.” Sedangkan Umar bin Khatthab Radhiallaahu anhu mengatakan, “Siapa yang tidak faham masalah agama janganlah sekali-kali berdagang di pasar kami.”

Bertanyalah kepada para ulama tentang segala permasalahan dagang yang belum jelas agar tidak terjebak pada hal yang haram. Sebab teori dagang senantiasa berkembang dari hari ke hari, dan para ulama insya Allah akan memberikan wawasan kepada kita tentang mana yang halal dan mana yang haram.

Kiat berdagang

Pertama, jujur. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda yang artinya, “Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HR. At-Tirmidzi, beliau mengatakakan. Hadits hasan).

Di dalam hadits lain juga disebutkan, yang artinya, “Dua orang yang berjual beli memiliki khiyar (hak pilih) sebelum keduanya berpisah, jika mereka berdua jujur, maka jual belinya mendapatkan berkah. Dan jika keduanya menyembunyikan cacat serta bedusta, maka hilanglah keberkahannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Kedua, toleran dan mempermudah urusan. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersbada, artinya, “Semoga Allah merahmati seorang hamb a yang toleran apabila menjual, toleran jika membeli dan toleran dalam tuntutan.” (HR Bukhari).

Ketiga, jangan menipu. Masyarakat Islami ditegakkan di atas amanah, sistem yang bersih, nasehat menasehati dan meninggalkan segala bentuk penipuan dan kecurangan. Menipu dapat melenyapkan berkah, mendatangkan murka dan siksa Allah Ta’ala serta menjerumuskan ke dalam api neraka. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda, artinya, “Barang siapa yang menipu, maka bukan termasuk golongan kami.” (HR Muslim).

Beliau juga menegaskan di dalam hadits lain yang artinya, “Barang siapa yang menipu, maka bukanlah termasuk golongan kami, makar dan tipudaya adalah di neraka.”

Keempat, jangan curang dalam takaran dan timbangan. Sebagaimana diperingatkan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala dalam firman Nya, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, ((yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apa-bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. 83:1-3).

Ibnu Abbas meriwayatkan, “Bahwa tatkala Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tiba di Madinah, ternyata banyak penduduknya yang curang di dalam takaran. Kemudian Allah menurunkan surat al Muthaffifin, maka akhirnya mereka membaguskan takaran setelah turun ayat itu.” (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dihasankan al Albani).

Kelima, tidak menimbun barang. Trik seperti ini sering dilakukan oleh para pedagang, apalagi pedagang dimasa ini yang rata-rata tidak tahu hukum dan aturan. Dengan menimbun barang dagangan, mereka ingin agar harga menjadi tinggi, karena jika permintaan banyak sedangkan barang yang beredar sedikit, maka harga dapat dimainkan sekehendak penjual.

Ini adalah model perdagangan yang licik, dan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda, “Barang siapa yang enimbun barang, maka dia telah berdosa.” (HR. Muslim)

Keenam, jangan bersumpah palsu. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah memperingatkan kita dari hal ini melaui sabdanya, Artinya, “Sumpah yang buruk (dusta) melenyapkan barang perdagangan dan menghalangi berkah penghasilan.” (Muttafaq ‘alaih).

Ketujuh, jangan riba. Sebagaimana telah diperingatkan oleh Allah melalui firman Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. 2:278-279)

Dalam banyak hadis, Rasulullah SAW sangat melarang seorang muslim melakukan riba. Yang termasuk riba dalam jual beli adalah melakukan kredit dimana harganya menjadi berlipat; jika barang dibayar tunai maka sekian harganya dan jika dibayar tunda (kredit) maka menjadi sekian sekian (dua atau empat kali lipat dari harga sebenarnya).

Di antara dalil tentang haramnya riba antara lain; “Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja.” (HR. Muslim dan Ahmad). Yang lebih parah lagi, orang yang memakan riba, sama dengan menzinahi ibu kandungnya sendiri, seperti dalam hadis, “Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no.1871). Untuk lebih jelas tentang haramnya riba, [silahkan baca kembali bulletin Ar Ruhama Edisi 11/7/2009].

Peringatan bagi setiap muslim

  • Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda kepada Ka’ab bin ‘Ujrah, artinya, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah! Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari barang yang haram.”
  • Ibnu Abbas Radhiallaahu anhum pernah mengatakan, “Mencari penghasilan yang halal lebih berat daripada memindahkan satu gunung ke gunung yang lain.”
  • Yunus bin Ubaid berkata, “Aku tidak mengetahui sesuatu yang paling langka daripada dirham halal yang diinfakkan.” Ini dikatakan pada Zaman Yunus bin Ubaid, lalu kita akan berbicara apa pada masa ini? Di zaman tatkala sistim kapitalisme dan ribawi sudah merajalela, pelaku dagang dan bisnis jarang yang tahu fikih dan hukum perdagangan?
  • Berkata pula Yahya bin Muadz, “Kataatan itu tersimpan di dalam perbendaharaan Allah Subhannahu wa Ta’ala, kunci-kunci-nya adalah doa, sedang gigi-giginya adalah suapan yang halal.” 

Wallahu a’lam. (A/RS3/RS2)

(Sumber: “Risalah ‘Ajilah ilat Taajir al-Muslim” Khalid Abu Shalih)

 

Mi’raj News Agency (MINA)